45 tahun sudah. Detik-menit-jam-hari-bulan-tahun berlalu tanpa terasa. Rasanya baru kemarin menikmati asyiknya bermain bola di seberang jalan. (sekarang sudah jadi rumah kontrakan). Atau senangnya mancing di siang bolong di sawah Haji Sairih yang lebarnya kagak ke-ukur saking luasnya. (Sekarang jadi pabrik punya PT. Sulinda Mill). Terus, pernah juga berasa jantan ikut tawuran pelajar, lawan anak-anak SMP Cikarang II, yang letak gedungnya cuma 300 meter dari bangunan sekolah sendiri (SMP Negeri Cikarang I). Atau sedih dan menangis ketika pertama disuruh mondok di pesantren di kampung orang lain. (Padahal Ujungharapan ke CIkarang cuma 30 km).
Kemudian masih teringat ada rasa bangga memakai jas dan dasi serta menenteng koper, belajar ke negeri orang. Padahal belajarnya ke Pakistan, negara yang secara perkapita lebih miskin dari Indoensia. Demikian pula rasa kikuk menjadi pusat perhatian orang sekampung ketika pulang pertama kali dari luar negeri setelah 4 tahun nggak bisa pulang. Semua berjalan begitu cepat. Terasa seperti cuplikan dalam film yang ditayangkan di layar lebar.Garis pendidikan juga begitu. Rasanya baru kemarin bersekolah di SD dan SMP. Terus belok arah ke madrasah Aliyah dan pesantren khusus, karena ayah tidak rela anaknya nggak ada yang jadi kiai (akhirnya nggak jadi juga, malah jadi bankir). Lalu banting stir lagi ke Fakultas Ekonomi, International Islamic University Islamabad, Pakistan dan terus ke Malaysia dengan fakultas yang mirip. Lain lagi dengan kursus-kursus setelah kerja di bank. Ada perubahan pola belajar dan cara berfikir. Kadang jadi dogmatis, terus kritis, lalu dogmatis lagi, kemudian kritis lagi. Persis seperti on-off nya kamera digital.
Sama juga dengan pergaulan. Formal ataupun nggak formal. Mulai dari pengurus OSIS, Ikatan Santri pondok, Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), SGPI Islamabad, sampai Asean Moslem Students' Organization (AMSA). Kadang jadi otoriter, kadang demokratis. Kadang berasa militer, kadang juga politisi. Kadang-kadang bicara lurus, lugas dan tanpa tedeng aling-aling (kayak iklan rokok). Kadang juga harus diplomatis, kalau memang diperlukan.
Menjadi anggota di kalangan professional memberi kesan tersendiri. Ada etika yang harus dipatuhi, baik tertulis maupun tidak tertulis. Tapi lagi-lagi hal itu seakan bayang-bayang yang lewat begitu saja. Rasanya baru kemarin bersama Pak KH. Ma'ruf Amien membentuk Dewan Syariah Nasional, organisasi dibawah MUI yang bertugas memberikan fatwa tentang keuangan Syariah. Atau bersama almarhum Nur Indriantoro bertungkuh lumus menyusun Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59 Perbankan Syariah. Atau juga ketika berdebat dengan Rifaat A Karim, Sekjen AAOIFI (Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institution) soal Profit Equalization Reserve for Islamic Banking di Bahrain. Atau berduet dengan dosen sendiri, Dr. Abdurrahman Ahmad Muhammad, di International Conference on Ibn Khaldun's Contribution in Economics di Madrid. Atau menjadi pembicara dalam seminar, sementara pesertanya bos besar di kantor sendiri, seperti di Prato, sebuah kota kecil dekat Venesia, Italia utara.
Merasa istimewa? Tidak juga. Biasa aja lagi. Wong semuanya Tuhan yang beri. Tidak ada yang perlu disombongkan dan dijadikan bahan untuk takabbur. Tapi yang pasti, 45 tahun sudah berlalu. Dan semua yang diperbuat, harus dipertanggungjawabkan setelah mati nanti.
***
Mengapa harus Ulang Tahun? Pertanyaan lugu ini diajukan anak bungsu saya. Ya, mengapa harus ulang tahun? Apalagi harus dirayakan dengan acara tiup lilin, pesta dan makan-makan. Apa belum cukup dirayakan setelah sekian puluh kali?
Kepada teman-teman, biasanya jawaban yang disebutkan agak ilmiah yaitu Introspeksi. Biar inget bahwa bertambah tahun berarti bertambah usia. Dengan umur sekian, tidak bisa lagi seseorang dibilang muda. Kedua, dengan bertambah umur sebenarnya jatah usia yang tersisa semakin sedikit. Artinya siap-siap aja kalau ajal menjemput. Maksudnya nggak usah kaget lagi.
Akhirnya jawaban lebih religius yang saya sampaikan kepada anak kelas 3 SD itu. Ulang Tahun artinya bersyukur kepada Allah, yang telah menciptakan Walid 45 tahun yang lalu, di tengah situasi yang tidak semoderen sekarang. Dulu situasinya masih jaman orla dan masih banyak PKI. Lahir di tengah keluarga ulama berarti siap menyaksikan orang tua jadi sasaran organisasi berlambang palu arit itu. Rasa syukur juga patut dipanjatkan kepad yang Maha Kuasa yang semakin hari semakin pemurah, memberi rizki yang banyak, sehingga bisa beli rumah, beli mobil dan menyekolahkan anak-anak. (Anak saya nyeletuk: bisa beli boneka Barbie juga, dan sabuk kepala Naruto buat Aa).
***
Di ujung perumahan ada sebuah rumah dengan tulisan besar-besar di depannya: Panti Asuhan Yatim. Rasanya ini tempat yang paling tepat untuk mensyukuri nikmat: Berbagi kenikmatan bersama dengan anak-anak yang sudah kehilangan orangtuannya. Mungkin terlalu naif, dan bisa disangka pamer kekayaan kepada anak-anak itu. Tapi niat tulus ini sudah diiringi niat lainnya: menyumbang secara reguler kepada panti itu.
Sebenarnya tradisi ini sudah dilaksanakan oleh teman-teman, dan para senior, terutama dari kalangan Muhammadiyah. Almarhum Mas Ton (Hartono Mardjono), Almarhum Bang Imad ('Imaduddin 'Abdulrahim) dan teman-temannya juga memberi contoh baik ini. Buat yang belum pernah mencoba, silakan mencobanya. Ada rasa kebersamaan dan keprihatinan, dan kenikmatan, menyantap hidangan bersama anggota masyarakat yang kurang mampu itu. Apalagi mereka adalah anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua.
Walid, ultahnya nggak di KFC atau Mc-Di? Sejak kenal yang namanya ulang tahun nggak pernah kepikiran merayakan birthday di warteg Amerika itu. Apalagi setelah mendengar keluhan para peternak di Jember yang mengatakan bahwa waralaba Paman Sam itu sudah tidak pernah mau lagi membeli ayam dari peternak lokal sejak Om Bush datang berkunjung ke Bogor. Mengapa? Ada perintah dari Pemerintah Amerika yang mengharuskan semua franchise, yang menggunakan nama2 dari negeri koboi itu agar menggunakan bahan baku yang dikirim dari sana. Maka jangan heran jika ayam-ayam yang ada di waralaba itu sekarang kelihatan lebih hitam. Mengapa? Karena mereka harus menggorengnya lebih lama, (kalau perlu sampai hangus) untuk menghilangkan bau akibat disimpan terlalu lama. Coba saja bayangkan berapa lama perjalanan yang harus ditempuh seekor ayam yang sudah disembelih di Amerika untuk sampai di Jakarta, mulai dari penyembelihan, pengepakan, masuk kontener, dibongkar kembali di Jakarta dan dikirim ke masing-masing outlet? Itu akan memakan waktu lebih dari 3 hari. Itupun dengan asumsi semua peralatan bekerja dengan normal. Bagaimana jika pendinginnya bocor? Atau kapal pengangkutnya harus diperbaiki karena mesinnya bermasalah?
Selain itu, bagi sebagian orang, terutama yang berduit, mungkin kenaikan harga di semua waralaba asing tidak begitu terasa. Tapi bagi sebagian besar pasti ada pengaruhnya. Tentu saja, bagaimana harga tidak naik, wong bahan baku yang banyak di dalam negeri seperti ayam aja kudu diimpor?
***
Di kantor, orang yang ulang tahun suka beli kue untuk menjamu teman-temannya. Atau makan siang di restoran tertentu. Kebiasaan itu saya ikuti, tapi diganti polanya. Saya minta teman-teman Cikarang untuk bikin kue tradisional. Selain memberi mereka pekerjaan (dan pendapatan tentunya) kepada teman-teman di kampung juga karena teman-teman di kantor bosen dengan kue-kue moderen.
Ada berbagai cara orang merayakan ulang tahun. Tapi hanya beberapa yang memberi makna. Terutama bagi pikiran, hati dan perbuatan. Terima kasih buat semua teman dan sohib atas doanya. Semoga terkabul dan kembali kepada yang mendoakan.
Wallahu A'lam
2 comments:
assalamu'alaikum bang haji...
gimana kabarnya baik-baik aja kan..
saya cuma sedikit kasih komentar tentang tulisan ini bang.
banyak orang kita ga pada tahu soal PT.Sinar Sosro yang tahun ini mengakuisi sebagian saham francise KFC di indonesia ( saya sempat baca di media indonesia ) jadi kalu gitu enak banget ya.. sekarang ini orang amerika usaha di negeri kita. udah bahan bakunya semua mesti dari sana yang makan juga orang kita... sungguh bodohnya pemimpin negeri ini.
Thanks for the comment.
Semoga tulisan ini menjadi tausiah sederhana buat para perumus kebijakan di negeri ini.
Post a Comment