Pages

Tuesday, March 23, 2010

Ormas Islam, antara idealita dan realita

Kemarin pengurus pusat sebuah ormas pemuda bertandang ke rumah. Mereka mau silaturahim (lagi) katanya. I thought to myself, what else? Apalagi yang mau didiskusikan dalam situasi seperti ini? Lagipula sudah lama ormas ini bikin hati nggrundel. Nasehat sudah banyak, dorongan nggak kurang, kritik saya berikan setiap kali mereka datang. Percuma saja kalau nggak pernah dilaksanakan.

Dengan berat hati saya akhirnya memberi tausiah (lagi). Dulu waktu saya menikah saya mendapat kehormatan dengan kehadiran Prof. Dr. Hasan Langgulung (alm, pakar pendidikan yang lama bermukim di KL),  yang memberikan tausiah dengan mengutip ayat yang kira-kira terjemahan bebasnya seperti berikut:

Sungguh akan kami coba kalian dengan kekhawatiran, kelaparan, kekurangan harta, sumber daya manusia dan harta. Berilah kegembiraan kepada orang yang sabar. 

Lama saya merenungi  tausiah ini. Pertama, saya penasaran, mengapa Prof. Hasan membacakan ayat ini kepada orang yang hendak berkeluarga? Biasanya ayat ini saya dengar dalam training-training dulu, waktu di ormas seperti PII, HMI, IMM dan sebagainya. Ayat ini kita kutip sebagai pendorong motivasi para kader untuk bisa bertahan terhadap berbagai cobaan yang dihadapi ormas tercinta.  Tapi ternyata lama-kelamaan saya sadar bahwa prinsip yang dikandung dalam ayat ini bukan hanya berlaku bagi para kader organisasi, tapi juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu ternyata terjadi dalam kehidupan saya.

Kedua, ayat merupakan warning alias peringatan bahwa semua hal itu akan terjadi pada setiap orang. Tidak perduli anda seorang ustaz atau orang biasa. Apakah anda seorang presiden atau rakyat biasa. Apakah anda lelaki atau perempuan, kaya ataupun miskin.

Ketiga, meskipun memberikan peringatan, ayat itu juga memberikan pengecualian. Dan pengecualian itu dibuat dengan bahasa yang sangat indah. Berilah kegembiaraan pada orang-orang yang sabar. Mengapa? Karena hanya orang yang sabar saja yang bisa mengatasi itu semua. Artinya kalau mau berhasil, jadilah orang sabar. Persoalannya, sabar yang bagaimana? Kebanyakan orang menafsirkan sabar dengan pasrah. Padahal sabar itu artinya luas. Bisa jadi orang berperang juga termasuk dalam kategori sabar. Yang terbaik definisi mutakhir tentang sabar saya peroleh dari pengajian. Pasrah itu adalah interpretasi dari sabar pasif, sedangkan sabar yang diminta dalam Islam adalah sabar aktif. Artinya terus berusaha menghadapi tantangan, mencari ide-ide kreatif agar semua kesulitan dapat diatasi. Karena itu, menurut beliau sabar itu tipis sekali bedanya dengan jihad.

Masalahnya, ormas kita sekarang ini nyaris berada pada tataran pasrah. Tidak ada upaya mengubah, baik mengubah diri maupun mengubah kondisi. Disisi keuangan, misalnya, ormas-ormas sekarang ini tidak bisa menarik uang iuran anggota, karena itu semuanya bergantung kepada alumni. Padahal alumninya sudah pada sibuk dengan urusan politiknya sendiri. Bahkan alumni ormas kita malah sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga jatah sumbangan kitapun dijegal mereka.

Saya teringat Aceh. Di sana, ormas Islam tidak akan pernah mati, karena mulai dari pejabat paling tinggi sampai yang paling rendah semuanya mendukung keberadaannya. Bahkan GAM berterima kasih karena memperoleh suplai kader yang tidak pernah putus. Maka jangan heran jika ada training ormas ini masyarakat bahkan bisa marah kalau tidak diajak menyumbang atau menyediakan makanan.
Bisakah kondisi Aceh itu di kloning di daerah lainnya? Jawaban saya pasti bisa. Persoalannya adalah sejauh mana masyarakat menganggap ormas anda berguna. Di Aceh ormas Islam itu terasa berguna dan perlu. Disini, siapa yang peduli?

Saya ingat ketika masih di duduk di madrasah Aliyah. Saat itu kami mau mengundang senior dari ormas Islam untuk mengisi acara latihan manajemen pendidikan. Guru yang kebetulan lulusan ormas itu menolak memberi persetujuan mengingat secara akhlak mereka kurang bisa dipertanggunjawabkan. Cobalah lihat penampilan luar pengurus ormas anda, mulai dari cara berpakaian, rambut, cara bergaul dsb. Bagaimana orang tua bisa menyerahkan anaknya untuk dilatih oleh orang yang penampilannya "menakutkan" mereka? Nah kalau orang tua sudah takut pada pembinanya, bagaimana kaderisasi bisa berlanjut?

Dari dulu saya selalu menasihati teman-teman agar shalat ke masjid untuk tidak menggunakan kaus oblong dan jeans. Bahkan jika perlu gunakanlah peci hitam atau putih. Mengapa? Pertama masjid itu rumah tempat orang menyembah Tuhan. Ente mau menghadap Tuhan koq pakai jeans? Menghadap Presiden saja  ente dianggap kurang ajar kalau pakai jeans. Kedua, sebagai calon pemimpin ente harus siap menggantikan posisi imam, karena dalam Islam tidak pernah ada pemisahan antara imam shalat dengan imam pemerintahan. Ketika imam berhalangan siapa yang sudi memilih orang yang shalat dengan jeans dan kaos oblong? Apalagi rambutnya gondrong dan tampang belel. (maaf).

Saya juga tidak pernah berhenti untuk memperingatkan teman-teman untuk mengurangi perdebatan soal-soal besar, misalnya soal negara dalam perspektif agama, soal kapitalisme vs sosialisme. Atau berdebat dalam soal perbedaan kecil (khilafiah). Hal itu bukannya tidak bermanfaat. Tapi berlarut-larut dalam perdebatan, dimana kapasitas untuk memberi solusi masih jauh dari jangkauan, akan membuat anda tidak bisa bekerja untuk hal-hal yang kecil yang malah amat berguna bagi masyarakat sekitar. Salah satu contoh yang sering saya gunakan adalah kemauan Aa Gym (KH. Abdullah Gimnastiar) untuk turun bersama santrinya, membantu masyarakat membersihkan sampah, membersihkan got dan sebagainya. Tadinya beliau juga jadi sasaran ejekan, misalnya "ustaz koq mau-maunya mungutin sampah di jalan", atau "ustaz koq jadi petugas kebersihan yang ikutan bau got" dan sebagainya. Tapi ternyata usaha kecil itu menjadi panutan masyarakat seantero negara, karena berhasil menciptakan Islam yang bersih, rapih dan indah.

Yang sering bikin gerah lingkungan adalah seringkali sikap rekan-rekan ormas Islam yang eksklusif. Mereka sering menampakkan diri berbeda dari masyarakat sekitar. Mulai dari cara berpakaian, cara bersikap, cara berbicara, apa yang dibicarakan dll. Saya sudah bilang dari dulu:  Stop being exclusive! Kalau mau jadi pemimpin masyarakat, anda harus bisa diterima masyarakat. Dan untuk bisa diterima mereka, gunakan prinsip dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Selama adat itu tidak bertentangan dengan agama, why not? Selama ini rekan-rekan aktivis selalu bersikap sebagai orang yang berbeda dan terlihat aneh. Padahal kata Nabi, man syazza-syazza finnaar.  Barang siapa yang aneh, maka ia akan aneh sendiri di neraka. Nah lho...

Young Friends,
masyarakat Islam di Indonesia sudah lama kehilangan pemimpin Islam yang bisa jadi panutan. Mereka memerlukan suluh dan pelita yang bisa memberikan tausiah yang sejuk dan ajek kepada mereka. Mereka telah memiliki Zainuddin MZ, Aa Gym dan penceramah lainnya yang dulu mereka bisa lihat setiap hari di televisi dan media lainnya. Sekarang mereka digantikan oleh sinetron, gossip, iklan konsumtif dan film kekerasan plus semi-porno yang mengajarkan hal yang sebaliknya. Maka jangan heran jika masyarakat Indonesia kita hancur dari sisi akhlaq karena Islam telah tercerabut dari kehidupan mereka. Tidak ada lagi nasehat keagamaan yang mereka dengar.

Rekan muda,
mari perbaiki Indonesia ini dengan Islam
tapi tidak dengan senjata dan kekerasan
melainkan dengan ilmu pengetahuan dan akhlaq
agar dapat menjadi bangsa yang maju dalam ekonomi dan teknologi
tapi juga baik akhlaqnya karena Islam.

Wallahu A'lam

2 comments:

KOMUNITAS OEJOENG said...

Tausiah bermanfaat tuk mengubah arah pikiran generasi muda intelek sekarang yg udah ninggalin sunnah2 nabi.

Cecep eM-Ha said...

Thanks a lot Bung Tokry
Tausiah itu juga untuk saya sendiri, supaya senantiasa tabah dalam menghadapi kehidupan.