Pages

Sunday, December 6, 2009

Quo Vadis Lebaran Kita?

Lebaran tahun ini (2008) saya coba untuk ikut mudik, meskipun masih dalam kategori mudik "lokal". Setelah 2 tahun shalat Iedul fitri di masjid perumahan sebelah tempat saya tinggal (yang sebagian besar jamaahnya saya tidak kenal) saya mencoba keberuntungan baru, dengan cara shalat iedulfitri di rumah mertua, di daerah Pebayuran.

Mendekati Cikarang saya tersendat karena banyaknya motor yang berada di jalan. Saya fikir ini pasti karena takbir keliling, ritual malam takbiran yang seumur hidup saya tidak pernah satu saya ikuti. (ayah saya melarang keras takbir "ala orang kampung" itu karena bukan sunnah Nabi, katanya). Melewati Cikarang mobil saya masih merayap karena barisan motor di depan. Setelah susah payah melewati barisan itu sekitar 2 km, akhirnya saya dapat melaju. Ternyata barisan motor itu kebanyakan terdiri dari anak muda yang tidak ada sangkut pautnya dengan takbir keliling. Sebagian saya lihat menggunakan kaos "slanker", hitam dengan lukisan seram-seram. Ada pasangan pria wanita muda berpelukan sambil menjalankan motor perlahan-lahan. Ada yang melakukan atraksi, menjalankan motor tanpa memegang kemudi, sementara ia berdiri di jok dengan tangan terbentang seperti yesus disalib.

Di jalur berlawanan juga berisi barisan motor. Mereka juga tidak ada urusannya dengan takbir keliling. Bahkan membaca takbir juga tidak. Sebagian mereka memakai kaos warna putih dengan tulisan nama partai politik. Diikuti barisan motor lain dengan membawa bendera bertulisan "OI". Belakangan saya tahu bahwa OI adalah kepanjangan dari "Orang Indonesia", forum bebas yang dibentuk dan diketuai oleh Iwan Fals.

Lengkap sudah keyakinan saya tentang persepsi masyarakat akan lebaran. Lebih dari setengah dari hari-hari bulan puasa saya habiskan dengan memberikan tausiah tentang kesederhanaan yang lahir akibat berpuasa Ramadhan. Tapi ketika datang lebaran, datang pula aslinya. Lebaran datang, dan waktu pesta telah tiba!
Dulu jika datang malam takbiran, semua orang berkumpul di masjid, silih berganti mengumandangkan takbir. Sebagian diantara mereka terdiam dan terisak-isak, entah karena mengingat dosa-dosa mereka ataupun teringat akan para orang tua dan kerabat yang telah mendahului mereka. Sebagian kecil melakukan takbir keliling dengan membawa obor, mengajak orang-orang yang masih santai di rumah untuk sama-sama bertakbir di masjid.
Malam ini saya menyaksikan hanya segelintir orang berkumpul di masjid, mengumandangkan takbir dengan lirih; sementara sisanya berkumpul, jika tidak di pasar, di jalan. Mereka asyik memilih barang-barang yang akan dibeli, atau sekedar jalan-jalan menyaksikan keramaian. Semua kendaraan keluar, mulai dari motor butut sampai mobil canggih sekelas alphard. Why not? Ini saatnya pesta!

Saya jadi teringat hasil kajian yang menyeramkan dari teman-teman di direktorat kebijakan moneter dan direktorat peredaran uang. Setiap kali datang bulan puasa, tahun-tahun belakangan ini, akan terjadi inflasi musiman (12,25 persen yoy versi Biro Pusat Statistik), penarikan uang yang intens(puasa tahun ini mencapai 17 trilyun). Hal ini diakibatkan konsumsi yang boros melibatkan bahan bakar, bahan makanan, garmen, otomotif dll. Memang ada unsur positifnya, yaitu pertumbuhan ekonomi nasional yang lumayan tinggi, tapi tidak bisa menutup penyakit ekonomi yang ditimbulkan seperti di atas.

Mengapa?
Jawabannya kembali ke paradigma di atas. Lebaran adalah pesta. Sama seperti Christmas pada masyarakat Kristen. Karena itu semua dikeluarkan untuk keperluan pesta. Semua dibeli, karena jika masih memakai yang lama akan memalukan dan dianggap tidak menghormati lebaran.

No comments: