Pages

Monday, December 15, 2014

Sukses? Apanya cing...

Lebaran kali ini (1435 H) benar-benar nikmat. Ketika semua orang mudik ke kampung, saya tinggal di rumah setelah satu hari lebaran ke rumah mertua. Selebihnya membereskan rumah yang masih berantakan akibat pindahan kembali dalam rangka renovasi. Lagipula, kata keponakan, anda sudah jadi anggota KPU (Kumis Penuh Uban) dan dituakan. Makanya sebaiknya di rumah saja dan kami yang datang.

Karena itu pula, saya menyempatkan diri hadir di Halal Bihalal alumni pondok yang lokasi acaranya hanya sekitar 7 km dari rumah. Biasanya, setelah acara halal bihalal itu ada yang minta saya untuk buat analisa. Saya sudah menyiapkan tulisan saenake dewek (seenaknya aja, gaya saya sendiri). Tapi kalau sengaja posting, wah nggak deh. Ngapain juga mendahului, wong didengar saja nggak...

Alkisah, acara halal bihalal atau silatnas yang dikomandani alumni 2004 kemarin itu sukses. Sebagian alumni tidak setuju dengan pendapat ini. Saya kira itu hak mereka. Bisa jadi mereka punya alasan tersendiri sehingga menganggap sebaliknya.
Saya sendiri menganggap acara itu sukses. Bahkan saya menghitung paling kurang ada 9 sukses yang diperoleh panitia. Soal dari mana ukuran sukses yang saya pakai, ngga penting. Pokoknya sukses. Selebihnya ya terserah yang baca.
Sebelum melanjutkan membaca saya hanya mengingatkan tulisan saya kali ini juga agak berbeda. Jadi kalau ada yang tidak setuju dengan tulisan ini, ya silakan. Itu hak mereka. Yang paling bagus adalah tulis balasan, supaya kemampuan menulis kita terasah kembali.

"Udah penuh pak..."
Masuk ke tempat acara jam 9 pagi, bangku hadirin masih 2/3 nya kosong. Padahal hampir semua para tetua  pondok hadir. Ini kontras dengan sikap para pelajar yang bertugas menjaga pintu gerbang. Mereka menolak memberi jalan masuk ke area pondok, dengan alasan parkir sudah penuh. Para santri penjaga dengan seragam pramuka sekenanya itu, tanpa kacu, memakai peci haji dan memakai sendal (tanda ketidakseriusan pendidikan etika/berpakaian?) juga sama cueknya dalam berpakaian dengan para siswa petugas parkir lapangan seberang jalan. Sebagai orang yang mempelopori pembinaan pramuka ke cabang-cabang dan merintis Kursus Mahir Dasar untuk para pembina di Pondok ini, malu rasanya menyaksikan para pelajar itu memakai seragam pramuka seenaknya. Mungkin lebih baik mereka memakai sarung, baju takwa dan peci haji daripada merusak etika seragam kepramukaan seperti itu. Sebab dengan pakaian alakadarnya itu kredibilitas pembina pramukanya (dan sekaligus nama baik Pondok) langsung tertohok. 
(Sukses pertama panitia, tidak ada protokoler...)

Di lapangan parkir yang panas itu ternyata kita tidak sendiri. Ada sekjen Yayasan yang "terusir" karena mobilnya tidak dikenali (tidak ada stiker Yayasan maupun Panitia) dan hanya selevel Grand Livina. "Ntar kalau udah punya Camry atau BMW kalih, kita dikasih prioritas..." katanya sambil senyum getir. Ucapan beliau terasa menyindir panitia yang lebih mengistimewakan simbol daripada orang. Sebab pada acara kali ini, alumni yang punya mobil-mobil mewah itu dibolehkan masuk kawasan pondok, padahal datangnya lebih belakang dari pak sekjen. 
(Sukses kedua,  panitia memang egaliter... yang ngga ada simbolnya tidak boleh masuk.)

Seorang rekan memberitahu bahwa acara habil ini berbarengan dengan kedatangan pertama para santri lama maupun baru ke pondok. Sebab hari pertama pelajaran akan dimulai pada hari berikutnya, Senin 11 Agustus 2014. Oleh karena itu halaman pondok yang luas itupun habis terpakai oleh parkir mobil para orangtua yang mengantar anaknya. Belum lagi parkir motor yang ngga karuan alias seenak udel. Halaman pondok yang sehari-hari asri itu dibikin "meriah" dengan hadirnya penjaja makanan dan minuman yang seenaknya mengambil tempat di badan jalan di dalam pondok. Akibatnya mobil susah lewat sehingga terjadi kemacetan dan suara klakson mengganggu acara yang sedang berjalan. Ini pondok atau daerah tak bertuan? (istilah Ngkong Kiai). The problem of Islamic institution is the management kata almarhum Bang 'Imaduddin 'Abdulrahim. Nampaknya kelihatan buktinya disini. 
(Sukses ketiga, panitia merakyat. Semua boleh masuk, tumplek blek, termasuk pedagang asongan dan kaki lima.) 

"Sukses ya...?"
Melihat uplotan hasil tobar (foto bareng) panitia yang lagi sumringah bersama pak kiai setelah acara habil alias silatnas alias reuni, kesimpulan singkat yang muncul di kepala adalah, ternyata panitia sudah sukses melaksanakan reuni atau silatnas diantara mereka. Lengkap dengan seragam batik, kayak penerima tamu kawinan. Sedangkan alumni angkatan lainnya banyak yang tidak hadir. Bisa jadi karena banyak acara barengan, jauh  jaraknya atau malah tidak menerima undangan. Jadi yang tepat mestinya tahun ini adalah bukan sekedar Panitia Silaturrahmi tapi juga Silaturrahmi Panitia alias silaturrahmi antar panitia. .   
(Sukses keempat panitia, berhasil melakukan reuni, minimal kelas mereka sendiri...)

Yang hadir, sudah sedikit jumlahnya, ngga konsen pula. Ngobrol ngalor ngidul padahal yang sambutan sedikit, yaitu panitia, pengurus alumni dan pimpinan pondok. Di samping kanan tenda hadirin, banyak meja dimana para panitia dan pengurus duduk-duduk. Entah apa yang mereka lakukan. Mungkin mereka tugas jaga warung (walaupun tidak ada jualannya). Seseorang yang melewati meja-meja itu -menuju tenda hadirin- akan berfikir bahwa mereka ini adalah panitia atau "penguasa" acara ini. Sayangnya yang duduk di meja-meja itu lebih banyak dari para hadirin di depan masjid. Ada juga alumni angkatan yang agak lengkap anggotanya, meskipun bukan panitia. Mereka asyik ngumpul dan ngobrol serius di pojokan lain saat acara masih berlangsung. Rupanya mereka adalah calon panitia maulid Korikawati yang acarnya masih 6 bulan mendatang. Trus, yang konsen ke acara ini siapa? 
(Itu sukses kelima panitia, acaranya cair banget.....)

"Maaf saya tidak dapat sorban.."
Panitia memang patut diacungi jempol karena bisa mengumpulkan dana bantuan untuk Ghaza sebesar 150 juta. Sebuah angka fantastis untuk pengumpulan dana dalam sebuah acara halal bihalal. Tapi selidik punya selidik, ternyata yang 100 jutanya khusus dari yayasan. Selebihnya diperoleh panitia yang secara marathon keliling ke semua alumni yang dianggap "sukses" (baca: punya duit) selama sebulan penuh dalam bulan Ramadhan. 
Seorang rekan alumni duduk disamping tanpa menggunakan sorban (syal) label palestina dan foto KH. Noer Alie, ikon panitia kali ini. Ketika ditanya mengapa tidak menggunakan sorban, apakah anda tidak ikut solidaritas Ghaza? Jawabnya simpel, "saya hanya sanggup nyumbang 10 ribu, makanya saya tidak dapat sorban. Yang dapat sorban itu kan orang yang nyumbang di atas 100 ribu seperti anda." Koq jadi begini? 
Spontan sorban dari bahan murah itupun turun dari leher. Jadi inget kata ngkong Kiai, kalau nyumbang tapi masih pengen kelihatan, tandanya  hati masih ngga ikhlas. Padahal sorban itupun dikasih Pak Sekjen yang barengan masuknya di pintu gerbang, dan beliau ditodong nyumbang, terus langsung dikasih sorban. 
(Sukses keenam, nyumbang berkelas dan berhadiah langsung.)

"Hebat ya, ada band nya..."
Ketika jadi pengurus remaja masjid di kampung, kami sering dikritik karena kerjaannya melulu bikin acara seremonial dan lomba. Lomba dalam rangka nuzulul quran, Halal Bihalal dan lain-lain. Belum lagi Maulid dan Miraj. Setelah itu hasilnya apa, orang tidak pernah merasakan. Potensi keuangan ummat dibuang begitu saja hanya untuk acara seremonial yang selesai dalam dua jam. Padahal jika disalurkan setengahnya untuk beasiswa atau memperbaiki bangunan akan jadi sesuatu yang bisa bermanfaat untuk berkelanjutan. 

Kalau Halal Bihalal ini berhasil mendatangkan group band Islami (tadinya mau Kiai Kanjeng EmHa Ainun Najib) nggak usah rombongan satu periode jadi panitianya. Wong acara kawinan di kampung juga bisa. Yang penting ada duitnya aja, ada nggak? Kita akan lebih bangga jika yang mengisi acara itu band dari alumni sendiri, meskipun levelnya band cap gebuk alias rebana. 

Semua saran perbaikan kualitas dari tahun ke tahun sudah sering disampaikan tapi nampaknya tidak ada bekasnya. Bisa jadi karena panitianya selalu berbeda tiap tahun dan lebih memilih pola mereka sendiri, jadi suka-suka sendiri aja. Bisa jadi karena pengurus alumni memang tidak mengarahkan. Lha gimana mau mengarahkan, aktif aja kagak. Barangkali ngumpul saja cuma setahun sekali, yaitu ketika ada acara Halal bihalal alias persilatan nasional ini. 

Tidak ada yang acara serius disini kecuali sambutan-sambutan. Itupun kalau ditanya apa isinya haqqul yaqin tidak ada hadirin yang bisa menjelaskan. Mestinya dalam acara semahal ini (budgetnya di atas 100 juta lebih) ada acara sedikit serius. Jika tidak oleh semua hadirin, paling tidak dihadiri perwakilan seluruh angkatan. Minimal untuk mengevaluasi eksistensi diri alumni di angkatan masing-masing.  Masih ada nggak rasa keAttaqwaan itu di kalangan alumni. Atau evaluasi sejauh mana kontribusi anggota kepada pondok. Apalagi di media cetak yang dibagikan kepada hadirin ada rencana Musyawarah Anggota  yang berarti pergantian pengurus Nopember mendatang. Bagaimana teknisnya, wallahu A'lam. Ini pasti akan jadi proyek yang makan biaya lagi. Padahal program riilnya apa, belum kelihatan. 

Selain itu, sebuah acara bagus kini sudah lama ditinggalkan. Ziarah bersama ke makam ngkong Kiai. Dulu sebagai bhakti santri kepada Almaghfurlah, dari tempat acara di pondok putra semua pengunjung digiring untuk ziahar dan dipimpin oleh pimpinan pondok. Meskipun mayoritas alumni di atas 1992 tidak ada yang pernah bertemu beliau (apalagi belajar darinya), paling tidak mereka sudah sering melihat fotonya dimana-mana. Sudahlah pemikiran politik dan keagamaan beliau belum ada yang bukukan.  
(Sukses ketujuh, panitia mandiri banget....)

"Jengkolnya maknyus..."
Barangkali keberhasilan panitia selain pengumpulan dana adalah menyediakan konsumsi yang memancing emosi alumni yang dulunya rata-rata tinggal di pondok. Menu jengkol dan teri yang merupakan menu favorit jaman nyantri dihadirkan sebagai konsumsi utama. Akibatnya konsumsi ludes sebelum sebagian hadirin menikmatinya. Sebagian hadirin tengok kiri-kanan mencari panitia, berharap ada tambahan konsumsi. Tapi rupanya yang dinanti tidak mungkin datang. Sebagian dari mereka kemudian ngeloyor pulang. Sebagian lagi ngantri di pedagang ketoprak dan bakso untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Maklum sudah jam 13.30 siang.
(Sukses kedelapan... Murah, meriah, untung)

"Allahu Akbar... Allahu Akbar..."
Tidak ada teriakan takbir selama acara berlangsung sebagai penyemangat solidaritas alumni dan pondok terhadap perjuangan rekan-rekan di Palestina. Bisa dimaklumi karena acara ini memang bukan tabligh akbar. Kalaupun ada takbir, munculnya di tengah acara, dan datangnya dari speaker masjid, sebagai tanda waktu zhuhur telah tiba. Kontan acara diminta berhenti dulu tanpa perencanaan. Koq bisa? Kayaknya panitia tidak melakukan kordinasi dengan pihak masjid yang halamannya dipakai buat acara. Persis seperti acara TV One tahun lalu yang diplesetkan oleh orang dengan istilah lailatul qadar vs lailatul keder.
(Sukses kesembilan.... Ngga perlu kordinasi, mengalir saja ...)

Selamat buat Panitia yang sudah kerja keras sehingga meraih 9 sukses menurut ukuran saya.
Kalau tulisan ini berasa seperti satire bagi anda, percayalah, buat saya ini seperti pil pahit. Entah kapan ia akan berbuah manis. 

No comments: