Kau orang tak de nama lain ke? Apasal awak punya kota sama dengan nama hantu?
(Kalian tidak punya nama lain ya? Mengapa nama kota sama dengan nama hantu?)
Begitu kira-kira pertanyaan sohib saya, yang orang Malaysia, waktu saya cerita di email bahwa saya mau tugas ke Pontianak. Memang menurut sohibul hikayat, kota itu didirikan di tempat yang dulunya banyak hantu gentayangan, yang disebut pontianak, alias kuntilanak. Jika dilihat dari sejarahnya sih, memang terdengar seram. Tapi begitu datang ke kotanya, orang akan jadi bertanya-tanya, apa nya yang seram?
Ada cerita yang berkembang di Pontianak, kalau orang dari luar daerah pernah minum air sungai Kapuas, baik langsung maupun tidak, dia akan datang lagi. Kayaknya saya termasuk yang kena kutukan itu. Bulan Maret yang lalu saya ditunjuk mendadak untuk ikut ngisi Training of Trainers Perbankan Syariah untuk teman-teman dosen di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Entah kenapa ada rasa malas menulis catatan perjalanan kali ini. Mungkin karena ini kedatangan saya yang ketiga, dan Pontianak masih belum banyak berubah. Pertama kali saya datang pada tahun 1995 (ya ampun, itu 15 tahun yang lalu ya?). Waktu ada Pekan Olah Raga Nasional dan orang nomor satu di Republik ini, Soeharto, pingin berkunjung kesini. Yang kedua tahun 2000, waktu ada sosialisasi bank syariah bersama MUI Kalbar.
Yang aneh dengan kota-kota di Kalimantan seperti Pontianak ini adalah kalau mau mengunjungi ibukota propinsi lain. Mau ke Palangkaraya atau Banjarmasin, misalnya. Maka Jakarta merupakan kota transit yang terdekat. (Lho, koq?) Jalan darat yang mau ditempuh memberikan risiko lebih tinggi ketimbang naik pesawat, karena masih berhutan dan rusak. Lebih aneh lagi, jalan ke Kuching, ibukota Sarawak, Malaysia Timur lebih mudah daripada ke kota-kota itu. Perjalanan ke sana hanya memerlukan waktu 18 jam. Nah kalau mau belanja, daripada ke Jakarta, orang sini mending ke Singapore, yang jarak tempuhnya lebih dekat ketimbang ke ibukota negara.
Ada lagi yang unik. Universitas di Pontianak itu namanya Tanjungpura. Tapi nama yang sama, Tanjungpura, juga dipakai oleh Komando Daerah Militer (Kodam) VI yang bermarkas di Banjarmasin. Ketika ada teman yang diberitahu untuk ngisi materi training perbankan syariah, dia balik bertanya: Kita mau ngisi TOT di markas tentara, tapi tempatnya koq di Pontianak? Rupanya yang dia tahu nama Tanjungpura itu cuma nama Kodam di Banjarmasin.
Pontianak adalah daerah dengan banyak rawa dan payau. Maklum kotanya dekat pantai. Sayangnya curah hujan disini tidak begitu tinggi. Sehingga masyarakat sering menggunakan air yang ditampung dari air hujan untuk berbagai keperluan, seperti memasak, minum dan mandi. Di mushalla fakultas ekonomi Universitas Mulawarman saya lihat terdapat banyak bak air untuk menampung air hujan, yang bisa digunakan untuk berwudhu.
Situs sejarah
Terus mau jalan-jalan kemana di Pontianak? Salah satu tujuan yang direkomendir teman-teman adalah ke tugu Khatulistiwa, kurang lebih 3 km dari kota. Tugu ini melambangkan bahwa Pontianak merupakan salah satu kota yang berada tepat 0 derajat lintang Khatulistiwa alias garis lintas matahari di bumi. Konon apabila matahari berada pada titik kulminasi (yaitu 21-23 Maret dan 21-23 September tiap tahun) di tengah hari, maka siapa yang berdiri disana ia seperti tidak punya bayangan. Titik ini ditemukan oleh orang Belanda walaupun kemudian direvisi oleh Badan Pengkaijan dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Yang suka pada situs sejarah, ada kraton peninggalan jaman baheula. Namanya Keraton Alkadri. Kraton ini adalah peninggalan Kesultanan Kadiriah yang sempat bertahan selama hampir 180 tahun (1771 s/d 1959). Didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, tokohnya yang terkenal dalam sejarah Indonesia adalah Sultan Hamid Alghadri II yang dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai wakil dari Indonesia Tengah dan Timur. Pengagum Alghadri mengklaim bahwa adalah Sultan mereka itu yang menciptakan lambang negara, burung garuda (lihat http://istanakadriah.blogspot.com/ )
Sekarang ini, jalan ke arah kraton sedikit padat. Kiri kanannya dipenuhi rumah penduduk. Sopir yang mengantar kita kesana bercerita tentang hal yang lebih seram: banyak narkoba dan miras disini. Padahal daerah ini dikenal kuat Islamnya dan keturunan Arabpun banyak tinggal disini. Di depan kraton ada masjid raya yang dulu biasa digunakan Sultan untuk shalat jumat bersama rakyatnya. Konon masjid itu didirikan tahun abad 19 (sekitar 1800 an an)
Pontianak juga merupakan tempat ideal buat Cap Go Meh. Setiap tahun ratusan ribu orang keturunan Cina berkumpul di kota ini untuk merayakan tahun baru Imlek. Bukan saja dari Medan, kota-kota di Jawa, Sulawesi dan lainnya, tapi juga dari Singapore dan Malaysia. Cap Go Meh di Pontianak sudah menjadi trademark tersendiri yang dikenal luas. Entah apa yang menarik dari peristiwa itu jika dilakukan di Pontianak. Padahal seingat saya yang namanya tahun baru Imlek pasti sama saja. Dimana-mana bangunan kelenteng, penuh dengan lampoon, angpau, barong sai dan hio yang dipasang dimana-mana.
Dari sini, ke luar negeri juga bisa. Jarak Pontianak-Kuching (ibukota Sarawak, Malaysia Timur) hanya 45 menit penerbangan. Tapi pesawatnya jarang-jarang. Kalaupun ada jenisnya masih baling-baling, bukan jet. Bisa juga naik bis, tapi jarak tempuhnya lumayan lama, 18 jam. Masalahnya, sampai di Kuching, apa yang mau dilihat? Saya pernah rapat disana selaku anggota Dewan Syariah, Securities Commission Malaysia (mewakili Indonesia). Baru satu hari disana sudah kepingin pulang. Kota ini hidup hanya delapan jam, dari jam 7 pagi (jam 8 waktu Jakarta) sampai jam 4 sore (jam 5 waktu Jakarta). Setelah itu Kuching seperti kota mati. Sepi. Nyaris tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Tidak ada penjaja makanan yang suka lewat seperti di kampung sendiri, seperti mie tektek, nasi goreng dans sebagainya. Buat yang suka keliling di mall malam hari, siap-siap aja untuk gigit jari. Pasalnya adalah mall disana tutup jam 7 malam (jam 8 WIB). Hujan emas di negeri orang, memang lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Apalagi kalau hujan duit.
Hubungan Sosial
Suka atau tidak, kota ini masih menyimpan rasa tegang, sisa kerusuhan tahun 1999. Saat itu Melayu dan Dayak bersatu melawan Madura. Apa yang terjadi diantara mereka sungguh mengerikan dan di luar batas yang dilakukan manusia normal. Yang saya ingat, hampir seluruh majalah luar negeri waktu itu (Times, News week sampai Far Eastern Economic Review) memajang foto-foto yang menunjukkan sisa-sisa pertempuran sadis diantara dua kelompok.
Kerusuhan 1999 tidak bisa dibantah merupakan krisis kemanusiaan yang merupakan ekor terakhir dari krisis ekonomi, yang didahului krisis keuangan dan merupakan akibat krisis perbankan. Meledaknya kerusuhan dimana-mana diakibatkan dari bertumpuknya masalah yang tidak terselesaikan sehingga ketika mendapatkan momentum ia meledak seperti bom waktu.
Kini ada fenomena baru, yang bisa menimbulkan hal yang sama. Gubernur sekarang, Cornelis, berasal dari etnis Dayak-Kristen, dan wakilnya dari etnis Tionghoa. Keduanya berhasil naik menjadi pasangan yang berkuasa setelah berhasil mengecoh 3 pasang balon gubernur dengan komposisi Islam-Kristen. Maka asumsi bahwa minoritas tidak bisa mengalahkan mayoritas kini tidak berlaku. Tergantung strateginya bung, kata orang dulu. Kalau mayoritasnya bodo dan para pemimpinnya ndablek (mau menang sendiri, nggak ada yang mau ngalah) ya seperti itu nasibnya.
Di negara yang tidak berdasarkan agama seperti Indonesia, sekarang ini masalahnya bukan soal muslim atau tidak. Banyak juga para pemimpin yang muslim akhirnya masuk bui karena korupsi. Nilai-nilai luhur Islam tentang keadilan, kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab tidak pernah tercermin dalam kehidupan mereka. Buat mereka Islam artinya shalat, zakat, puasa, haji, maulid dan mi’raj. Ketika mereka kampanye untuk pemilihan, biasanya mereka tampil bak pemimpin Islam; peci, baju koko dan atribut Islam lainnya. Demikian pula ketika menghadapi masalah, yang diturunkan adalah massa yang menggunakan atribut Islam.
Perbankan Syariah
Di Pontianak, meskipun kecil daerahnya, perbankan syariah punya pesaing hebat. Namanya Credit Union. Ini semacam LSM yang memberikan kredit murah kepada pengusaha kecil. Apa dasar hukumnya, nggak jelas. Koperasi bukan, bankpun bukan. Tapi, secara sportif bank syariah harus mengakui bahwa Credit Union sangat cepat berkembang. Cara mereka memberikan kredit sangat sederhana. Cukup dengan fotocopy KTP. Tapi sebelum dicairkan kreditnya, nasabah akan dibina secara khusus dalam beberapa kali pertemuan dengan nasabah lain. Persis waktu pertama kali BMT (Baitul Mal Wattamwil) diperkenalkan di sekitar Jabotabek dulu.
Sumber dana credit union ini nggak jelas dari mana. Yang jelas ia selalu siap membantu apabila nasabah memerlukan. Monitoring nasabah juga ketat. Setiap hari petugasnya mendatangi nasabah-nasabah yang sudah menerima pinjaman. Baik untuk menerima cicilan maupun sekedar meyakinkan bahwa nasabahnya benar-benar melakukan usaha.
Menghadapi pelayanan yang pro-aktif ini terus terang aja bank syariah bisa keok. Sebab yang namanya bank tidak bisa sembarangan melakukan pencairan tanpa ada analisa nasabah, analisa pembiayaan dan analisa jaminan. Yang seperti itu saja pasti memerlukan waktu yang tidak sedikit. Apalagi ngurus pembinaan antar nasabah segala (walaupun dulu pada tahun 2007 pernah ada kajian linkage BUS-BPRS- BMT yang merngharuskan adanya keterlibatan nasabah dalam group)
Maka tidak heran nama bank syariah di kota hantu ini nggak bagus. Padahal disini ada Bank Kalbar Syariah, BSM, Bank Muamalat, BRI Syariah dll. Ada juga BPRS yang letaknya ratusan kilometer dari Pontianak. Juga beberapa BMT yang hidupnya kembang-kempis, seperti alang-alang tumbuh di batu. Apa yang diandalkan dari bank-bank syariah ini adalah strategi pemasaran dengan memainkan kedekatan ideologis. Dengan kata lain mereka mengandalkan apa yang disebut Hermawan Kertajaya sebagai emotional customer. Masalahnya, jika bank syariah tidak mampu meningkatkan pelayanannya, apakah mampu mempertahankan nasabah yang diikat dengan ikatan emosional itu?
Tulisan ini dibuat ketika menjadi instruktur pada TOT Perbankan Syariah di Universitas Tanjungpura. Training yang penuh dengan interupsi dari peserta karena adanya jejak abu-abu bank syariah di kota Sultan Hamid Alghadri ini. Training kita memang penuh dengan dinamika, dan sengaja dibiarkan begitu, untuk menemukan format perbankan syariah yang memang sesuai syariah, dan hati nurani.
Jakarta, April 2010
No comments:
Post a Comment