Pages

Friday, October 23, 2009

Coretan Perjalanan Disela Tugas ke Wonosobo

Tidak banyak orang tahu perguruan tinggi ini. Universitas Sains Quran (Unsiq) Jawa Tengah, namanya. Tapi lokasi kampusnya terletak di pinggir ibukota kabupaten Wonosobo, kabupaten yang nyaris persis berada di tengah-tengah Jawa Tengah. Unsiq merupakan upaya pengembangan pesantren tahfiz Quran Al-Asya'ariyyah yang terletak di desa Kalibeber, Kecamatan Mojotengah. Pesantren ini dibangun KH. Muntaha AlHafiz yang populer dengan sebutan mbah Mun. Kiai yang hafal Quran ini pernah duduk sebagai anggota MPR di jaman Soeharto dan sempat menghadiahkan mushaf raksasa berukuran 2 x 1,5 meter dengan berat 3 kwintal, kepada Presiden. Mushaf hasil tulisan tangan dua santrinya, Abdul Malik dan Hayatuddin, ini tercatat sebagai mushaf terbesar di Indonesia dan sampai sekarang masih tersimpan di Baitul Quran, Taman Mini Indonesia Indah. Setelah wafat, posisi mbah Mun kini digantikan puteranya, KH. Faqih Muntaha yang oleh santri-santrinya dipanggil dengan sebutan "mbah Faqih". Sedangkan peran politiknya digantikan oleh keponakannya, KH. Mukhotob sebagai anggota DPR RI yang berakhir pada tahun 2009 ini.



Wonosobo merupakan daerah yang dibangun Belanda untuk perkebunan teh. Kota berudara sejuk ini pada jaman kiwari menjadi daerah resort untuk "meneer dan noni" Belanda di daerah Jawa Tengah, selain Ambarawa, Baturaden (Purwokerto) dan Kaliurang (Yogyakarta). Sampai sekarang, masih banyak turis Belanda yang mengunjungi tempat ini, kebanyakan sekedar untuk napak tilas perjalanan ayah dan kakek mereka. Bahkan hotel terbesar disana, Kresna pernah dikunjungi Ratu Juliana dan Pangeran Benhard di tahun 70an. Pada tahun 1990an seorang turis Belanda membawa repro foto hotel itu yang diperolehnya dari perpustakaan Leiden Universiteit. Foto itu dibuat akhir abad 19, tepatnya 1895, dan hotel itu masih berfungsi sebagai gudang teh, dengan bentuk bangunan yang nyaris tidak berubah sampai sekarang!

Letaknya yang ditengah-tengah, membuat jalan kesana jadi tidak mudah. Paling kurang diperlukan waktu 4 jam, baik dari Semarang maupun dari Yogya. Dulu ada jalur kereta ke Purwokerto dan rel serta stasiunnyapun masih utuh. Hanya saja, karena tidak pernah digunakan lagi sebagian rel tertutup rumah penduduk. Jika jalur kereta ini akan difungsikan kembali sebagaimana rencana pemerintah, siap-siap saja berhadapan dengan masalah sosial. Itu risiko yang harus ditanggung karena tidak tegas menerapkan aturan.

Wonosobo dibangun di kaki dataran tinggi Dieng. Meskipun adanya di kaki pebukitan, hawa dinginnya sudah terasa. Jika malam tiba, orang harus pakai jaket atau sweater jika tidak ingin masuk angin. Kotanya bersih dan apik, meskipun masih kalah dengan Temanggung, sang langganan penghargaan Adipura. (Buat anggota B2W alias bike to work, kota ini cocok sekali untuk gowes-gowes). Tidak ada produk andalan dari kabupaten ini selain teh yang kini dipegang PTPN. Para penduduk umumnya mengandalkan sektor pariwisata selain becocok tanam.

*****

Universitas Sains Quran tahun ini dijadikan "basecamp" oleh Bank Indonesia (BI) untuk melakukan sosialisasi keaslian uang rupiah. Tahun sebelumnya, "induk" perguruan tinggi ini, yaitu pesantren "Al-Asy'ariyyah" mendapat kesempatan yang sama. Mengapa? Ternyata dibalik keterpencilannya, Wonosobo menyimpan misteri kriminal yang berat. Selain diciduknya tokoh teroris yang katanya bersembunyi di wilayah ini, dua tahun lalu, Badan Inteligen Negara (BIN) berhasil menangkap salah seorang gembong "upal" alias uang palsu disini. Tidak dijelaskan lebih lanjut sejauhmana gembong itu beroperasi dan bagaimana bisa tertangkap. Yang jelas, jika BI dan BIN melaksanakan sosialisasi keaslian uang rupiah disini bisa dipastikan untuk mendidik masyarakat agar dapat terhindar dari kejahatan pemalsuan uang dan mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat keberadaan sang gembong.

***

Saya kebagian menjelaskan praktek perbankan syariah. Kesulitan terbesarnya adalah sesi saya diletakkan terakhir, ketika hadirin mulai jenuh. Selain itu, praktek perbankan syariah yang lebih rumit membuat para peserta sering mengerenyutkan kening. Satu-satunya cara untuk menjaga konsentrasi adalah memberikan studi kasus untuk dikerjakan bersama. Ternyata hal itu memang efektif. Para peserta kurang puas dan minta agar waktunya ditambah. Nampaknya panitia tidak dapat mengabulkan, karena ruang pertemuannya akan dipakai sebagai ruang kuliah. Akhirnya para dosen sepakat untuk meminta BI menyediakan waktu khusus bagi mereka di waktu yang akan datang dalam bentuk TOT (training of trainers).

Masalah terbesar dalam menjelaskan perbankan syariah adalah pada keunikannya. Seperti temuan sohib saya Dr. Ugi Suharto, perbankan syariah di Malaysia lebih maju karena kondisi psikologis dari masyarakat yang lebih kepada pertanyaan “Bolehkah (bisakah) perbankan syariah seperti perbankan konvensional?” Sedangkan di Indonesia pertanyaan itu berubah menjadi “apa bedanya perbankan syariah dari perbankan konvensional?” Pertanyaan pertama hanya memerlukan satu jawaban: Bisa dan harus bisa. Karenanya semua prinsip syariah harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan aturan di dunia keuangan. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan kedua, perlu lebih dari dua jawaban. Perbankan syariah berbeda dari bank konvensional, dan lebih unggul. Ada juga dilemmanya. Di satu sisi, ia harus membuktikan bahwa ia beda dari bank konvensional, tapi di sisi lain ia harus bisa dicerna oleh sebagian masyarakat yang hanya mengerti bank biasa. Maka tidak heran jika sosialisasi perbankan syariah tidak cukup dengan gebyar-gebyar seperti bank lainnya. Sosialisasi perbankan syariah berarti mengajarkan fiqih muamalah dan perbankan pada saat yang sama!


*****

Berada diantara para mahasiswa dan dosen dengan lingkungan santri yang kental seperti kembali ke masa-masa ketika jadi santri dulu. Banyaknya dosen yang hafal Quran (mengingatkan saya pada guru Mughni dan ustaz Sarwani bukit Duri yang ditugaskan menghafal Quran oleh ngkong Kiai), ramainya mahasiswa yang menelaah kitab kuning, santri dan santriwati yang menghafal Quran bersama setiap ashar, atau lingkungan yang luas dan hijau membuat orang merasa tenang dan ajek. Tidak heran jika lingkungan itu dapat menjaga kemauan dan kerja keras dalam berkarya. Tiap tahun selalu dihasilkan mushaf raksasa tulisan tangan para santri untuk dikirim ke tempat lain, bahkan ke luar negeri. Saat ini saja ada 4 permintaan yang belum dipenuhi. Padahal harga sebuah mushaf tidak kurang dari 1,5 milyar (Kesultanan Brunei pernah membayar dengan harga 4 milyar sebagai penghargaan terhadap kerja keras mereka). Penyangga kayunya saja (harus terbuat dari kayu jati) minimal senilai 35 juta. Belum lagi biaya pengirimannya. Entah mengapa saya lalu teringat maestro khat di pondok saya, Guru Nawawi (Albarkah) dan kak Rosyidi Abni (alias anak Buni) yang sampai saat ini belum diberdayakan secara optimal.

Dunia pesantren sering akrab dengan pandangan yang melecehkan seperti kotor, jorok. Tapi tidak dengan USQ atau AlAsy'ariyyah. Kampus mereka ditata rapih. Mereka sering dijadikan rujukan oleh pondok NU lainnya. Mereka juga langganan penerima bantuan dari pemerintah. Baru-baru ini sebuah rusunami empat tingkat bantuan dari Menteri Perumahan Rakyat dibangun di sekitar kampus USQ di atas dataran yang cukup tinggi. Karena berada dilokasi yang lebih tinggi, jika orang masuk ke salah satu unitnya, ia akan dapat menikmati pemandangan indah daerah Wonosobo dengan pesawahan dan perkampungannya yang membentang di kaki gunung Dieng.

***

Memang banyak orang tidak mengenal Wonosobo, atau Mbah Mun. Sang ajengan pun tidak pernah berusaha untuk cari popularitas. Keanggotaannya di MPR RI adalah karena permintaan khusus Presiden Soeharto kepadanya. Itupun diterima setelah istikharah selama seminggu. Secara historis mungkin bisa dimaklumi, karena mbah Mun adalah keturunan pengikut Pangeran Diponegoro yang melarikan diri setelah sang pemimpin ditangkap Belanda. Jadi ada sikap hati-hati terhadap kekuasaan yang cenderung koruptif.
Tapi diam-diam ia dan pesantrennya telah melahirkan ribuan alumni yang tersebar kemana-mana. Setiap tahun, desa Kalibeber harus kerepotan menerima ribuan alumni yang datang, baik yang datang sekesar untuk silaturahim ataupun untuk ziarah dan lainnya.
Kalibeber juga menjadi saksi para tokoh politik dan ormas NU berkumpul, apakah untuk diskusi maupun bicara konstituen. Salah seorang langganan setianya adalah Gus Dur. "Mbah Mun dan anak2nya adalah tempat paling enak untuk bicara lintas ide dan konsep" katanya. Meskipun semua orang tahu, keduanya adalah NU fanatik. Demikian pengakuan KH. Mukhotob, keponakan Mbah Mun yang kemarin baru saja selesai menjalani pengabdiannya sebagai anggota DPR.

Unsiq, AlAsya'ariyah dan Mbah Mun sepertinya sejiwa dengan Wonosobo. Mereka kurang dikenal. Mereka juga lebih memilih diam dan tidak banyak bicara. Tapi mereka berbicara melalui karya. Karya dan alumni merekalah yang berbicara kepada dunia, bahwa ada Mbah Mun dan lembaga-lembaganya disana. Terus terang, saya tidak tahu banyak kunci kesuksesan mereka, selain selain tentunya keikhlasan, ketekunan dan kerja keras.

Wallahu A'lam

1 comment:

Rizal said...

Dunia pesantren sering akrab dengan pandangan yang melecehkan seperti kotor, jorok. Tapi tidak dengan USQ atau AlAsy'ariyyah. Kampus mereka ditata rapih. Mereka sering dijadikan rujukan oleh pondok NU lainnya. Mereka juga langganan penerima bantuan dari pemerintah. Baru-baru ini sebuah rusunami empat tingkat bantuan dari Menteri Perumahan Rakyat dibangun di sekitar kampus USQ di atas dataran yang cukup tinggi


maaf, cuman mau membenarkan di atas ==>> UNSIQ bukan USQ. Dan terimakasih atas tulisannya!!!