Pages

Monday, March 15, 2010

Pembiayaan Emas, Mencari celah Diantara Bebatuan

Sebuah bank mengajukan permohonan produk unik kepada DPSnya: pembiayaan nasabah untuk membeli emas dengan pembayaran secara angsuran. Jawaban selintas dari DPSnya: Tidak Boleh. Karena Jumhur ulama tidak membolehkan pembelian emas secara hutang berdasarkan hadits Nabi: "Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak...... secara tunai, jumlahnya sama." Titik.

Benarkah sesederhana itu? Jika memang ya, maka tidak ada kemungkinan bagi bank syariah untuk memberikan pembiayaan kepada nasabah untuk membeli emas melalui skema Murabahah. Masalahnya ada banyak persoalan disini, sehingga jawaban selintas seperti itu bisa-bisa misleading alias tidak tepat.

Pertama, pembelian emas secara hutang, termasuk di dalamnya pembayarannya secara berangsur. Ini betul termasuk sifat yang bertentangan dengan hadits Nabi yang mengatakan "tunai" (dalam teks aslinya "yadan bi yadin"). Masalahnya, emas yang seperti apa? Apakah semua emas, atau emas batangan saja, emas perhiasan dalam bentuk gelang, cincin, anting dan giwang saja? 

Kedua, pertukaran emas dengan emas seperti yang disebutkan dalam hadits dibolehkan asal tunai dan sama kuantitas dan kualitas. Para ulama menyebutkan ada 2 illat disitu, yaitu illat tsamaniyah (karena menjadi harga) dan illat taqabudh (serah terima secara cash and carry). Jika kedua illat ini tidak ada lagi, maka semestinya hukum ketidakbolehan membeli emas secara hutang semestinya sudah tidak ada lagi. Pada saat ini, misalnya tidak ada satupun negara di dunia ini yang menggunakan emas sebagai mata uang. Padahal semua ulama sepakat bahwa yang dimaksud "pertukaran emas dengan emas..." dalam hadits Rasulullah tersebut di atas adalah karena mata uang. Sekarang ini, menurut Almaqsudi, emas sudah menjadi sil'ah alias barang jualan.

Ketiga, secara tradisi, masyarakat muslim sudah terbiasa dengan kartu kredit. Ketika pembelian emas (baik untuk emas perhiasan  maupun batangan/bullion) dilakukan dengan menggunakan kartu kredit, maka pada hakikatnya pembayaran itu dilakukan dengan jangka waktu, yaitu penagihan kepada bank penerbit kartu (card provider). Dengan demikian ada jeda waktu dari 1 hari sd satu minggu antara pembelian dengan penerimaan uang oleh penjual. Artinya prinsip taqabudh (saling menerima di majlis akad/ tempat transaksi) tidak terpenuhi. Dengan demikian transaksi pembelian emas dengan menggunakan kartu kredit tidak memenuhi persyaratan transaksi  yang sah.

Apa yang terjadi jika pembiayaan emas di bank syariah disetujui? Berikut studi kasus hasil kajian Pokja perbankan di DSN:

Re-pricing
Seorang nasabah meminta pembiayaan untuk membeli emas sebesar 50 gram dengan nilai Rp. 375.000/gram sehingga total pembelian berjumlah Rp. 18.500.000 rupiah. Bank dan nasabah menyepakati penjualan dengan nilai Rp. 397.000/gram sehingga jumlah pembiayaan menjadi Rp.19.875.000,- dan dibayar dalam enam bulan, dengan cicilan 3.312.500,- per bulan.
Setelah berjalan selama dua bulan, nasabah mengalami kesulitan pembayaran, tapi tidak ingin menghentikan pembiayaan itu. Oleh karena itu ia menyepakati perjanjian dengan bank untuk mereshedule pembiayaan. Nasabah kini membayar angsuran lebih kecil, yaitu sebesar Rp. 1.781.000,- tapi jangka waktunya lebih, lama, yaitu setahun.

Take over 1
Seorang nasabah yang menerima pembiayaan untuk pembelian emas dari bank sebanyak 30 gram dengan harga jual Rp.400.000,- per gram, dengan cara mengansur sebanyak 10 kali. Setelah 4 kali mengangsur ia tidak mampu melanjutkan cicilannya. Ia lalu menghubungi rekannya untuk menggantikannya. Rekannya setuju dengan membayar sejumlah 4 kali cicilan yang telah dibayar nasabah itu dengan harga yang lebih rendah (diskon), sebesar Rp. 375.000,- per gram

Take over 2
Seorang nasabah yang menerima pembiayaan untuk pembelian emas dari bank sebanyak 50 gram dengan harga jual Rp.400.000,- per gram, dengan cara mengansur sebanyak 20 kali. Setelah 6 kali mengangsur ia menghubungi bank syariah lain untuk mengambil alih pembiayaan emasnya itu. Bank syariah yang setuju menerima pengalihan itu menerapkan harga jual yang lebih tinggi, yaitu Rp.410.000,- per gramnya.

Capital Gain 1
Seorang pengusaha mengajukan pembiayaan membeli emas sebanyak 500 gram. Bank membelikannnya pada harga beli Rp.375.000 per gram dan menjualnya pada harga Rp. 427.000,- per gram untuk jangka waktu 3 bulan.
Tiga minggu setelah dilakukan pengikatan, seiring dengan meningkatnya harga emas di pasar (menjadi Rp. 450.000 per gram), ia mengajukan pelunasan dipercepat, tentu dengan meminta diskon. Ia lalu meminta bank agar menjualkan emas itu kembali kepada supplier (PT. Antam) dengan harga yang berlaku pada hari itu.

Capital Gain 2
Seorang nasabah tengah memiliki pembiayaan emas sebanyak 30 gram dengan harga per gram sebesar Rp. 400.000,-. (harga beli dari PT Antam sebesar Rp.375.000,-). Ia baru saja membayar setoran bulan ketiga dari pembiayaan dengan jangka waktu 1 tahun.
Tiba-tiba di pasar terjadi penurunan harga, dari Rp. 375.000 menjadi Rp. 350.000,-, dan terus bertahan di Rp.325.000,-. Bank kemudian menawarkan nasabah untuk membeli lebih banyak emas dengan alasan mumpung sedang murah. Merasa tertarik, nasabahpun setuju.

Liquidity instrument
Seorang nasabah tengah memiliki pembiayaan emas sebanyak 100 gram dengan harga per gram sebesar Rp. 420.000,-. (harga beli dari PT Antam sebesar Rp.375.000,-) dengan jangka waktu 1 tahun.
Karena perlu likuiditas ia menjual emas yang sedang dalam jaminan itu kepada rekannya (pihak ketiga) dengan harga 95% dari nilai pembiayaan, dengan harap dapat membelinya kembali setelah 3 bulan. Sebagai bukti pemilikan, ia menyerahkan dokumen pembiayaan kepada pihak ketiga itu.
Karena sesuatu hal, pihak ketigapun memerlukan likuiditas dan menjualnya kepada pihak ke empat dengan harga 90% dari total pembiayaan. Dalam jangka waktu 2 bulan pihak keempat mengembalikan dokumen dan menerima pembayaran 100%. Pada bulan ketiga pihak ketiga kembali kepada nasabah dan mengembalikan dokumen dengan harga 100 persen.

Liquidity match
Karena berhasil menarik banyak nasabah, bank dapat membiayai pembiayaan emas sebanyak 5 kilogram dengan nilai rata-rata Rp.400.000,- per gram. Pada suatu waktu, bank mengalami posisi kekurangan dana (short) dan untuk menutup posisi itu, bank bekerjasama dengan supplier emas untuk melakukan penjualan emas -yang merupakan jaminan pembiayaan itu- dengan repo (repurchase agreement) pada nilai Rp. 390.000 per gram dan akan dibeli kembali dengan harga Rp. 400.000,- per gram.

Wakalah manipulation
Seorang nasabah yang mengajukan pembiayaan emas meminta agar emasnya tidak dijadikan jaminan. Ia menyediakan jaminan pengganti dari emas itu yang nilainya sama. Tapi emas itu tetap dititipkan pada bank, untuk keamanan pembiayaan dan keamanan bagi nasabah juga. Ketika bank menyetujui pembiayaan itu, maka secara hukum emas itu sudah menjadi milik nasabah. Nasabah kemudian menjual emas itu kepada pihak ketiga dan uangnya digunakan untuk melunasi pembiayaan. Ia kemudian mengajukan lagi pembiayaan untuk pembelian emas dengan benda lain sebagai jaminan tambahan (pengganti dari emas).


Fatwa DSN
Fatwa DSN mengenai Jual Beli Emas tidak tunai akhirnya memutuskan bahwa jual-beli emas secara tidak tunai dibolehkan dengan merujuk maslahat pada masyarakat yang sudah mentradisi. Artinya membeli emas secara nyicil  dibolehkan atas dasar illat tsamaniyat  sudah tidak berlaku lagi. Emas yang ada sekarang tidak lagi menjadi mata uang, tapi barang dagangan.

Namun fatwa itu tidak berlaku untuk perbankan. Untuk pengaturan tentang Murabahah emas dalam perbankan diserahkan kepada Bank Indonesia, boleh atau tidaknya. Sampai saat tulisan ini disusun, belum ada pengaturan khusus mengenai jual beli emas secara cicilan di perbankan syariah. Artinya Murabahah emas dalam perbankan syariah masih belum bisa dilaksanakan.

Wallahu A'lam


3 comments:

Unknown said...

Jadi, kesimpulannya boleh ya Ust??

Unknown said...

lanjutannya mana ust?kesimpulannya boleh yaaaa

Cecep eM-Ha said...

Ntar dulu ya, masih muter-muter cari ide lagi. Tulisannya juga belum selesai koq. he..he..