Pages

Thursday, April 1, 2010

Guru Rofi'ie, Lambang Dedikasi

Namanya Ahmad Rofi’ie. Kami memanggilnya guru Rofi’ie. Orangnya gemuk dan sehat. Suka becanda tapi juga gampang marah. Jago bahasa Inggris dan mengerti psikologi. Dia juga pembina pramuka yang hebat, selain penggemar sepakbola yang fanatik. Tulisan ini dibuat untuk mengenang jasa-jasa beliau sebagai guru, (yang mungkin sudah terlupa), sekaligus nostalgia selama bersamanya. Juga untuk mengenalkan kepada adik-adik santri yang mungkin tidak pernah bertemu dengannya.

Kuliah dan Aktifis Organisasi

Guru Rofi’ie, (kami memanggilnya dengan tambahan “guru”, yang merupakan tradisi pesantren kami), konon waktu mudanya adalah aktivis organisasi. Waktu kuliah di Universitas Ibn Chaldun, yang kampusnya ada di bilangan Senen, dia tinggal di asrama Pelajar Islam Indonesia (PII), yang terletak di Jalan Menteng Raya 58, Jakarta Pusat (bersebelahan dengan kantor Pusat Muhammadiyah Jakarta). Buat yang belum kenal PII, organisasi ini seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). PII dan HMI dulu menjadi organisasi terbesar di kalangan pelajar dan mahasiswa Islam. Terkadang diantara keduanya terjadi kepengurusan yang sama, karena menganut idealisme dan ideologi yang sama. Mereka juga sering disebut sebagai “anak-anak Masyumi”, partai Islam terbesar jaman 50-60an.

Ketika PII dan HMI rame-rame berdemo menuntut pembubaran PKI pada tahun 1966, Rofi’ie tidak ketinggalan. Maklumlah ia termasuk pengurus PII wilayah Jakarta Raya, yang meliputi Jakarta, Bekasi, Tangerang, Depok, Subang dan Purwakarta. Ia pernah cerita tentang bagaimana ia harus menyelamatkan diri bersama rekan-rekan demonstran ketika tentara mulai tidak sabar dan menembak para demonstran. Sehari kemudian ia mendengar Arief Rachman Hakim (HMI) dan Ichwan Ridwan Rais (PII) tewas diterjang peluru. Kematian kedua mahasiswa di tangan tentara inilah yang kemudian menyulut demonstrasi dimana-mana dan terus-menerus yang akhirnya berujung Supersemar dan lahirnya Orde Baru.

Bisa jadi karena suasana politik yang tidak menentu dan atau juga karena keterbatasan biaya, Rofi’ie harus kembali ke kampung tanpa bisa menuntaskan kuliahnya. Tapi ia tidak putus asa. Ia terus menambah wawasannya dengan membaca, terutama bahasa Inggris. Kemampuannya dalam bahasa Inggris inilah yang membuatnya dipanggil pimpinan pondok, KH. Noer Alie. Ia diminta untuk mengajar para siswa agar mereka juga tidak ketinggalan dalam bahasa Internasional itu, selain bahasa Arab yang sudah dikembangkan sebelumnya.

Bahasa Inggris

Yang kami tidak pernah lupa dari beliau adalah Bahasa Inggris. Semua lulusan pondok pasti mengakui mereka bisa pinter bahasa Inggris dari guru kita ini. Kombinasi penguasaan materi dan cara mengajar yang tegas ditengarai menjadi faktor utama para siswa jadi rajin belajar bahasa Inggris. Pokoknya jangan pernah berani masuk kalau belum mengerjakan PR. Taruhannya adalah kaki yang pegal gara-gara berdiri menghadap tembok selama jam pelajaran. Atau baju yang basah kuyup karena disiram air minum yang biasa disediakan di depan mejanya. Style mengajar seperti ini sebenarnya biasa saja untuk ukuran di pondok pesantren, tapi beda jika yang mengalaminya adalah anak mami atau siswa baru.

Anehnya, tidak ada satupun siswa yang kemudian merasa dendam. Tidak seperti siswa sekarang yang suka ngeroyok gurunya. Atau main tuntut ke pengadilan. Dalam dunia pesantren, seperti tempat kami belajar dulu, guru adalah sumber ilmu dan sumber akhlaq. Jadi apapun yang dilakukan guru, kami percaya bahwa itu untuk kepentingan kami sendiri. Paling tidak, itulah yang kemudian saya fahami filosofinya dari literatur tentang pendidikan. Nampaknya karena keikhlasan beliau dan para siswanya dalam mempelajari bahasa Inggris, para siswa di pesantren kami malah cenderung jadi lebih sering mempraktekkan bahasa Inggris ketimbang bahasa Arab.
Kepandaiannya dalam bahasa Inggris juga diakui teman-teman seangkatannya. Konon beliau pernah kursus dari Sutan Sulaiman, pengarang buku “Sistem 60 jam” yang sangat populer tahun 1960-70an. Bahkan menurut cerita teman-temannya, Rofi’ie adalah satu dari sedikit orang yang sangat menguasai buku itu, sehingga Sutan Sulaiman sangat sayang padanya.

Kepala sekolah yang tekun dan bertanggungjawab

Dia dipercaya memimpin madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) selama puluhan tahun. Selama itu nyaris tidak ada masalah yang terjadi, baik dalam administrasi maupun kesiswaan. Nampaknya pengalaman di organisasi ketika masih jadi pelajar dan mahasiswa sangat berperan disini.

Salah satu hal yang sulit diikuti guru-guru adalah ia hampir mengenal setiap siswa di sekolahnya. Dan itu merupakan kiatnya dalam mendidik para siswa. Menurutnya, jika ingin anak itu merasa diperhatikan, seorang guru harus mampu menghafal nama setiap siswa di kelas yang diajarnya. Tidak heran jika kenangan setiap siswa dengannya tidak akan pernah hilang. Bisa jadi karena galaknya, atau yang lainnya. Tapi setiap siswa pasti merasa bahwa ia dikenal olehnya.

Perhatiannya kepada siswanya semakin kuat ketika mereka berada di kelas III Tsanawiyah. Seolah-olah ia ingin memastikan lulusan Tsanawiyah benar-benar siap untuk menghadapi tingkatan sekolah di atasnya, atau jika para siswa itu kembali ke masyarakat. Maka tidak heran jika ia terkesan “memanjakan” para siswa kelas III, dengan memberikan fasilitas lebih kepada mereka. Bahkan ia sering meminjamkan motornya kepada anak-anak untuk digunakan keperluan sekolah.

Pembina Pramuka

Rofi’ie juga pembina pramuka aktif. Ia sangat memperhatikan kualitas pembinaan dan jaringan. Pondok kami, Attaqwa, memang terletak di kampung. Tepatnya di kampung Ujungharapan, Desa Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi. Tapi Attaqwa memiliki lebih dari 40 cabang di kecamatan sekitar, bahkan sampai kota Bekasi (Pekayon). Setiap tahun di pondok pesantren kami ada program yang disebut Pekan Isra Mi’raj, dimana seluruh cabang akan mengirim utusan pramuka dan melaksanakan perkemahan disitu. Berbagai acara digelar, mulai dari musabaqah tilawatil Quran, lomba qasidah sampai pertandingan sepakbola.

Saat seperti ini, Guru Rofi’ie biasanya yang paling sibuk. Seringkali ia terlihat mondar-mandir di sekitar tenda peserta. Atau berkumpul dengan para pembina yang datang dari cabang-cabang. Apalagi pada pertengahan tahun 1983, ketika para pramuka tingkat penegak mulai dikirim untuk membina pramuka di cabang-cabang itu. Informasi cabang-pusat semakin lancar dan ikatan mereka semakin kuat. Sejak saat itu perkemahan gabungan tidak saja dilakukan saat peringatan Isra Mi’raj di pondok pesantren pusat. Tapi juga di cabang tertentu, bahkan daerah lain.

Di jamannya pondok Attaqwa pernah mengadakan Kursus Mahir Dasar, semacam kursus sertifikasi untuk para pembina pramuka. Kursus ini biasanya hanya mampu dilakukan oleh institusi pramuka setingkat kwartir cabang (tingkat kabupaten). Di dunia pesantren, hanya Pondok Modern Darussalam, Gontor yang mampu melakukannya karena Gontor sendiri adalah Kwartir Cabang Khusus, dimana kwartir rantingnya adalah asrama, dan gudep-gudepnya adalah kelas-kelas di sekolah. Dari kursus yang dilakukan ini berkembanglah pola pembinaan yang tertib, yang menjadi panduan seluruh cabang pesantren.

Kehidupan yang sederhana

Meski dia anak satu-satunya, kehidupannya tidak mewah. Hidupnya sederhana, bahkan bisa dibilang pas-pasan. Rumahnya terbuat dari kayu dan berlantai tanah, khas rumah penduduk kelas menengah ke bawah di kampung itu. Mungkin satu-satunya harta yang terasa mewah adalah skuter “vespa” birunya, yang sering terlihat dipakai untuk keperluan sekolah oleh murid-muridnya. Konon rumah dan sawah yang dimilikinya pun diperoleh dari warisan orangtuanya.

Di waktu senggang dia sering terlihat mengolah tanah di depan dan samping rumahnya untuk ditanami pohon singkong atau ubi. Dia juga pernah mendirikan warung di depan rumahnya untuk tambahan penghasilan.

Dia juga anggota masyarakat yang aktif. Pada malam-malam tertentu mengisi pengajian remaja dan anak-anak di mushalla lingkungannya yang bernama Nurul Huda. Karena itu ia pernah dipercaya untuk untuk memimpin mushalla ini ketika ketua mushallanya wafat.

Wafat

Kebiasaan merokok nampaknya membuat kesehatannya sering terganggu. Kami ingat betul rokok favoritnya adalah ”Commodor” dan “Djarum” coklat. Akhirnya suatu hari di bulan September 1992 ia menghembuskan nafas terakhirnya. Umurnya saat itu 55 tahun. Ia meninggalkan seorang istri dan 7 orang anak, 6 lelaki dan 1 perempuan.

Guru Rofi’ie memang hanya “salah seorang” dari kita. Tapi saya tidak tahu bagaimana nasib bahasa Inggris para santri waktu itu, jika ia tidak tekun dan galak dalam mengajarkannya.

Thank you Guru. It is unimaginable that without you we can be familiar with this language.
And with the world too.

2 comments:

Anonymous said...

Coba klo beliau masih hidup dan mengajarkan bahasa Inggris kpd sy dkk di sekolah Attaqwa dulu pasti bs nyaingin kehebatan Bang Cecep dkk. he he ...

Tp sy msh bs bersyukur msh bs bljr private sm muridnya, guru Masudi (Assalam) dan guru Husni Mubarok (Nurul Huda-skrg S2 di Malaysia).

Terima kasih Bang Cecep atas postingannya, meskipun sy tdk pernah diajarkan sm Beliau, mdh2an melalui murid2 Beliau yg diajarkan kpd sy smpai jg berkahnya. Amin.

Cecep eM-Ha said...

Terima Kasih atas commentnya.
Keikhlasan dan semangat mendidik beliau lah yang membuat para muridnya semangat mempelajari bahasa Inggris. Sehingga menciptakan trend di pondok kita, mengalahkan bahasa Arab, yang waktu itu jadi tren mengikut sistem pondok moderen Darussalam.
Jika semangat ini dimiliki oleh semua guru, saya kira para santri kita akan menjadi yang terdepan dalam segalanya.
Wallahu A'lam