Pages

Thursday, July 2, 2015

Pentingnya Ruh Jihad

Seorang anggota Pengurus Besar (setingkat Pengurus Pusat) Pelajar Islam Indonesia (PII)* bersilaturrahim ke rumah. Dia kebetulan sudah bekerja di sebuah bank syariah yang akhir-akhir ini terkena masalah karena banyaknya fraud, alias tindak penipuan yang dilakukan karyawannya sendiri. Dia heran, koq di bank syariah ada juga fraud seperti ini, sesuatu yang di bank konvensional amat jarang terjadi. 


Obrolan berkembang kepada urusan dia sebenarnya datang ke rumah. Bahwa pengurus besar akan melaksanakan pendataan untuk melaksanakan muktamar berikutnya. Wabil khusus  dia yang membawahi departemen training alias pelatihan kader.  Maklum pengurus besar hasil muktamar ini sudah berjalan hampir tiga tahun.  Anehnya belum ada bekas pengurus periode ini pada komunitas pelajar, apalagi ummat secara keseluruhan. Dengan kata lain ngga ada gebrakannya.


Dia bertanya kenapa jarang nulis lagi. "Saya capek". Begitu banyak energi dan pemikiran yang dituangkan untuk sebuah tulisan. Dan sudah banyak tulisan yang upload tapi tidak ada yang memperhatikan ataupun mengamalkan. 

***

Sehari sesudahnya rekan Keluarga Besar (KB) alias alumni PII juga datang bersama 2 orang anggota Pengurus Wilayah (tingkat propinsi) Jakarta dan 1 orang Pengurus Daerah (setingkat kabupaten). Mereka mengeluhkan vacuumnya aktifitas organisasi itu di berbagai daerah. Mereka meminta masukan bagaimana para senior mampu membuat maju lembaga ini pada tahun 1980an, padahal era itu dikenal kekuasaan Soeharto dan back-up tentaranya sangat kuat dan otoriter. Setiap saat kantor Pengurus Wilayah PII Jakarta di Menteng Raya selalu dalam pengawasan intelijen. 

Tidak jelas apa yang menjadi pemicu kemajuan dan popularitas PII saat itu. Hasil obrolan sesama KB seangkatan menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama saat itu yang berkembang adalah ruhul jihad, semangat berjuang yang begitu tinggi menentang kezhaliman Orde Baru terhadap ummat Islam. Baik kezhaliman dalam bidang politik (dikebirinya peran ummat Islam dalam kebebasan berpartai) maupun dalam bidang ekonomi dan budaya. Jihad merupakan materi inti dalam setiap training, meskipun materi lain pun tidak ditinggalkan, seperti kompetensi pribadi (Quran, ibadah dll) dan juga kompetensi organisasi (manajemen, administrasi, leadership) serta pengetahuan (Sejarah perjuangan ummat Islam, Perbandingan Agama dll). Bahkan situasi yang sering gawat, seperti penggrebekan semasa training, membuat materi Jihad punya materi pendukung seperti sekuriti dan intelijen.

Faktor kedua, dukungan dari semua kelompok Islam. Suara PII, meskipun sayup-sayup dan kelihatannya masih bocah SMA, tapi amat ditakuti pemerintah, karena didukung semua kelompok Islam baik di atas permukaan maupun gerakan bawah tanah. Semua kelompok menitipkan kadernya pada PII untuk dilatih dan dibina, karena hanya PII saat itu yang memiliki pengkaderan terbaik dan sistematis. (Bayangkan dalam jangka 7 hari saja seorang peserta training bisa berubah dari pendiam menjadi garang, bahkan tidak jarang jadi provokator, dalam arti positif tentunya). Dukungan ini tidak saja dalam bentuk psikologis-politis tapi juga berarti ekonomis-finansial.

Ketiga, materi dan metode pengkaderan
Saat 1990an ketika kiblat tidak lagi ke Jihad motivated tapi intelectual orientation maka berubah pula pola pembinaan dan orientasi berfikir. Dulu semua kader berfikir supaya organisasi tersayang ini maju. Mereka berani mengorbankan segalanya demi majunya salah satu panji Islam ini. Ketika orientasi berubah menjadi intelektual Islam, maka pola pembinaan kader bergeser menjadi para pemikir yang semangat berjuangnya dialihkan kepada ghirah membaca buku dan mengadakan seminar.
Maka tidak heran jika materi-materi trainingpun berubah total. Silabus yang berusaha menjadikan kader sebagai motivator, pemimpin, pejuang, dan penjaga sudah tidak relevan lagi. Akhirnya kader yang lahir dari training-training itu berkualitas pemikir, administrator dan bergaya mekanik. Tidak jelek, tapi tidak sebanding dengan tantangan yang dihadapi.

Keempat, periodisasi maksimal
Pra 1990 periodisasi kepengurusan di PII dinilai memadai. Pengurus Komisariat 1 tahun, Pengurus Daerah 2 tahun, Pengurus Wilayah 3 tahun dan Pengurus Besar 4 tahun. Seorang kader tidak perlu menjadi pengurus besar untuk bisa melaksanakan catur bakti PII: sebagai alat belajar, alat berjuang, alat sukses studi dan tempat membina pribadi muslim. Para tokoh nasional yang lahir dari PII lama tidak banyak yang sempat  sampai Pengurus Besar tapi dengan lamanya berkecimpung dalam organisasi membuat mereka  menguasai manajemen dan administrasi serta seni dan ilmu lainnya seperti politik dan militer. Kematangan organisasi seperti ini diperlukan seorang kader
Pasca 1990 periodisasi berubah, PK 1 dan PD 1 tahun, PW dan PB 2 tahun. Jadi seorang kader hanya memerlukan 4 tahun untuk menjadi pengurus besar, sedangkan senior mereka memerlukan waktu minimal 6 tahun.  Akibatnya mereka menjadi kader yang tanggung alias setengah matang.

Kelima Orientasi jelas, penyatuan santri dan pelajar umum. Penjajah Belanda membuat masyarakat Islam jadi sekuler. Sekuler ke kiri tanpa agama, dan sekuler ke kanan, tanpa pengetahuan umum. PII tampil dengan kader di tengah. Santri yang intelektual dan intelektual yang kuat agamanya.
Setelah 1990 orientasi organsisasi berubah total. Dimulai dari bergaya ta'dib dengan mengikuti pola usrah Ikhwanul Muslimin kemudian berbelok menjadi intelektualisme Islam ala Nurkholis Madjid cs. Parahnya, saat reformasi terjadi, ketika ummat Islam kembali berharap tampil dalam pentas politik nasional, kader-kader PII berubah menjadi monster yang menakutkan: mereka menjadi pendukung partai merah,  Partai Rakyat Demokratik, yang ideologinya kiri dan agak komunis. Padahal aliran seperti ini yang menjadi lawan para senior mereka pada tahun 1965. Pada saat yang sama, sebagian mereka yang terbina secara intelektual mencari-cari jatidiri secara naif: menjadi pengurus LSM-LSM yang dibiayai negara asing dan menyuarakan kepentingan mereka. Akhirnya Ummat harus kehilangan kader yang diharap bisa memperjuangkan nasib mereka setelah dijajah oleh Orde baru selama 30 tahun.



***
Ruhul jihad seperti momok menakutkan bagi non muslim bahkan bagi sebagian orang Islam sendiri. Itu karena mereka membuatnya seperti itu. Kata pepatah Inggris, you are what you did. Anda merupakan produk perbuatan anda sendiri. Jika anda menganggap sebuah rumah berhantu, maka anda tidak akan pernah mau menempatinya. Demikian pula jika anda menganggap seseorang sebagai pembunuh tanpa ada bukti yang kuat, maka anda akan ketakutan terhadapnya setiap saat. 

Kata jihad sendiri memang sudah menjadi icon menakutkan bagi orang kafir. Karena kata jihad itu sering diartikan sebagai berperang dan bertempur. Sayangnya hal itu ditelan mentah-mentah juga oleh orang Islam. Sehingga jadilah sebagian orang Islam sebagai orang yang takut pada agamanya sendiri, bahkan membencinya. Padahal jika jihad diartikan sebagai semangat atau sungguh-sungguh, pengertiannya menjadi sesuatu yang amat berbeda. Jika saya bilang saya ingin berjihad memajukan PII atau bank syariah, pengertiannya adalah bekerja/berusaha sungguh-sungguh agar lembaga ini maju, dan bisa bersaing dengan lembaga lainnya. Tentu tidak dengan merampok atau membunuh lembaga lainnya.

Baik PII maupun bank syariah nampaknya mengalami hal yang sama, yaitu penurunan atau matinya ruh jihad

*PII -organisasi pelajar-pemuda yang populer jaman 1960an karena anti Soekarnonya-
KB = Keluarga Besar = alumni

2 comments:

berkahmadani-smf said...

Allahu Akbar...

ae asheli said...

Ya, sangat penting penanawan ruh jihad di dalam pengkaderan