Pages

Monday, November 29, 2010

Sertifikasi DPS BPRS, Riwayatmu Kini

Hari ini (29 Nopember 2010) Dewan Syariah Nasional (DSN) kembali mengadakan training sertifikasi Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk BPR Syariah angkatan ke II. Angkatan Pertama sudah dilaksanakan pada bulan Juli lalu. Training ini diadakan bersama Bank Indonesia untuk meningkatkan kompetensi para DPS dalam melakukan pengawasan kepatuhan produk dan praktek BPRS terhadap prinsip syariah.
 
Sebagaimana pelaksanaan pada angkatan pertama, pelaksanaan kali ini juga dibayangi keraguan oleh para praktisi bank syariah. Bukan karena content pelatihannya, tapi biaya
 yang dikenakan kepada BPRS relatif murah. Beda misalnya dengan tarif yang dikenakan oleh lembaga Certif untuk BPRS yang bisa mencapai 6-7 juta per orang. Sehingga ada anggota DPS-BPRS yang menerima undangan sertifikasi DPS itu bilang, "Dengan biaya segini betul nggak sih kita nginepnya di hotel? Jangan-jangan kita disuruh tidur di tenda kayak anak pramuka yang lagi kemping?" (penasaran.com)
Kebanyakan peserta tidak mengerti bahwa mereka sebenarnya disubsidi oleh Bank Indonesia untuk mengikuti pelatihan ini. Memang kalau sudah soal pengingkatan kompetensi human resource  di perbankan syariah, bank sentral kita ini tidak main-main. Dalam rencana draft revisi blue print yang disebutkan tahun lalu oleh Muliaman Hadad, Deputi Gubernur, peningkatan kualitas SDM menjadi sebuah pilar diantara 6 pilar lainnya. Itu artinya perbankan harus menjadikan kompetensi sumber daya insani sebagai salah satu target yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Caranya, tentu dengan mengirim para karyawan/pengurus ke pelatihan-pelatihan atau lokakarya-lokakarta, baik domestik maupun internasional.

Pelatihan Sertifikasi DPS mrupakan salah satu pembeda DPS di Indonesia dengan negara muslim lainnya atau negara-negara yang ada bank Islamnya. Di negara-negara muslim lainnya para DPS adalah individu-individu/ulama yang sudah masuk dalam kaliber nasional atau bahkan internasional, sperti Dr. Nizham Ya'qubi, Taqi Usmani, Dr. Sulaiman Almani', Dr. Daud Bakar. Mereka menjadi DPS karena diminta oleh bank/lembaga keuangan islam untuk menjadi DPS (Sharia Board). Lalu diajukan kepada lembaga otoritas seperti bank sentral atau kementrian keuangan, lalu resmilah mereka jadi DPS.

Di Indonesia, seseorang yang mau jadi DPS nggak bisa sembarangan. Syaratnya lumayan berat. Ia harus menguasai fiqih muamalah (hukum Islam tentang kontrak bisnis) dan mengerti tentang transaksi keuangan (perbankan dan lainnya). Ia juga kudu dapat rekomendasi dari DSN. Untuk dapat rekomendasi itu ia musti diwawancarai oleh Badan Pelaksana Harian - DSN. Setelah direkomendasi oleh DSN ia akan diajukan oleh bank kepada Bank Indonesia dan diwawancarai (kata halus untuk fit and proper ). Jika lulus maka barulah ia bisa bertugas di bank syariah yang bersangkutan.  Buat yang belum memperoleh sertifikat dari DSN, ia harus dilatih khusus mengenai pengawasan syariah.

Di luar negeri, pelatihan DPS seperti ini  nggak pernah ada. Kalaupun ada hanya berbentuk konferensi atau seminar-seminar tentang pengawasan DPS. Isinya merupakan pengajuan pendapat atas produk-produk tertentu oleh ulama tertentu yang menjadi anggota dewan syariah di bank-bank/ lembaga keuangan Islam tertentu. Lalu pendapat itu ditantang dan disanggah, yang kemudian dibalas dengan tanggapan pula. Hasilnya? Yang hadir silakan memutuskan sendiri mana yang boleh dan mana yang tidak, mana yang cocok untuk negara masing-masing dan mana yang tidak. Padahal untuk bisa ikut seminar dan konferensi itu tidak murah. Conference fee nya mahal dan kudu dibayar dalam dollar. Padahal akomodasi dan transport kita musti cari sendiri. Capek deh....

*****

Dari survey ke berbagai daerah tentang hasil pelatihan/sertifikasi DPS oleh DSN dirasakan bahwa hasilnya lumayan baik, terutama dalam membangun kompetensi dan kepercayaan diri para anggota DPS. DPS-DPS yang telah disertifikasi itu menjadi lebih rajin, lebih aktif dalam membangun komunikasi dengan para pengurus dan regulator/pengawas di Bank Indonesia. Para pengurus bank menjadi lebih hati-hati karena DPS yang baru pulang di sertifikasi ini lumayan "galak" dalam memeriksa perjanjian-perjanjian dan tidak ragu-ragu untuk meminta perubahan dalam kontrak-kontrak perjanjian. Padahal kontrak-kontrak itu dibuat bersama notrais yang bayarannya juga nggak murah.  DPS kita udah mulai gape cing! kata orang Betawi. Alhamdulilleeeh....

Seorang pengurus bank di Malaysia pernah terlepas omongan, dan secara blak-blakan bilang, yang bakalan jadi pusat keuangan Islam di Asia Tenggara ini adalah Indonesia, bukan Malaysia atau Singapore. Sebagian praktisi di lembaga pengaturan keuangan Islam tingkat dunia juga mengakui hal itu. Persoalannya hanya soal waktu. Kini pemerintah Uganda, Kenya dan Tanzania mengalihkan pelatihan lembaga keuangan mikro nya (termasuk yang Islamic microfinance) ke Indonesia, padahal Malaysia sudah menawarkannya berkali-kali. Nah kalau sudah begini, siap-siap saja untuk menjadi tuan rumah yang tidak pernah berhenti menjamu. Seperti DSN yang tidak bosan-bosannya melakukan sertifikasi DPS untuk lembaga keuangan, baik perbankan, asuransi maupun pasar modal dan lainnya.

Selamat Pak Kiai. Semoga sukses

1 comment:

Anonymous said...

Ini masalah saya benar-benar dipecahkan, terima kasih!