Pages

Sunday, March 27, 2016

KPR Syariah tidak Syariah?

*Soal KPR Syariah: Berbahaya memfatwakan sesuatu atas dasar ketidaktahuan *

Cecep Maskanul Hakim

Saya mendapat pesan Whatsapp mengenai bermasalahnya KPR syariah menurut menulis dikutip dari pendapat ust Arifin Badri dari majalah pengusaha Muslim no. 24. Menurutnya, KPR Syariah bermasalah secara syariah karena didasarkan atas jual beli dengan klaim musyarakah. Menurut penulis, pada hakikatnya itu adalah pinjaman karena bank tidak boleh melakukan transaksi riil. Karena bank memberikan pinjaman maka tambahannya adalah bunga yang berarti riba.

Kesalahan penulis menurut hemat saya adalah MEMVONIS perjanjian Musyarakah sebagai jual beli tanpa melihat perjanjiannya, dan MENYANGKA bank syariah dilarang melakukan transaksi jual beli tanpa merujuk ketentuan undang-undang. Hal ini berakibat fatal karena penulis mengemukakan fatwa/opini tanpa merujuk obyek fatwanya. Dengan demikian fatwa/opini yang dikeluarkannya adalah tidak berdasar dan tidak layak diikuti. Selain itu, jika syarat dan rukun musyarakah sudah cukup sesuai dengan syariah, maka ia dihukumkan sebagai musyarakah, bukan jual beli. Maka saya tidak tahu atas dasar apa penulis merasa berhak menentukan ini bukan musyarakah.

KPR Syariah di bank syariah didasarkan atas produk Musyarakah Mutanaqisah yang disahkan oleh fatwa-fatwa DSN-MUI (2008 dan 2012) dan Dewan Syariah Islamic Development Bank (1997) sebagai produk dengan akad Musyarakah sebagai dasarnya. Dr. Wahbah Zuhaily menyebut produk ini dengan nama khusus “Almusyarakah Almuntahia Bittamlik (Musyarakah yang berakhir dengan salah satu kepemilikan di salah satu pihak). Dalam musyarakah ini bank dan nasabah masing-masing jadi pemilik dari rumah yang dibeli secara bersama. Tahap kedua adalah nasabah penyewa dari rumah tersebut dari pemilik bersama (bank dan nasabah) dan bayaran sewa itu dibagi diantara pemilik. Pendapatan sewa yang kembali kepada nasabah dijadikan bayaran pembelian bagian rumah (hissah) yang dijual bank. Proses ini berlanjut sampai nasabah memiliki sepenuhnya rumah itu. Ketika ditanya apakah dalam produk ini terjadi “dua akad dari barang yang sama,” jawaban Dr Wahbah Azzuhaily adalah “Tidak. Karena nasabah yang menyewa rumah itu posisinya berbeda dengan pemilik barang”. Kesimpulannya, penulis belum membaca lengkap dasar syariahnya, perjanjiannya, prakteknya, sudah memvonis haram.

Kesalahan kedua penulis adalah menganggap bank tidak boleh melakukan jual beli. BIsa jadi ini karena penulis berfikir seperti banker konvensional, yang dalam kamusnya bank tidak boleh melakukan jual beli. Padahal sejak 1998 (terakhir UU No.21/2008) undang-undang perbankan jelas dan tegas menyebut Murabahah, Salam, Istisna dan Sharf yang kesemuanya dalam syariah adalah jenis jual beli. Jika prakteknya menurut penulis mirip2 perbankan konvensional, itu terjadi bukan kemauan bank syariah, tapi karena faktor luar yang susah dihindari. Misalnya saja ketentuan pajak yang mengharuskannya sebagai “jasa bank” jika tidak ingin terkena pajak ganda yang menyebabkan harganya lebih tinggi dari bank konvensional. Karena itu, jual beli di bank syariah dalam bentuk pembiayaan biasanya menggunakan akad tambahan yaitu wakalah (99 % praktek Murabahah di bank syariah di dunia Islam adalah seperti ini, termasuk di Alrajhi Saudi Arabia dan Dallah-Albarakah yang dulu tidak membolehkan wakalah dalam Murabahah). Selain itu, hukum pertanahannya juga tidak memungkinkan bank memiliki SHM sehingga jual beli Murabahah langsung diatasnamakan nasabah, tidak kepada bank terlebih dahulu. Masih banyak faktor besar yang menghalangi bank syariah untuk bisa berfungsi sebagaimana aslinya. Lalu jika kondisi "berusaha full syariah tapi belum full" hukumnya haram, apa saran penulis? Pakai konvensional saja ? (ck..ck..)

Demikian kesan saya terhadap opini seperti itu. Banyak yang ingin saya jelaskan, tetapi cukup dua hal itu. Menurut hemat saya, sebaiknya penulis meneliti berbagai aspek terlebih dahulu sebelum memberi opini/fatwa. Jangan sampai memfatwakan sesuatu atas dasar ketidaktahuan/kebodohan karena yang jadi korban adalah ummat yang kemudian saling tidak percaya satu sama lain dan berpecah belah.

Kutipan tausiah ust Salim Afillah: Imam Ahmad tak berfatwa sampai umur 40 dan kebanyakan fatwanya: “Aku tak tahu.” “Salah satu kalian berfatwa tentang sesuatu yang andai ditanyakan pada 'Umar, dia kumpulkan dulu Ahli Badr tuk membahasnya” (Abu Hushain). “Sesiapa berfatwa tentang segala hal yang ditanyakan padanya; sungguh dia orang yang gila” (Ibn Mas'ud & Ibn 'Abbas). “Yang harus dilakukan para 'ulama sebenarnya bukan banyak bicara, tetapi banyak diam karena besarnya rasa takut pada Allah.” (Ibn Al Mubarak).

“Dan jangan kamu katakan terhadap yang disebut-sebut lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram..” {QS 16: 116}

Wallahu A’lam

1 comment:

Unknown said...

جَزَاكَ اللّهُ
Saya pakai untuk counter pemahaman yg sama di wa grup ust.