Pages

Sunday, February 28, 2010

Dialog ekonomi di Milis Alumni

Pertanyaan Kedua untuk Bang Cecep (dan kawan-kawan): Tentang Cash dan Kredit serta (masih tentang) Sukuk
Mumpung lagi ada waktu untuk menjawab. Saya jawab semampu saya ya. Mohon maaf jika nanti banyak istilah keuangan yang bikin pusing, tapi saya pastikan itu terdefinisikan dengan jelas.
1. Masalah Sukuk
Untuk sukuk yang terakhir, yaitu Sukuk Retail kedua (SR -002) dan juga sebelumnya (SR-001) seseorang dengan uang Rp. 5 juta dapat memiliki satu lembar sukuk. Jadi jika pertanyaannya apakah bisa membeli sukuk dengan dana sebesar Rp. 25 juta, jawabannya ya. Dan sukuk yang diperoleh adalah 5 lembar. Untuk sukuk yang baru diterbitkan (SR-002) setiap orang dapat membeli di Bank Syariah Mandiri selaku bank syariah yang ditunjuk Direktorat Pembiayaan Syariah - Depkeu, selaku agen penjual. Jika pemegang sukuk ini ingin dananya kembali sebelum jatuh tempo, ia bisa menghubungi bank syariah mandiri untuk memperoleh informasi kapan lelang dilakukan.
Berinvestasi di sukuk dan saham pada dasarnya tidak bermasalah secara syariah. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam investasi di pasar modal ini. Pertama jenis sukuk dan sahamnya. Semua ulama yang terlibat dalam pembahasan tentang masalah ini, sepakat bahwa
a. Obligasi yang menggunakan bunga haram hukumnya dibeli
b. Saham yang mengandung hal-hal yang "muharramat" seperti perusahaan yang menjual minuman keras, daging babi maupun perjudian, tidak boleh diperjualbelikan oleh seorang muslim. Di Indonesia, contoh saham seperti itu adalah multi bintang dan san miguel karena memproduksi minuman keras. Kalau di Malaysia saham Genting Highland (perusahaan yang mengelola tempat liburan terkenal di puncak gunung) dimasukkan dalam kategori non halal, karena keuntungan dari bisnis perjudiannya bisa mencapai 80%.
c. Reksadana (British=Unit Trust, US=Mutual Fund) yang tujuan investasinya obligasi konvensional (berbunga) juga tidak halal untuk diinvestasikan.
Masalah yang kedua adalah cara dan tujuan investasi. Jika caranya investasi tidak bagus seperti short selling (jual barang, cari belakangan) maka siap-siap saja rugi ratusan juta. karena ketika menjual dengan harga n misalnya, maka ketika beli bisa-bisa harganya n+50. Padahal yang namanya saham itu belinya tidak selembar-dua lembar, tapi per lot. Sedangkan 1 lot itu jumlahnya 500 lembar. Selain itu jika tujuannya untuk mencari capital gain (selisih antara harga beli dan harga jual) dalam jangka pendek, seringkali keuntungannya tidak menutupi biaya dan pajaknya. Disamping pikiran yang selalu terganggu karena perubahan sentiman di pasar (bursa) akan menarik perhatian pemilik/ pelaku. Jadi kalau mau aman, beli aja saham blue chips (unggulan) misalnya Telkom, Indosat, PLN dan lain-lain yang fluktuasinya lebih rendah. Dan juallah ketika kita mengalami krisis likuiditas (kurang duit) atau ketika kita menganggap dividennya tidak menarik.
Kalau di sukuk, situasinya relatif lebih aman. Kira-kira sama dengan saham blue chips. Kecuali cara dan motif berinvestasinya cuma untuk keuntungan jangka pendek.
Untuk Reksadana, saya menyarankan kepada teman-teman sebaiknya meneliti lebih dulu kemana investasi yang mereka dilakukan. Sebab nilai reksadana seringkali berubah menurut Nilai Aktiva Bersih (NAB). Dan perubahannya terjadi setiap hari. Kadang-kadang bisa 110%, kadang-kadang turun jadi 70%. Maka buat seseorang yang punya dana 10 juta misalnya, jika NAB reksadanya turun jadi 70%, maka uangnya hanya tinggal 7 juta!
2. Masalah Kreditan
Saya sependapat dengan Ust. Abd. Shomad. Saya pribadi mengalaminya berkali-kali. Tidak pernah kita bisa menabung dalam jumlah besar lalu membeli barang yang harganya relatif tinggi (misalnya rumah atau mobil) kecuali tabungannya ditahan, seperti deposito, reksadana, obligasi, atau lemari besi yang kuncinya dipegang oleh mertua! Bahkan sekarang ini yang namanya beli barang dengan cara nyicil merupakan gaya hidup biasa. Justru orang yang beli barang mahal dengan tunai akan dicurigai. jangan-jangan orang ini mafia atau dapat uang yang tidak halal (korupsi, ngerampok dll). Selain itu, membayar cicil juga merupakan strategi pengamanan, agar kita tidak kehilangan uang penuh padahal barangnya tidak diberikan. Kalau yang diberikan cuma uang muka, terus barangnya nggak datang-datang, paling tidak kita hanya kehilangan uang muka saja.
Tetapi ada nasihat ekonom yang layak kita dengarkan yaitu: Jangan membeli karena ingin, tapi belilah sesuatu karena butuh (perlu) meskipun harus ngutang karenanya. Banyak orang membeli karena ingin ini dan ingin itu. Padahal belum tentu juga barang itu dipakainya. Dalam bahasa Usul Fiqih, belilah barang itu pada level darurat dan hajiyat, artinya sudah pada tingkat sangat dibutuhkan. Jika dibutuhkan pada level ganti model, jangan dilakukan.
Contoh paling jelas adalah telpon genggam. Mengikuti nasehat ini, jangan membeli HP kalau belum perlu (misalnya ada telpon meja yang sudah terpasang di rumah- yang ini level Darurat. kalau nggak ada telpon di rumah, bisa repot banget). Tapi hp menurut saya perlu dibeli jika kita harus bisa dihubungi terutama kalau ada masalah mendadak. Komunikasi itu penting, terutama untuk keperluan keluarga. Bayangkan jika ayah atau paman kita lagi sakit keras dan kita tidak tahu karena tidak bisa dihubungi. (ini level Hajiyat). Dan jangan beli HP selevel communicator Nokia (yang gedenya minta ampun sehingga bisa dipakai untuk ganjel ban motor)- ini level Tahsiniyat. Apalagi Blackberry, kalau tujuan belinya hanya untuk chatting sama Juragan Sire, Demang Awwal atau saya he..he..he.. (sorry buat yang baru beli blackberry ya)
Dunia keuangan, baik bank, multifinance (seperti FIF) dan lainnya yang suka memberi kreditan kepada masyarakat, menganut asas penilaian yang sama. Seseorang tidak akan diberikan kredit jika rasio pembayaran cicilan dibanding pendapatan lebih dari 33%. Misalnya pendapatan dari gaji dan tunjangan yang terdapat dalam struk gaji sebesar 2 juta. Maka cicilannya tidak boleh melebihi 660 ribu. Itupun dengan syarat tidak ada tanggungan cicilan di tempat lain, yang harus dibayar juga. Jika ada, maka harus dikurangi sehingga total pembayaran cicilan maksimal 33%. Caranya biasanya dengan menambah uang muka.
Oleh karena itu menurut saya harus bijak memilih dan jangan mata keranjang. Kalau pendapatan pas-pasan, jangan semuanya mau dibeli, meskipun secara kredit. Kalau lagi kreditan motor, jangan sambil kreditan rumah. Sabar, biar habis dulu kreditannya. Sambil melunasi, kita muter-muter dimana lokasi perumahan yang bebas banjir, tapi harganya terjangkau.
Pemilihan lembaga keuangan juga perlu bijak. Dibanding FIF, bunga yang dikenakan bank lebih murah, kecuali BPR. BPR dan BPRS mengenakan keuntungan yang tertinggi (kadang-kadang sampai 40%) dari nilai pembelian.
Kalau ragu dengan bunga, cari pembiayaan yang menggunakan bank syariah. Dan yang paling bagus strateginya adalah kalau mengajukannya bersama (misalnya 10 orang) teman sekantor. Apalagi dikordinir oleh bendahara/ TU atau SDM atau koperasi yang kerjaannya memang suka motong gaji orang he..he..he... Pasti yang namanya diskon dan fasilitas lain diberikan, dikit-dikit mah.  
So, berhubungan dengan benda, kuncinya ada pada hati. Kalau hati nggak dipengaruhi nafsu dan ngiri para tetangga, insya Allah hidup kita terjaga. Kehidupan ekonomi tidak goyang kesana-sini.
Mudah-mudahan tausiah ini bermanfaat

Terima kasih atas jawaban Bang Cecep. Kalau berkenan, saya ingin mengajukan dua pertanyaan lagi, Bang.

PERTAMA
Kalau saya memiliki uang Rp 25.000.000,00, bisakah saya berinvestasi dengan sukuk? Bagaimana caranya? Apakah berinvestasi dengan sukuk atau bermain saham itu beresiko?

KEDUA
Saya masih agak bingung tentang dua hal ini: Cash atau kredit.

Begini, Bang. Ketika saya berkunjung ke rumah paman di Ciputat dan bertanya kepadanya tentang teknik pengelolaan keuangan rumah tangga, beliau mengajukan satu resep yang coba saya terapkan mulai bulan kemarin. Menurut beliau, pegawai bergaji pas-pasan itu harus kredit barang jika ia ingin memiliki barang tersebut. Misalnya, jika saya ingin memiliki sepeda motor, saya harus kredit motor. Jangan melihat nominal harganya yang bisa lebih mahal 50 persen dari harga cashnya. Yang dilihat adalah semangat untuk melaksanakan kewajiban membayar cicilan. Menurut beliau, "Kita tidak akan bisa berkembang dalam hidup ini kalau kita tidak memiliki tantangan dan kewajiban. Dengan adanya cicilan, kita akan lebih bersemangat dalam bekerja dan akan berusaha 'mengencangkan ikat pinggang' mumpung masih muda."

Lain lagi kata teman-teman di kantor saya. Menurut mereka, membeli sesuatu dengan cara berhutang itu merugikan kita, bukan hanya uang yang dikeluarkan lebih banyak, tetapi juga unsur riba di dalamnya. Oleh karena itu, lebih baik kita mengumpulkan uang saja. Setelah uang terkumpul, barulah membeli sesuatu sesuai keinginan.

Oh ya, Bang. Saat ini, yang lebih berterima di otak saya adalah pendapat paman saya. Saya pun mengimplementasikannya dengan mengambil kreditan motor untuk istri saya (meskipun kami sudah punya motor) dan sebuah rumah (meskipun kami sudah punya rumah). Terus terang, untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli kebutuhan secara cash, saya sudah berkali-kali mencoba, tetapi tidak pernah berhasil.

Mohon pendapat Bang Cecep (dan rekan-rekan).
NAM.

No comments: