Pages

Monday, February 18, 2013

Guru Sa'duddin; Bendahara 24 Jam

Suaranya bersih dan lantang. Giginya rapih dan awet walaupun sudah berumur. Pakaiannya selalu necis, baik ketika menggunakan seragam safari maupun ketika bersarung dan berbaju koko. Ketika belum punya mobil, dia mengendarai vespa biru dengan kacamata hitam setianya. "Wuih,,,,kayak Marlon Brando cing" komentar seorang rekan yang melihat penampilannya ketika bervespa ria.



Dialah Guru Sa'duddin, bendahara setia Pak Kiai. Rumahnya di blok masjid  abis jembatan warung Bang Mirun belok kiri. Kalau lagi bicara sering senyum membuatnya terlihat awet muda. Kita tidak pernah tahu kapan beliau diangkat bendahara oleh Pak Kiai. Tapi yang kita tahu, hitungan Guru Sa'duddin sangat cermat. Laporan keuangan makanannya sehari-hari. Kata orang, pada pembukuan akhir hari, dia tidak mau ada selisih sepeserpun.  "Ntar gua ditagih di akherat. Kalau ditagih di dunia sih gua maasih bisa bayar..." katanya.

Ingatannya juga kuat. Hampir setiap saat dapat menjelaskan kondisi keuangan yayasan secara akurat, termasuk hutang piutangnya. Bisa jadi karena ia memeriksanya setiap hari dan setiap jam. Menjadi bendahara nampaknya seperti pengabdian seumur hidup dan ia jalani dengan sepenuh hati. 

Mengajar Bahasa Indonesia
Guru Saduddin punya suara bagus. Menurut cerita orang, beliau pernah jadi qari. Bahasa Indonesianya juga baik, padahal pendidikannya hanya Sekolah Rakyat. Itu sebabnya Pak Kiai memintanya mengajar bahasa Indonesia untuk tingkat MTS dan MA. Yang menarik, setiap selesai mengajar ia selalu membacakan puisi atau syair yang ia kutip dari berbagai buku atau majalah, sehingga kami merasa bahwa bahasa Indoensia merupakan bahasa yang hidup living language. Saat itu, puisi-puisi karya Rendra, Em-ha Ainun Najib dan lain-lain sedang ngetop. Guru Sa'duddin tidak ketinggalan mengutip dan membacakannya pada kam. Selain tentunya karya-karya baku yang harus dipelajari seperti karya Sanusi Pane, Chairil Anwar, Marah Rusli dan sebagainya. 

Apik berpakaian
Sa'duddin terkenal selalu apik dalam berpakaian. Berani sumpah, kalau ada lomba berpakaian terbaik diantara para guru, beliau pasti terpilih sebagai salah satunya. Pakaian favoritnya kalau mengajar adalah baju safari. Sepatunya selalu mengkilat. Kata keluarganya, dia menyemir sendiri sepatunya. Nampaknya beliau seperti ngkong Saolin , pembantu administrasi Pak Kiai, yang suka mengerjakan sendiri semuanya. Barang-barangnya sering ia rawat sendiri, seperti vespa kesayangannya. Ia selalu mencucinya sendiri, menggosoknya dan memolesnya dengan minyak sehingga tidak heran motor itu selalu mengkilap.

Akrab dengan para santri dan santriwati
Guru Sa'duddin orangnya ramah. Dia tidak pernah membatasi diri untuk bergaul. Makanya dia bisa ngobrol sama pejabat, atau dengan tukang beca di Pasar Ciplak. Apalagi murid-muridnya. Maka tidak heran jika para santri dan santriwati akrab dengan beliau, tanpa kehilangan hormat kepadanya. Sebagian cerita tentang perjuangan Pak Kiai kami dapat dari beliau, meskipun beliau termasuk dalam generasi kedua yang mengikuti Pak Kiai pada masa tahun 50-60an, yaitu masa dimana Pak Kiai sudah terjun dalam dunia politik. Berbeda misalnya dengan angkatan pertama murid dan sahabat pak Kiai seperti Guru Shomad (keponakan pak Kiai) Guru Arsyad dan Guru Yaqub yang terlibat langsung dalam Revolusi Fisik perang kemerdekaan RI tahun 1940an.


Mengawal Pak Kiai
Banyak cerita Guru Saduddin ketika mendampingi Pak Kiai. Mulai dari dipanggil malam-malam untuk menyediakan dana sampai mengantar belanja kebutuhan yayasan. Maklumlah yayasan kami masih dalam taraf membangun sehingga setiap minggu ada saja yang harus dibeli.
Ketika masjid Attaqwa direnovasi tahun akhir 1980an Sa'duddin termasuk yang diminta untuk mengantar belanja ke Jatinegara terutama untuk kerja-kerja akhir seperti menentukan komposisi warna karpet/sajadah dan cat yang bagus untuk interior masjid. Disinilah istilah cerita mengelus dada muncul. Menurutnya,  "rasanya nggak enak hati kalau ngikutin Pak Kiai belanja. Kalau dia udah seneng barang dia akan tunjuk dan suruh saya bayar. Nggak ada tawar-tawar lagi. Padahal kalau kita yang beli mungkin harganya bisa setengahnya."

Kalau  cerita yang mirip kayak gini saya sendiri pernah mengalaminya. Waktu kelas III aliyah, saya pernah diminta untuk membeli batu bata di murid beliau yang ada di kampung saya, Cikarang. Hari minggu pagi, ketika saya sedang lari pagi pak Kiai memanggil saya kembali masuk masjid. Dari sejak shalat Subuh saya memang merasa heran koq Pak Kiai jadi imam shalat Subuh di masjid pondok putra. Padahal biasanya hari Ahad beliau shalat di Mushalla Albarkah, yang terletak di samping pondok putri. Tanpa megnhiraukan penampilan saya yang tidak biasa (pakai kain dan baju koko tapi keringetan), beliau langsung memberi perintah. "Elu pulang ke Cikarang. Terus ke rumah H. Basyar. Gua minta dibawain batu bata 4000 buat bangunan anak-anak putri. Ini duitnya..." sambil mengeluarkan ampop tebal.
Tanpa banyak cingcong saya langsung pulang dan menemui H. Basyar, salah seorang juragan batu bata di Cikarang, yang juga murid ayah saya. Setelah membuka amplop H. Basyar melihat saya dengan heran. "Banyak amat....?" katanya. "Lha, saya nggak tau pak haji" jawab saya. Ia memasukkan kembali sebagian uang ke dalam amplop dan memberikannya kepada saya. "Ente kemari lagi jam 1 siang ya." katanya. "Uang itu tolong kembalikan ke Pak Kiai, karena harga bata yang saya produksi lebih murah dari harga yang ditentukan Pak Kiai." (Masya Allah, masih ada nggak pembeli-penjual yang akhlaknya kayak gini ya?)


Pantang ditantang
Sa'duddin memang peramah. Tapi jangan dipikir ia orang yang suka mengalah. Meskipun kelihatannya suka guyon dan menyenangkan, ia adalah pejantan sejati, istilah anak muda sekarang. "Saya tidak suka keributan, tapi kalau ditantang, saya tidak akan mundur" katanya.
Alkisah, di zaman ketika ia nyantri pada pak kiai, musuh bebuyutan kampung Ujungmalang adalah Teluk Pucung, Memang tidak pernah terjadi keributan, atau perkelahian, tapi saling ejek dan saling sindir merupakan urusan hari-hari. Sa'duddin muda yang sering melewati kampung itu, tak luput dari ejekan. Salah satu ejekan yang tidak bisa dia terima adalah bahwa "orang Ujungmalang miskin-miskin ya, makanya suka mungutin zakat." Sa'duddin marah dan bilang, "kalau kampung ini dijual, gua mau beli". Orang yang mengejek itu bilang. "Jangan banyak bacot, ayo buktiin aja..."
Karena hatinya merasa panas diejek seperti itu, guru Saduddin lalu mencari siapa anak perempuan yang mondok di Albaqiatus Salihat (nama lama Pondok Attaqwa Putri). Begitu ketemu, langsung ia lamar. Pucuk dicinta ulam tiba, lamarannya diterima. Dan rombongan yang ia bawa ketika berbesanpun sangat ramai dengan berbagai bawaan. Orang Teluk Pucung kaget dan terheran-heran. Rupanya orang Ujungmalang lebih makmur ketimbang mereka. Sejak saat itu saling ejek diantara penduduk dua kampung pun berkurang jauh dan akhirnya menghilang. Berkat Sa'duddin muda yang tidak suka ditantang.
------------------------

Kisah ini belum saya tutup karena masih mengumpulkan data. Tapi tetap saya upload untuk bisa dibaca.
Jadi buat rekan-rekan (terutama sohib pondok) yang tahu lebih banyak data mengenai almarhum Guru Sa'duddin silakan hubungi saya via japri

Thanks


Kosakata:
Pak Kiai : Almaghfurlah KH. Noer Alie, Pimpinan Umum Yayasan Attaqwa, Bekasi. 
Yayasan: Yayasan Attaqwa (sebelum 1987 bernama Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam)
Marlon Brando: Bintang film terkenal Amerika tahun 1960an
Pasar Ciplak: Pasar dekat pondok putra. Disebut Pasar Ciplak konon karena Pak Kiai merasa gusar karena banyak orang yang makan (ciplak)  siang bolong padahal saat itu bulan puasa.

No comments: