Pages

Tuesday, August 4, 2009

Perjalanan Mengikuti Training di Federal Reserve, Washington

Ditulis untuk Milis Keluarga Besar Alumni Attaqwa
(attaqwa-bekasi@yahoogroups.com)

Saya tidak pernah bermimpi untuk pergi ke Amerika. Apalagi setelah peristiwa ledakan di WTC yang sering disebut 9-11 (nine one one). (Saya berangkat Jumat 17 Juli 2009 malam, yang pagi harinya terjadi ledakan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton). Setiap orang dengan nama Arab akan mengalami masalah dengan visa, baik karena penyelidikan yang relatif lama, atau ditolak begitu saja. Tapi entah kenapa saya yang cuma kepala seksi perizinan perbankan syariah ditunjuk untuk ikut training disana. Mungkin, seperti kata sebuah iklan, saya lagi beruntung. Topiknya relevan bagi setiap bankir; Risk Supervision and Internal Control. Tempatnya di Federal Reserve, Washington DC, pusat bank sentral Amerika. (Wuih...)

***
Mengikuti training di Federal Reserve-Washington selama seminggu, saya merasa seperti kembali ke dunia kampus. Banyak perwakilan dari bank sentral mancanegara ikut di training ini. Ada yang dari Italia, Meksiko, Turki, India, Korea, Libanon, Philipina, Kuwait, Nigeria, Ghana, bahkan dari negara kecil seperti Chech, Nepal, Kroatia dan "bank sentral gurem" seperti Afghanistan.

Seperti halnya ketika saya kuliah di Pakistan dulu, saya tidak terlalu menghadapi masalah dalam bahasa, walaupun dialek masing2 peserta kadang-kadang membuat saya ingin tertawa. Justru masalah yang muncul di tempat ini adalah masalah mendasar, yaitu makan dan shalat. Karena kita dianggap "minoritas", kebutuhan dasar kita dianggap masalah kecil sehingga tidak terlalu diperhatikan. Diantara peserta muslim, saya yang pertama usul minta disediakan makanan halal dan tempat shalat. Jawaban dari panitia adalah makanan di tempat training ini (cuma snack, 1 kali) adalah "vegetarian food". Artinya tidak ada unsur hewan disana, baik daging maupun lemak yang dijadikan minyak. Sedangkan untuk shalat kita disilakan memilih salah satu ruang "break room" yang biasa digunakan untuk istirahat. Ruang-ruang kecil ini berisi komputer dengan internet dan telpon gratis ke seluruh Amerika dan dapat digunakan oleh peserta pelatihan.

Tinggal sekarang menentukan arah kiblat. Kebetulan teman dari Kuwait bawa kompas, sehingga masalah shalat segera selesai. Yang tidak selesai sampai training berakhir adalah urusan makan siang yang tidak disediakan panitia. Saya dan teman2 peserta muslim setiap hari harus berjalan kaki kira-kira 1 km dari tempat training ke restoran Pakistan di dekat George Washington University, hanya untuk makan siang dan dengan harga yang tidak murah untuk ukuran kita yang mata uangnya sangat rendah dibanding dollar. Untungnya saya tinggal di rumah teman BI yang ditugaskan di IMF, sehingga dana yang seharusnya untuk bayar hotel bisa dialihkan untuk biaya makan dan transportasi.

Tempat kursus kita terletak di jalan K, dua blok dari Pensylvania Avenue, alias jalan menuju gedung putih, "istana negara", tempat Barack Obama sehari-hari berkantor. Di Pensylvania ave ini pula gedung IMF dan World Bank, dua penguasa dunia bidang keuangan, berdiri. Karena berada di sekitar tempat-tempat penting inilah kadang-kadang kita kehilangan konsentrasi diskusi, karena tiba-tiba muncul ide untuk jalan2 di sekitarnya. Maklumlah sebagian peserta masih berstatus "Kabayan nyaba kota" alias pertama kali datang ke negeri Paman Sam ini. Termasuk saya tentunya. Bahkan ada beberapa beserta yang sepakat "dugem" di sebuah klub setelah jam training selesai.

Ruang training diatur sedemikian rupa sehingga berbentuk kelompok2 diskusi. Satu meja terdiri dari 5 kursi. Peserta training dari negeri yang sama dipisah kelompoknya agar ada interaksi dengan peserta dari negara lain. Di dinding menempel 6 TV digital, agar peserta di belakang dan tengah dapat memilih TV terdekat, alias tidak semua memandang kedepan. Ke 6 TV itu dihubungkan dengan laptop yang ada di podium instruktur yang mengatur slide2 selama ia berbicara/ memberikan materi. (Kapan ya Attaqwa punya ruang training kayak gini).

Materi yang diberikan sebenarnya sudah "biasa" buat para "central banker". Isinya berkisar Pengawasan Internal bank, cara mengidentifikasi dan menghitung risiko, anti pencucian uang, pengawasan TI, dan transaksi internasional (L/C). Suasana training agak membosankan karena instruktur berbicara monoton, dan tidak akan berhenti jika tidak diinterupsi. Tapi bukan Amerika namanya jika tidak memberikan sesuatu yang menarik. Setiap selesai satu materi peserta diminta mengerjakan studi kasus, yang bahannya sudah disiapkan dari awal. Tiap kelompok berlomba untuk memberikan jawaban yang benar dan terbaik. Di akhir training dipilih kelompok yang paling aktif dan paling banyak mengerjakan tugas. Instruktur juga meminta evaluasi terhadap pelaksanaan training selama seminggu ini.

Kursus pengawasan risiko di US, seperti kata orang, ibarat orang sehat belajar dari orang sakit. Amerika sejak setahun lalu didera krisis keuangan yang dahsyat akibat gagalnya obligasi rendah (sub prime mortgage). Obligasi itu diterbitkan perusahaan perumahan yang memberikan kredit jor-joran kepada pihak yang sebenarnya belum saatnya mendapat kredit. Karena dijamin perusahaan besar seperti Goldman-Sach, obligasi itu dapat rating tinggi. Ketika kredit2 itu "default" alias macet, otomatis penerbit obligasinya juga nggak bisa bayar. Begitu pula perusahaan penjaminnya, karena premi penjaminan yang dibayar untuk obligasinya juga rendah. Akibatnya para pemegang obligasi tidak bisa berharap uangnya bisa kembali. Dan bicara tentang sub-prime obligation bukan bicara seribu-dua ribu dollar, tapi milyaran. Meskipun Obama mendapat restu dari Kongres untuk mengucurkan 700 milyar dolar untuk menjamin sistem keuangan, para analis bilang masih diperlukan sekitar 3 trilyun lebih untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga keuangan.

Dengan pemahaman seperti ini, para instruktur di Fedres seringkali merasa "defensif" dan menolak memberikan jawaban. Mereka nampaknya terikat pada kebijakan informasi yang mengharuskan jawaban semacam itu hanya diberikan oleh pejabat yang lebih tinggi. Hal ini sebenarnya biasa saja, dan saya mengalaminya ketika masa2 krisis ekonomi di tanah air dulu. Hanya saja suasana krisis membuat mereka seperti kehilangan muka. Jawaban paling riil justru saya peroleh dari para peserta training. Mereka umumnya ikut training karena memang ingin datang ke negeri Paman Sam ini. Bisa jadi tujuannya cuma untuk jalan-jalan saja. Kalau mau jujur, siapa sih yang nggak suka pergi ke Amerika? Apalagi perjalanan kita dibiayai oleh kantor. Terus terang aja saya sendiri punya niatan seperti itu. Dan seperti yang saya duga, kehidupan yang saya temui disana memang menyenangkan.

***

Rumah teman yang saya tinggali berada di Bethesda, sebuah daerah di wilayah negara Bagian Maryland, yang berbatasan dengan Washington DC. Hanya perlu sekali naik bis dan terus naik metro bawah tanah sampai Farragurt North, tempat pelatihan diadakan. Total waktu yang diperlukan hanya setengah jam. Tidak ada cerita macet dan suara klakson akibat sopir yang ugal2an. Padahal ini ibukota sebuah negara adidaya. Kontras sekali dengan yang saya temui setiap hari di Jakarta. Itu sebabnya saya suka "ngelayap" ke berbagai tempat kalau kebetulan sedang berkunjung ke negeri-negeri Barat. Sistem transportasinya bagus, aman, praktis, cepat dan murah. Kecuali jika sedang dalam perbaikan, seperti yang saya alami minggu lalu di daerah Bethesda, Maryland. Atau karena banyaknya ancaman bom seperti di London.

Daerah sekeliling rumah teman saya penuh pepohonan, yang kalau pagi penuh dengan kicau burung. Bila malam menjelang, suasana sepi dan banyak kunang2, serangga yang berkelip pada kegelapan, dan sudah hilang dari kampung saya sejak duapuluh tahun lalu, akibat industrialisasi. Hal yang sama saya temui di Virginia, negara bagian lain yang mengapit Washington DC, dan di Washington DC sendiri. Tidak heran jika ada pembantu rumah tangga di rumah teman lain yang komplen, "katanya ibukota negara besar, koq kayak hutan?"

Meskipun banyak pepohonan dan lapangan luas, saya tidak mendapati satupun sampah plastik atau kertas. Semuanya bersih dan rapih. Bahkan sampah rumah tanggapun diatur. Sampah harus dipilah oleh rumah menjadi tiga jenis; plastik, kertas dan lainnya. Salah sedikit memasukkan sampah, sampah anda akan nginap untuk malam berikutnya, karena mobil pengambil sampah itu beda2, ada yang khusus plastik, ada yang khusus kertas dan "lainnya".

Buat para "cyber-lover" negara ini seperti syurga. Kemana saja anda pergi pasti ada free hotspot. Mereka menyediakannya sebagai "compliment" atas pelayanan yang diberikan. Blackberry saya selalu berganti-ganti "wireless spot" dengan status "open" setiap saya pindah tempat. Artinya saya dapat memanfaatkan jaringan internet nirkabel gratis. Maka jangan heran jika facebook saya terus-terusan online. Sambil merangkai tulisan ini, pikiran saya selalu tertumbuk pada pertanyaan berkelanjutan: "kapan ya, negara atau minimal Bekasi tercinta bisa kayak gini...". Mungkin saya, seperti kata sebuah acara TV, "mimpi aja kalee..."

***

Selesai kursus di Federal Reserve seharusnya saya bisa langsung pulang. Tapi teman2 telah sepakat sebelumnya untuk mengambil cuti selama lima hari sesudah kursus, untuk jalan-jalan dulu ke New York. Kata orang, belum ke Amerika namanya jika belum sampai ke kota bisnis itu.

Bayangan saya tentang New York sebelum ini adalah Jakarta. Macet, kumuh, gersang dan rawan. Setelah berada di dalamnya, ternyata beda-beda. Untuk yang pertama, saya benar, tapi hanya setengahnya. Sedangkan untuk yang kedua dan ketiga saya salah. Saya memasuki kota New York setelah dijemput perwakilan kantor di bandara JFK. Thanks God, pikir saya, setelah keluar dari pesawat. Penerbangan dari Wasington Dulles (baca Dallas), dan umumnya penerbangan domestik di Amerika, terkenal tidak sebaik penerbangan internasional (kalau tidak mau menyebut sangat buruk). Pesawatnya kecil-kecil dan kalau angin kencang goyangannya bisa bikin muntah. Pramugarinya juga sama dengan pramugari di penerbangan kita, mahal senyum.

Saya dibawa ke rumah wakil kepala perwakilan sebuah bank pemerintah. Kebetulan istrinya adalah keponakan dari pimpinan perwakilan kantor saya. Mereka tinggal di daerah Queen dan saya numpang di sana. Daerah ini merupakan salah satu dari bagian kota New York city. Keempat lainnya adalah Manhattan, Broklyn, Staten island dan Bronx. Daerah Queen lebih mirip pondok indah buat saya. Tidak ada sama sekali tanda-tanda kumuh disini. Pohon-pohon rindang dihias dengan rerumputan di sekitar rumah-rumah yang umumnya bergaya Belanda (lama) membuatnya terlihat seperti dalam dongeng. Seperti di Maryland, bangunan2 tempat tinggal disini memang tua, tapi kerapihan dan kebersihannya tetap dijaga.

Hari pertama di New York saya lalui dengan jalan-jalan ke Liberty island. Dari Queen kami mengambil jalur kereta bawah tanah, yang jalurnya jauh lebih rumit dari Washington DC. Di sebagian "intersection" malah jalur kereta itu "bertumpuk" tiga, seperti yang terdapat di London. Hanya dalam waktu 35 menit saya sudah tiba di ujung jalur kereta. Tidak ada cerita bermacet-macet ria seperti yang terjadi di Jatibening kalau saya bawa mobil ke kantor. Kata teman-teman yang tinggal disini, kemacetan hanya ada di pintu keluar tol ke arah Manhattan. Disitu kebanyakan macet karena orang lebih suka bayar dalam bentuk cash daripada pakai kartu.

Tidak ada yang terlalu istimewa di Liberty island, kecuali patung liberty berwarna hijau, yang masih kokoh walaupun umurnya sudah lebih dari 100 tahun. Patung perempuan yang sedang mengepit buku di tangan kiri dan menjunjung obor di tangan kanan itu didirikan Gustav Eiffel (yang kemudian mendirikan menara Eiffel di Paris) bersama teman2nya pada tahun 1876 dalam rangka peringatan 100 tahun kemerdekaan Amerika.Untuk sampai ke pulau Liberty seseorang harus menggunakan Ferry dan hanya memerlukan waktu 15 menit. Tapi antrinya bisa berjam-jam. Termasuk pemeriksaan sekuritinya yang dilakukan mirip ketika mau boarding ke pesawat. Semua alat komunikasi, logam dan elektronik harus di scan.

Pulau Liberty berdampingan dengan pulau Ellis (teman saya menyebutnya Euis, maklum orang Sunda), tempat tinggal mayor New York City (sekarang sebagiannya sudah jadi museum). Ada cerita unik dari Walikota New York. Walikota sekarang, Bloomberg, terpilih karena menawarkan sesuatu yang dahsyat. Jika ia terpilih jadi Walikota, ia tidak mau digaji sepeserpun. Tapi aturan pemerintah mengharuskan seorang walikota tetap menerima gaji dan nilainya bukan nol. Akhirnya jadilah Bloomberg seorang walikota dengan gaji $1 (satu dollar) per bulan!

Jalur wisata ke pulau liberty biasanya satu paket dengan pulau ini, dengan bayaran 5 dollar per orang. Pulau ini juga tidak ada istimewanya. Sama seperti salah satu pulau di kepulauan seribu. Yang membuat tempat-tempat ini istimewa adalah kesadaran penduduk dan turis yang datang atas kebersihan dan kerapihan. Tidak ada botol plastik bekas minuman, bekas tissue maupun puntung rokok yang bertebaran di lantai ferry, trotoar ataupun di laut, seperti yang kita dapati di Jakarta dan kota2 lain di tanah air.

Ferry menuju Liberty island terletak di ujung jalan Broadway avenue, salah satu jalan terpanjang di New York. Di jalan ini pula perwakilan kantor saya berada. Di belakangnya tepat Ground Zero, tempat dulu World Trade Center berada. Ketika WTC runtuh tahun 2002 beberapa teman yang sudah berada di kantor sempat terluka karena kaca-kaca yang pecah akibat getaran. Sejajar dengan jalan ini adalah Wall Street, pusat keuangan kota New York. Di jalan ini semua bank bergengsi di Amerika ada cabangnya. Di jalan ini pula New York Stock Exchange (bursa efek) terletak. Saya ingin sekali masuk ke dalamnya, tapi karena berkunjung pada hari libur, tidak ada satupun turis yang dibolehkan masuk.

Sebelum pulang saya mampir di Times Square, "blok M" nya New York. Di tempat ini nafas New York seperti tidak pernah berhenti, siang dan malam. Karena saya mampir ketika gelap datang, cahaya gemerlap langsung menyambut saya begitu keluar dari stasiun bawah tanah metro. Selain jadi pusat pertokoan, berbagai jenis hiburan ada disini, mulai yang ringan di tengah jalan sampai "striptease" yang hanya bisa dimasuki orang2 tertentu. Ada juga Madame Tussaud, Mary Popkins, Hard Rock Cafe dll. Pusat-pusat "dugem" ini katanya tutup jam 6 pagi, dan digantikan dengan kesibukan perbelanjaan dan bisnis. Kebetulan saya termasuk yang kurang suka begadang dan keramaian. Jadi baru 10 menit saja berada di tempat ini saya langsung pusing.

***

Sejak hari pertama saya menginjakkan kaki di Amerika, saya selalu diceritakan setiap orang tentang Ust. Syamsi Ali. Ustaz ini katanya berasal dari Indonesia dan sukses menjadi public figure di New York karena berhasil menjembatani antara Islam dan Amerika. Reputasinya meroket ketika diminta ceramah mengenai Islam disana-sini setelah kejadian WTC. Dia bahkan diundang secara khusus oleh Presiden George Bush untuk menenangkan warga Muslim karena ketakutan akibat vandalisme pasca 911.

Tahun ini Syamsi dinobatkan pemerintah Amerika sebagai "tokoh yang paling bermanfaat bagi masyarakat" sehingga memperoleh "Ellis Award", sebuah penghargaan pertama yang diterima orang Indonesia di Amerika. Hal ini dikarenakan Syamsi diterima oleh semua pihak, bukan saja di kalangan Muslim, tapi juga Yahudi dan Kristen. Syamsi aktif mempromosikan dialog pemahaman antar agama agar tidak terjadi saling curiga dan prasangka, tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai muslim yang konsisten dengan ajarannya. Buktinya, saat ini ia tengah berjuang keras untuk bisa meng-gol-kan proposal untuk menjadikan Idul Fitri sebagai hari libur di New York city. Dari obrolan saya dengan teman-teman di Islamic Center, nampaknya proposal ini optimis bisa disetujui. Justru yang dikhawatirkan mereka adalah perbedaan pendapat (sering menjurus perpecahan) di kalangan ummat tentang penentuan awal Ramadhan dan Syawwal yang seringkali membuat shalat Iedul Fitri dilakukan pada beda-beda hari, di lokasi yang sama. Padahal libur itu akan diberikan tidak lebih dari satu hari.

***

Ketemu di Islamic Center New York, Syamsi bagi saya masih terlihat seperti 19 tahun yang lalu, ketika masih sekamar dengan Mastur Muhar (alumni Attaqwa angkatan saya-83, mantunya almarhum Guru Sa'duddin). Saat itu Syamsi masih di tingkat 1 fakultas ushuluddin International Islamic University Isalamabad. Sedangkan saya dan Mastur masing-masing sudah di tahun ke 3 fakultas ekonomi dan bahasa Arab.

Kenangan yang sempat saya ingat bersamanya adalah ketika libur musim panas tahun itu tiba. Saya dan Mastur tidak ke Saudi untuk cari kerja, sedangkan Syamsi baru mau tes masuk. Kami bertiga masak bergantian karena dapur umum untuk mahasiswa ditutup selama musim panas. Sambil memasak, Syamsi meminta saya untuk membantu menyelesaikan latihan2 bahasa Inggris. Saya membantunya, kadang-kadang sambil masak, kadang-kadang sambil diskusi dengan Mastur. Untuk soal-soal bahasa Arab, giliran Mastur yang memberikan bantuan.

Syamsi juga dikenal sebagai guru silat untuk murid-murid sekolah di KBRI Islamabad. Selain itu dia juga pemain inti tim sepakbola universitas. Seperti umumnya para mahasiswa Indonesia, tidak ada prestasi istimewa dalam bidang akademik yang diraihnya. Dan yang kita tahu, setelah memperoleh masternya ia bekerja di Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Jeddah. Setahun kemudian dikirim ke Perwakilan Tetap RI di PBB atas saran Dubes RI di Washington.

***

Sambil menyantap masakan Indonesia di Warung Padang "UPI" di Jamaica avenue (daerah dimana komunitas Pakistan lebih dominan, tempat salah satu Syamsi berdakwah) saya lagi-lagi harus ngelamun. Pikiran saya tidak henti-hentinya didera pertanyaan yang muncul dari rasa gemas. Kalau Syamsi yang dulu kita bantu untuk mengerjakan tugas-tugas bahasa bisa sukses seperti itu, mengapa teman-teman di Attaqwa yang pendidikan English-Arabicnya lebih dahulu diajarkan hanya punya pencapaian biasa-biasa saja? Ada apa dengan pendidikan di Attaqwa?Apakah karena orientasi kita hanya sekedar "liyunziruu qaumahum izaa raja'uu ilayhim", alias jadi ustaz di kampung sendiri apabila selesai studi, sehingga tidak bisa sukses di tempat lain? Apakah almaghfurlah KH. Noer Alie tidak mendorong kita untuk da'wah yang lebih luas sehingga tidak ada lagi kaum yang memiliki sifat yang diterangkan qur'an "wa maa kunnaa mu'azzabiina hatta nab'atsa 'alayhim rasuula?"

Wallahu a'lam

***

Forest Hill, 71st avenue
New York, 29 Juli 2009

2 comments:

Anonymous said...

bagus banget

Cecep eM-Ha said...

Terima kasih. Semoga bermanfaat juga buat teman-teman lainnya