23 Agustus 2002
Saya melakukan presentasi produk perbankan syariah di aula kantor
MUI Aceh. Kehadiran saya mewakili Bank Indonesia untuk menyampaikan kebijakan
pengembangan perbankan syariah Bank Indonesia di Lokakarya Alim Ulama se
provinsi Aceh. Pelaksananya adalah MUI (sekarang MPU) Aceh, yang ketuanya waktu
itu Dr. Tengku Muslim Ibrahim. Yang datang adalah perwakilan MUI kabupaten di
provinsi Aceh.
Saat itu suasana Banda Aceh masih mencekam karena masih banyak anggota berbagai kelompok GAM berkeliaran. Kedatangan kita ke Banda Aceh adalah yang kedua kalinya. Sebelumnya saya datang pada bulan Februari diantar oleh senior di BI, Agus Fajri Zam (sekarang direktur EPK-OJK, dan situasinya agak horor. Karena, sebelumnya ada teror bom di Aceh Besar, di jalan yang kami lalui dari Bandara ke kota Banda Aceh. Pada kedatangan kedua inilah, diantar oleh senior BI lainnya, Dhani Gunawan Idat, Jusmanazir Katin (pemimpin BI Banda Aceh) berkomentar kagum. "Kamu punya nyawa berapa sampai berani datang dua kali kesini".
Maklum, meskipun terlihat tenang,
Banda Aceh bisa saja tiba-tiba berubah mencekam karena ada rentetan peluru
nyasar. Katanya, biasanya peluru itu bisa berasal dari undercover GAM yang
hampir tertangkap pemeriksaan checkpoint tentara, lalu panik dan mengeluarkan
senjata. Lalu isinyapun berhamburan kesana-sini.
Anehnya saya merasa tenang dan nyaman,
serasa di kampung sendiri. Pasalnya sang Ketua MUI waktu pertama kali ketemu,
mengaku lulusan Mesir sejak tahun 80an. Saya iseng tanya barangkali kenal
dengan guru-guru saya di Bekasi seperti KH. Madrais, KH. Amin Noer dan KH.
Kamaluddin Marzuqi, karena mereka juga sekolah di Al-Azhar pada tahun-tahun
itu. Dia bangkit dari duduknya dan memeluk saya sambil berkomentar, "Ya
Allah dunia ini sempit rupanya. Guru-guru antum itulah guru-guru saya juga. Saat
saya datang ke Al-Azhar pertama kali, mereka yang membantu saya masuk,
menguruskan dokumen, mencarikan tempat dan lain-lain. Sekarang antum datang ke
Aceh membantu saya menjelaskan perbankan syariah kepada para ulama disini.”
Kontan saya terharu mendengarnya. Ulama ini humble sekali, Berbeda dengan kesan
“garang” para ulama Aceh yang selalu terdengar kritis dan vokal.
Sikap kritis Ulama Aceh dari 23
Kabupaten memang muncul pada saat lokakarya. Semua produk dan fatwa perbankan
syariah “dikuliti” satu persatu. Ketika sampai kepada kesimpulan, mereka bisa
menerima semua produk itu kecuali dua, yaitu Mudharabah dan Ijarah Muntahia
Bittamlik. Ulama Aceh konsisten dengan Mazhab Syafii yang menganggap Qiradh
lebih sahih daripada Mudharabah, sedangkan dalam format “Syafiiyyah” tidak
pernah Ijarah (sewa) berakhir (Muntahiya) dengan kepemilikan (Tamlik). Jadi
yang tepat adalah Ijarah wal Iqtina (Sewa dan Kepemilikan). Lalu semua cair
ketika Ketua MUI Aceh mengajak semua peserta lokakarya melakukan kunjungan ke
Bank Syariah Mandiri Cabang Banda Aceh
yang kantornya terletak megah di ujung Masjid Baiturrahman.
Saya tidak pernah menyangka
pertemuan dengan para ulama saat itu, yang diniatkan meminta masukan dari ulama
Aceh, jadi semacam “bola salju” yang menggelinding dan menciptakan gerakan
ekonomi Syariah yang serius dan besar.
23 Agustus 2022
Tepat 20 tahun saya kembali
berada di Banda Aceh. Kali ini di ruang aula Gubernur Provinsi Nangru Aceh
Darussalam, mewakili Dewan Pengawas Syariah (DPS) Tapera (Tabungan Perumahan
Rakyat), yang diketuai Dr. Nadratuzzaman Hosen , dan Dr. Salahuddin Al Ayubi
serta saya selaku anggota. Saya diminta menjelaskan akad-akad yang digunakan
dalam produk tabungan dan pemupukan di depan Aparat Negri Sipil (ANS) Propinsi
NAD.
Berbeda dengan 20 tahun yang
lalu, kali ini nyaris tidak ada pertanyaan terkait akad-akad tersebut. Bisa
jadi karena yang hadir adalah ANS, bukan para ulama. Pertanyaan tentang
Mudharabah dan Ijarah Muntahia Bittamlik pun sudah tidak ada lagi. Semuanya
sudah dimuat dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan
Syari’ah. Qanun ini dibahas mulai 2014 dan berkali-kali Tengku Muslim Ibrahim
bertemu saya apabila saat rapat di Jakarta, demikian pula para anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang berkunjung di Bank Indonesia.
Qanun itu kemudian disahkan pada
tahun 2018 dan berakibat luas. Semua lembaga keuangan konvensional tidak
diperkenankan beroperasi di Naggru Aceh Darussalam. Bank Pembangunan Daerah
(BPD) Aceh pun dikonversi menjadi Bank Syariah Aceh. Asuransi, Multifinance,
dan Perusahaan sekuritas tidak diperkenankan menjual produk selain yang
berbasis syariah. Hanya lembaga keuangan syariah yang boleh beroperasi di Aceh.
Setahun yang lalu, Achris
Sarwani, senior yang sekarang Pemimpin BI Banda Aceh meminta pelatihan untuk
pengawasan bank syariah dari sisi system pembayaran dan uang digital. Pelatihan
pada bulan puasa itu mempertemukan saya dengan junior di IIUM, Dr. Shabri Abdul
Madjid yang menjadi Ketua Dewan Syariah Aceh, lembaga yang mengawasi lembaga
keuangan syariah di Aceh. Malam terakhir di Banda Aceh, bersama sahabat-sahabat
eks IIUM saya bertemu lagi dengan beliau.
Tengku Dr. Muslim Ibrahim wafat
pada tahun 2019. Tapi pertemuan dengan beliau di Lokakarya MUI Aceh masih
membekas. Seorang yang ikhlas, lurus dan tawadhu seperti beliau memang layak
jadi panutan. Ketika mengunjungi Aceh kemarin, bagi saya beliau seperti masih
hadir diantara kita, dengan sikapnya yang ramah dan bersahabat.
No comments:
Post a Comment