Pages

Wednesday, January 27, 2010

Kemana Perginya Konsep Dosa?

Kemarin sore seorang teman membuka Youtube dan menonton film Upin-ipin, film kartun buatan Malaysia yang sedang digandrungi anak-anak Indonesia. (Film yang satu ini tentu tidak bisa diklaim oleh rakyat Indonesia sebagai warisan budayanya, tidak seperti Reog Ponorogo atau Batik). Film pendidikan yang sengaja dibuat untuk menjelaskan tentang puasa kepada anak-anak ini terasa apik. Episod demi episod bercerita soal puasa dan permasalahannya yang terjadi pada anak kecil selevel Upin-ipin, Ehsan, Fizi, Mail dan bahkan bagi anak-anak non muslim lainnya seperti Mei-mei, Jarjit dan Rajoo. Lalu ada tokoh bijak seperti Opah (nenek) yang selalu sabar menjelaskan tentang masalah agama kepada kedua cucunya yang bandel dan cerewet, tapi baik itu. Dan ada tokoh galak seperti kak Ross yang bertugas menjaga disiplin.
Menonton film Ipin-Upin saya merasa seperti ada sesuatu yang kembali. Saya jadi teringat anak-anak saya yang selalu dicekoki TV kita dengan film kartun. Tokoh-tokoh yang ditampilkan kagak jelas kayak Naruto dan teman-temannya, atau Avatar dan teman-temannya. Masih mending yang perempuan, sukanya nonton Dora the explorer. Tapi kalau sudah bosan, dia akan mencari Barbie, tokoh dari negeri bule yang dalam episodenya sering menawarkan kemewahan. Teman-teman sekarang mulai bertanya-tanya, setelah film si Komo, Indonesia seperti tenggelam dalam film-film impor yang isinya seringkali tidak mencerminkan budaya Timur. Apalagi Islam tentunya.

Dulu ada film cerita Si Unyil yang melegenda dan membuat orang kangen. Bahkan menciptakan budaya sendiri. (Orang sekarang menyebut para pengatur lalu lintas di perempatan jalan dengan istilah "Pak Ogah" dan sebagian orang memanggil anak kecil yang mengamen di jalan dengan panggilan "Unyil"). Sekarang sudah tidak ada lagi yang tersisa. Tuntutan komersial yang tinggi sehingga sineas Indonesia kedodoran, atau sineasnya yang malas bikin film lokal? Atau malah pemerintahnya yang cuek-bebek?

Kembali ke Upin-Ipin. Di salah satu episode, Upin-Ipin bertemu Tok Dalang yang tidak shalat tarawih. Keduanya mengatakan Tok Dalang berdosa karena tidak shalat Tarawih (namanya juga anak-anak). Di episode lain, Upin-Ipin mengucap salam di depan rumah Tok Dalang. Keduanya mengancam bahwa Tok Dalang akan berdosa apabila tidak menjawab salam mereka.

Dosa. Betapa lama saya tidak mendengar kata ini dalam pembicaraan orang Indonesia. Kecuali dalam lagu Titik Puspa, yang kini dinyanyikan kembali oleh Peter Pan: Dosakah yang ia kerjakan.... Sucikah mereka yang datang....

*****

Dulu waktu kecil, orangtua kita selalu berpesan agar melakukan tindakan yang baik. Sebab tindakan jahat akan menimbulkan dosa. Dan yang namanya dosa, pasti mendapat balasan yang buruk dari Tuhan. Meskipun manusia lain tidak tahu tindakan buruk yang kita lakukan, Tuhan tentu tahu dan Ia akan memberikan balasan. Itulah keyakinan yang ditanamkan kepada kita. Dan itulah keyakinan yang benar.

Begitu banyak orang yang waktu kecilnya mendapat pesan seperti ini, tetapi tetap saja menjadi jahat ketika besar. Kebanyakannya lupa karena keyakinan itu hilang bersama waktu. Balasan buruk yang dijanjikan Tuhan kepadanya apa bila berbuat buruk, tak kunjung terjadi. Apabila peristiwa buruk memang terjadi menimpanya, maka alasan lain yang dikatakan kepadanya: persiapan tidak matang atau nasib yang apes.

******

Setiap hari berangkat dan pulang kerja, saya menyaksikan tukang ojek memarkir motornya di jalan yang harusnya menjadi hak para pengguna jalan lain. Atau para supir angkot yang ngetem di tempat yang ada tanda "S" dicoret (tanda tidak boleh berhenti, apalagi parkir) dan juga nunggu penumpang di lampu merah. Atau para pedagang asongan yang menempati trotoar yang dikhususkan untuk para pejalan kaki. Bahkan di sebuah pasar saya melihat pedagang kaki lima mengambil setengah badan jalan. (Seharusnya kan 5 kaki dari tepi jalan. Itu sebabnya mereka disebut kaki lima. Seharusnya mereka sekarang disebut pedagang liar, yang berdagang seenaknya). Koq nggak ada rasa dosa ya?
******

Menjelang dan sesudah pertandingan Liga utama antara Persib dan Persebaya 22 Januari di Stadion Si Jalak Harupat, kasus bonek terjadi kembali. Para bonek alias bondo nekad menjarah para pedagang di stasiun kereta dimana kereta yang mengantar mereka berhenti. Mereka juga asyik melempari benda apa saja yang mereka inginkan dengan batu-batu yang dipungut dari Stasiun. Hasilnya bisa ditebak. Ada gedung stasiun yang kacanya hancur. Ada polisi dan wartawan yang terluka akibat lembaran batu.

Di stadion mereka sudah nongkrong sejak pagi dan menolak membayar karcis dengan cara memanjat tembok. Di dalam stadion pun mereka tidak berhenti berulah. Berdiri di atas bangku, memanjat pagar, membuang kertas bekas dan lain-lain. Di dalam stadion pun mereka tidak berhenti bertingkah. Ada yang berdiri di atas kursi, memanjat pagar sampai tidur-tiduran.

PJKA melaporkan telah mengalami kerugian sebesar Rp. 600 juta lebih akibat perbuatan bonek tersebut. Kerugian ini baru di sekitar kereta api, yaitu tidak bayar tiket, gerbong yang dirusak, kaca jendela yang pecah dan bangunan stasiun yang rusak. Belum lagi terhitung para pedagang dan masyarakat yang makanan dan barang-barangnya dijarah para bonek.

Para bonek itu berasal dari Jawa Timur, daerah yang ulamanya paling sering mengeluarkan fatwa untuk urusan-urusan moderen, seperti Facebook haram, Rebounding haram, dan lain-lain. Mengapa tidak ada ketetapan fatwa mengenai bonek? Apakah karena mereka orang Jawa Timur juga sehingga berada di atas hukum dan fatwa?

Pada ngarti sama dosa nggak sih mereka itu?

*****

Selama dua bulan terakhir masyarakat Indonesia disuguhi tontonan yang membosankan. DPR membentuk Panitia Khusus (pansus) sebagai pelaksanaan hak angket untuk menyelidiki usaha pemerintah menyelamatkan Bank Century pada akhir tahun pertengahan tahun 2009. Penyelamatan itu menelan uang negara sampai 6,7 trilyun. Tapi tontonan yang diberikan oleh para wakil rakyat terhormat benar-benar menyebalkan. Tidak ada lagi sopan santun dan budi bahasa yang selama ini digembar-gemborkan dimiliki oleh Bangsa Indonesia yang ramah. Kata "bangsat' dan "setan" mencemari rapat pansus yang diisi oleh para petinggi bangsa ini. Jika itu rapat tertutup, mungkin tidak ada yang perlu dikomentari. Tapi rapat pansus selalu diikuti secara "live" oleh bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, melalui stasiun televisi.

Para pejabat dan para wakil rakyat yang ada di negara ini tentu semua mengkalim bahwa mereka adalah orang yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Anehnya, ketika melakukan tindakan, tidak ada Tuhan yang mereka ingat. Tidak ada dosa yang mereka rasakan. Nyaris tidak ada yang berbeda di jaman Orde lama, orde baru ataupun jaman sekarang. Bedanya, dulu yang diingat adalah berapa yang akan akan mereka dapatkan dengan tandatangan di dokumen proyek ini. Sekarang, apa yang ada dalam pikiran mereka adalah berapa lama penjara yang harus mereka diami dengan menandatangani dokumen proyek ini.

Tidak ada yang ditakutkan oleh para pejabat dan wakil rakyat kecuali para wartawan dan penulis investigasi yang suatu saat bisa membongkar borok-borok yang disembunyikan. Jika tidak ketahuan, maka everything is fine atau cincai istilah orang perbankan. Kalau ketahuan, ya udah.  Nasibnya lagi apes aja kali, kata orang Betawi. Dimana ada Tuhan disitu? Dimana ada perasaan empathy dan nurani?

*****
Kemana larinya rasa dosa dari bangsa ini? Atau sepatutnya bangsa ini dihukum karena Tuhan sudah tidak dianggap lagi?

Wallahu A'lam

Kantor, akhir Januari

No comments: