Pages

Wednesday, July 25, 2012

Semoga...(Radio kita lebih baik)

Dua minggu terakhir, dalam perjalanan pergi ke kantor setiap pagi habis Subuh. Pesawat radio di innova kesayangan disetel pada gelombang milik sebuah stasiun baru -yang membanggakan hati dan lama ditunggu-tunggu: Madia Da'wah Attaqwa. Stasiun itu dipancarkan dari pondok tercinta dan menggunakan lintasan 106,4 FM. Gelombang ini dapat ditangkap di udara kota Bekasi dan sekitarnya. (Melewati Jatibening, suaranya mulai bercampur dengan broadcast dari radio lain dan menghilang sama sekali ketika kendaraaan sudah mencapai Pondok Gede).

Sekarang radio ini menggunakan gelombang FM (frequency modulation). Sebelumnya sekian lama ia bertengger di AM (Amplitude modulation). Artinya gelombang yang dipancarkan akan lebih kuat dan tidak terganggu alam seperti hujan dan angin. Terima kasih pada rekan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Attaqwa yang telah memperjuangkan sejumlah bantuan dana untuk pengembangannya. Sudah lama masyarakat Ujungharapan dan Bekasi mengharapkan Attaqwa muncul dalam bentuk media, terutama radio, untuk dapat "menemani" da'wah radio lain, yang terasa "asing" bagi kultur Bekasi (baca=Betawi). Kultur Betawi Ora ini memang secara tradisi lebih dekat dengan kaum tradisional (NU) walaupun secara sosio-politis dekat dengan kaum moderen (Masyumi). Radio Attaqwa diharapkan hadir lebih "sejuk dan mengayomi" dibanding teman-temannya yang muncul duluan dan terasa "rada sangar". Seberapapun benar klaim dari para ustaz di radio yang lebih dulu itu, tetap saja masyarakat masih "gerah" mendengar hujatan "bid'ah", "tidak ada sunnahnya" atau "isybal" (alias cungkring) tiap kali ceramah didengungkan tiap pagi. Padahal, seperti kata Mandra suatu kali, "ceramah kayak gitu sering nunjuk hidung orang laen, padahal diri sendiri juga ngga dijamin masuk syurga.."

***

Sayangnya kenikmatan mendengarkan alunan quran pembuka beserta terjemahannya, atau ceramah subuh dari radio yang masih baru ini, masih harus terganggu oleh beberapa hal kecil yang semestinya sudah tidak lagi muncul jika sebuah radio mencapai level FM.

Di tengah alunan merdu ayat suci dari suara seorang qari, tiba-tiba muncul terjemahan dengan suara yang menyeramkan, seperti rintihan penghuni neraka atau orang yang habis digorok lehernya. Banyak yang bercerita bahwa gara-gara suara itu mereka segera mengganti channel mereka dengan Dakta, Delta, Bens Radio atau radio lainnya yang juga menyiarkan program keIslaman ba'da subuh.

Terkadang para ustaz yang ceramah di radio pun (nampaknya) tidak dibrief dengan baik sehingga ada yang memberikan kuliah subuh seperti di tengah jamaah yang berkumpul di lapangan. Ceramah diberikan dengan suara yang lantang dan keras sehingga pendengar secara otomatis mengecilkan suara radionya. Ada juga yang memberikan ceramah dengan cara membacakan hadits dan mengartikannya secara harfiah. Syukur kalau lagi betul menerjemahkannya. Ketika kurang tepat menterjemahkannya, yang mendengarkan pasti menganggap ustaz ini kayaknya masih perlu belajar lagi dan belum waktunya mengudara. Parahnya bahasa terjemahan yang digunakan ketika masih di pesantren, seperti bermula-yaitu (Jawa= utawi-iku) atau hanyasanya dan memukul ia akan daku, sangat sering terdengar. Pemirsa yang umumnya tidak biasa dengan bahasa pesantren tentu akan bingung. Mereka menebak-nebak logat apa yang ustaz ini gunakan, karena sama sekali tidak biasa bagi orang awam.

Sekali waktu, sebuah rekaman ceramah diperdengarkan setelah bacaan quran, yang terjemahannya menggunakan suara yang menakutkan itu. Tidak ada penjelasan yang diberikan oleh penyiar (yang memang tidak ada ba-bi-bu sejak pembukaan). Pemirsa menebak-nebak ini ceramah siapa kiranya. Dari gaya suaranya, ceramah itu berasal dari rekaman KH. Zainuddin MZ. Tapi topiknya apa, ceramahnya dimana dan dalam rangka apa serta kenapa disiarkan oleh radio ini, kagak jelas juntrungannya. Para pemirsa akhirnya menebak-nebak, ini yang nyalain broadcast instrument studio sekuriti pondok kali ye, yang belon pengalaman siaran...

***

Urusan seperti ini mengingatkan saya pada seorang rekan yang punya kebiasaan unik. Orangnya nggak betah di rumah sendiri alias suka ngelayap di rumah teman-teman lain. Cerita gaya kalongnya ini selalu jadi bahan obrolan kawan-kawan antar angkatan, saking seringnya anak itu bergaul, baik dengan yang kecil maupun besar. Kesukaannya nongkrong di tempat lain membuatnya susah dicari di rumah sendiri. Entah di pondok, entah di rumah sohib lainnya. Kebiasaan itu tidak hanya terjadi di tanah air, tapi terbawa juga ke luar negeri, tempat kami kuliah. Jadi jangan pernah nyari anak itu di kamarnya sendiri -di asrama yang sudah disediakan. Dia tidak akan pernah berada disana. Dia akan lebih mudah ditemukan di kamar lain, milik rekan dari Makassar, Surabaya atau Aceh bahkan Afrika.

Tapi ada hal yang istimewa dari anak itu. Ia punya kebiasaan bagus yang tidak dimiliki teman-teman tongkrongannya. Dia seringkali serius mengerjakan sesuatu yang dia gandrungi. Dan hal-hal itu seringkali di luar kebiasaan kami yang orang-orang pesantren. Mulai dari main gitar, nulis puisi, nulis artikel, main bola sampe ngurus radio. Banyak karyanya yang kalau dikumpulkan bisa jadi bunga rampai. Hanya saja umurnya terlalu pendek dan tidak mengizinkannya untuk hidup lebih lama dan mengabdi ke pondok kami tercinta.

Keseriusan mengurus sesuatu inilah yang terasa kurang. Termasuk dalam urusan pe-radio-an ini. Dalam bahasa moderen, kira-kira bisa diartikan kurang pro alias kurang profesional. Maklumlah mungkin karena kita terhitung sangat hijau di dunia beginian. Semoga saja selanjutnya bisa lebih baik

Amiin

****

Kantor, akhir Juni

No comments: