Pages

Tuesday, September 6, 2022

Tengku Dr. Muslim Ibrahim, 20 tahun lalu.


23 Agustus 2002

Saya melakukan presentasi  produk perbankan syariah di aula kantor MUI Aceh. Kehadiran saya mewakili Bank Indonesia untuk menyampaikan kebijakan pengembangan perbankan syariah Bank Indonesia di Lokakarya Alim Ulama se provinsi Aceh. Pelaksananya adalah MUI (sekarang MPU) Aceh, yang ketuanya waktu itu Dr. Tengku Muslim Ibrahim. Yang datang adalah perwakilan MUI kabupaten di provinsi Aceh.

Saat itu suasana Banda Aceh masih mencekam karena masih banyak anggota berbagai kelompok GAM berkeliaran. Kedatangan kita ke Banda Aceh adalah yang kedua kalinya. Sebelumnya saya datang pada bulan Februari diantar oleh senior di BI, Agus Fajri Zam (sekarang direktur EPK-OJK, dan situasinya agak horor. Karena, sebelumnya ada teror bom di Aceh Besar, di jalan yang kami lalui dari Bandara ke kota Banda Aceh. Pada kedatangan kedua inilah, diantar oleh senior BI lainnya, Dhani Gunawan Idat, Jusmanazir Katin (pemimpin BI Banda Aceh) berkomentar kagum. "Kamu punya nyawa berapa sampai berani datang dua kali kesini".

Maklum, meskipun terlihat tenang, Banda Aceh bisa saja tiba-tiba berubah mencekam karena ada rentetan peluru nyasar. Katanya, biasanya peluru itu bisa berasal dari undercover GAM yang hampir tertangkap pemeriksaan checkpoint tentara, lalu panik dan mengeluarkan senjata. Lalu isinyapun berhamburan kesana-sini.

Anehnya saya merasa tenang dan nyaman, serasa di kampung sendiri. Pasalnya sang Ketua MUI waktu pertama kali ketemu, mengaku lulusan Mesir sejak tahun 80an. Saya iseng tanya barangkali kenal dengan guru-guru saya di Bekasi seperti KH. Madrais, KH. Amin Noer dan KH. Kamaluddin Marzuqi, karena mereka juga sekolah di Al-Azhar pada tahun-tahun itu. Dia bangkit dari duduknya dan memeluk saya sambil berkomentar, "Ya Allah dunia ini sempit rupanya. Guru-guru antum itulah guru-guru saya juga. Saat saya datang ke Al-Azhar pertama kali, mereka yang membantu saya masuk, menguruskan dokumen, mencarikan tempat dan lain-lain. Sekarang antum datang ke Aceh membantu saya menjelaskan perbankan syariah kepada para ulama disini.” Kontan saya terharu mendengarnya. Ulama ini humble sekali, Berbeda dengan kesan “garang” para ulama Aceh yang selalu terdengar kritis dan vokal.

Sikap kritis Ulama Aceh dari 23 Kabupaten memang muncul pada saat lokakarya. Semua produk dan fatwa perbankan syariah “dikuliti” satu persatu. Ketika sampai kepada kesimpulan, mereka bisa menerima semua produk itu kecuali dua, yaitu Mudharabah dan Ijarah Muntahia Bittamlik. Ulama Aceh konsisten dengan Mazhab Syafii yang menganggap Qiradh lebih sahih daripada Mudharabah, sedangkan dalam format “Syafiiyyah” tidak pernah Ijarah (sewa) berakhir (Muntahiya) dengan kepemilikan (Tamlik). Jadi yang tepat adalah Ijarah wal Iqtina (Sewa dan Kepemilikan). Lalu semua cair ketika Ketua MUI Aceh mengajak semua peserta lokakarya melakukan kunjungan ke Bank Syariah Mandiri  Cabang Banda Aceh yang kantornya terletak megah di ujung Masjid Baiturrahman.

Saya tidak pernah menyangka pertemuan dengan para ulama saat itu, yang diniatkan meminta masukan dari ulama Aceh, jadi semacam “bola salju” yang menggelinding dan menciptakan gerakan ekonomi Syariah yang serius dan besar.

23 Agustus 2022

Tepat 20 tahun saya kembali berada di Banda Aceh. Kali ini di ruang aula Gubernur Provinsi Nangru Aceh Darussalam, mewakili Dewan Pengawas Syariah (DPS) Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), yang diketuai Dr. Nadratuzzaman Hosen , dan Dr. Salahuddin Al Ayubi serta saya selaku anggota. Saya diminta menjelaskan akad-akad yang digunakan dalam produk tabungan dan pemupukan di depan Aparat Negri Sipil (ANS) Propinsi NAD.

Berbeda dengan 20 tahun yang lalu, kali ini nyaris tidak ada pertanyaan terkait akad-akad tersebut. Bisa jadi karena yang hadir adalah ANS, bukan para ulama. Pertanyaan tentang Mudharabah dan Ijarah Muntahia Bittamlik pun sudah tidak ada lagi. Semuanya sudah dimuat dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syari’ah. Qanun ini dibahas mulai 2014 dan berkali-kali Tengku Muslim Ibrahim bertemu saya apabila saat rapat di Jakarta, demikian pula para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang berkunjung di Bank Indonesia.

Qanun itu kemudian disahkan pada tahun 2018 dan berakibat luas. Semua lembaga keuangan konvensional tidak diperkenankan beroperasi di Naggru Aceh Darussalam. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh pun dikonversi menjadi Bank Syariah Aceh. Asuransi, Multifinance, dan Perusahaan sekuritas tidak diperkenankan menjual produk selain yang berbasis syariah. Hanya lembaga keuangan syariah yang boleh beroperasi di Aceh.

Setahun yang lalu, Achris Sarwani, senior yang sekarang Pemimpin BI Banda Aceh meminta pelatihan untuk pengawasan bank syariah dari sisi system pembayaran dan uang digital. Pelatihan pada bulan puasa itu mempertemukan saya dengan junior di IIUM, Dr. Shabri Abdul Madjid yang menjadi Ketua Dewan Syariah Aceh, lembaga yang mengawasi lembaga keuangan syariah di Aceh. Malam terakhir di Banda Aceh, bersama sahabat-sahabat eks IIUM saya bertemu lagi dengan beliau.

Tengku Dr. Muslim Ibrahim wafat pada tahun 2019. Tapi pertemuan dengan beliau di Lokakarya MUI Aceh masih membekas. Seorang yang ikhlas, lurus dan tawadhu seperti beliau memang layak jadi panutan. Ketika mengunjungi Aceh kemarin, bagi saya beliau seperti masih hadir diantara kita, dengan sikapnya yang ramah dan bersahabat.

No comments: