Pages

Friday, July 7, 2017

Mimpi Halal Bihalal Kita

Entah sejak kapan saya di daulat jadi “mbah’nya halal bihalal abituren Attaqwa, setelah Bung Darso Arief mendapuk saya dengan julukan lain. Hampir setiap periode yang kebagian tugas jadi panitia pasti menjadikan saya tokoh pertama yang “kudu bin wajib” didatangi. Seakan tidak afdol kalau tidak sowan ke rumah saya. Padahal yang namanya tokoh alumni Attaqwa bejibun dimana-mana. Yang punya jabatan lebih tinggi dari saya juga banyak. Ada deputi rektor, ada mantan bupati, anggota DPRD, camat, lurah dan sebagainya. Mantan Ketua IKAA juga ngga kurang jumlahnya. Sebagian dari mereka sudah layak dapat predikat “aki-aki” karena umur dan pengalamannya. Pokoknya banyak tokoh yang bisa diminta nasihat untuk acara halal bihalal. Selain nasihat, tentu juga sumbangan buat pelaksanaan acara, yang biayanya lagi-lagi tidak kecil. Begitulah resiko alumni yang dianggap sukses dalam ekonomi.
Anehnya, biarpun datang ke rumah dan diceramahi tentang ide halal bihalal yang efektif, komunikatif, dan berdampak sosiologis, pada kenyataannya panitia masih mengulangi kebiasaan yang lama. Halal bihalal, yang sekarang berubah namanya jadi Silatnas, tetap saja jadi arena sambutan dan ceramah, dengan penceramah popular yang diusahakan jadi daya tarik. Tahun lalu (2016) masih “mendingan” karena ada lomba video pendek dan tulisan. Tapi pada acara habilnya orang lebih tertarik pada kehadiran band Wali, yang kemudian jadi kontroversial, karena dianggap menjadikan masjid jadi arena hiburan. Acara juga jadi arena kampanye terselubung karena bupati petahana maupun calon bupati ikut hadir. Ditambah nongolnya ustaz kondang Yusuf Mansur, yang lagi polemik dengan bung Darso soal sedekah berjamaah, dan dianggap minta dukungan Attaqwa terhadap “bocah badung” dari pulau Rote itu. Tapi kehadiran para selebriti itu buat saya bisa jadi berkah tersendiri. Makanya ketika Guru Mukhtar Murikh nanya kenapa urusan Habil jadi nyerempet politik dan polemik begini, saya usul supaya panitia memanfaatkan momen itu untuk “nodong” para seleb. Saya pikir, enak aja para seleb ini. Panitia udah susah-payah bikin panggung, tiba-tiba mereka naik begitu aja, gratis. No way man. “Ngga kaci” kata orang Bekasi. Alhamdulillah usulan ini disetujui para mantan ketua dan berhasil, Defisit keuangan panitia pun tetutupi.

Yang suka lagu Laskar Pelangi, pasti hafal kata-kata Nidji ini: “mimpi adalah kunci bagi kita untuk menaklukkan dunia.” Jika laskar pelangi punya mimpi, saya juga punya mimpi pada setiap halal bihalal IKAA. Makanya kalau panitia datang ke saya, minimal ada tiga hal yang saya sampaikan. Pertama, jadikan halal bihalal sebagai silaturrahim ekonomi, selain silaturrahim sosial. Kedua jadikan halal bihalal pertemuan antar angkatan. Ketiga jadikan halal bihalal sebagai musyawarah anggota.

Saya berkhayal andai saja halal bihalal menjadi pameran ekonomi dari para alumni. Artinya cobalah pada setiap halal bihalal,perwakilan angkatan bikin kios atau meja yang menawarkan usaha yang telah mereka jalankan. Misalnya makanan, baju, perumahan, bimbingan haji dan sebagainya. Maksudnya agar tercipta “ekonomi ummat” minimal dalam skala Attaqwa dan alumninya. Kata almarhum Prof Hasan Langgulung (tokoh pendidikan Islam asal Pare-pare Sulawesi selatan), masyarakat Padang dan Makassar kalau ngumpul di setiap tempat akan saling tukar informasi bisnis. Maksudnya jika bisnis mereka memerlukan bahan baku, yang pertama mereka cari adalah sesama usahawan asal daerah masing-masing, sebelum yang lainnya. Maka tidak heran jika mereka bisa menguasai bisnis di di berbagai tempat. Fanatisme kelompok? Bukan. Ini dalam marketing namanya jaringan alias network. Temen ente yang keturunan Cina malah lebih parah dari itu.

Halal Bihalal IKAA tahun ini temanya adalah ekonomi.Terima kasih pada guru kita KH. Nurul Anwar karena telah menjadikan tema itu di Habil ini dan juga sebagai tema kaderisasi di MUI Kabupaten Bekasi (kaderisasi ulama-ekonom). Karena itu Panitia berjuang sekuat tenaga menghadirkan sohib saya Dr. Syafii Antonio, anggota Komite Ekonomi Nasional, Dewan Pengawas Syariah di beberapa bank syariah. Mudah-mudahan saja beliau bisa meluangkan waktu untuk habil ini. Tapi sekali lagi, meskipun tema itu diusung, tanpa tindak lanjut dan perubahan pada sikap alumni, tidak aka nada efek apa-apa dari Halal Bihalal ini.

Kedua, jadikan ini pertemuan antar angkatan. Tiap angkatan mengirim 2 orang, satu putra dan lainnya putri. Pertemuannya jangan lama-lama, cukup setengah jam saja. Agenda utamanya adalah nagih biaya per angkatan, persis seperti yang dilakukan Korikawati. Tidak fair kita membebankan biaya habil hanya kepada angkatan yang menjadi panitia, padahal acara itu adalah acara semua abituren. Pernah KH Amin Noer dan Guru MUkhtar meminta agar setiap alumni menabung 1000 rupiah perhari buat keperluan Habil. Masalahnya, berapa banyak alumni yang bisa disiplin nabung?

Agenda lainnya adalah pemilihan ketua. Karena melaksanakan musyawarah anggota sekarang ini agak susah, kita sebaiknya “back to basic “ saja. Kata Guru Mukhtar, dulu itu pemilihan ketua dilakukan pas halal bihalal dengan cara guyuban. Karena itu kita bikin yang simple saja, karena kalau bahas anggaran dasar dan rumah tangga, seminggu juga tidak bakalan kelar. Kita alumni Attaqwa adalah pewaris jago-jago bicara, yang kalau ngomong ngga pernah sebentar, dan jarang ada yang ngalah. Yang begini mah kita serahin ke notaris kondang kita, cak Nur (Nurkholis Wardi). Pasti beres dah.

***
Dalam pertemuan “revival” (menghidupkan kembali) IKAA di RM Wulan Sari tahun 2010 saya diamanahi Guru Nur untuk memimpin rapat pembentukan pengurus masa transisi. Saya lalu membentuk presidium dengan memperkenalkan rumus periode untuk memilih ketua IKAA. Rumus itu adalah K= N/2 + (N/2-1) + (N/2+1) dimana K adalah kandidat, N adalah jumlah tahun lulusan, (N/2-1) adalah periode sebelum tengah dan (N/2+1) adalah periode sesudah periode tengah. Jika misalnya lulusan pertama tahun 1962 dan terakhir 2016 maka akan terdapat 54 periode. Mengikuti rumus N/2, jumlah 54 tahun periode itu dibagi dua dan memperoleh angka 27. Ditambahkan dengan 1962 maka kita peroleh periode tahun 1987. Dan untuk melengkapi pencalonan ini menjadi 3 orang kandidat, maka periode lulusan 1986 dan 1988 dapat mendampinginya menjadi calon ketua.

Mengapa saya menggunakan rumus angkatan ini? Pertama, sampai periode bang Ncam (H. Syamsul Falah) pertama, calon ketua IKAA diambil secara serabutan. “Ngacak”, istilah anak Jungmalang. Padahal Ketua IKAA diharapkan bisa komunikasi ke atas (angkatan tua) dan ke bawah (angkatan muda). Dengan berada di tengah2, kita berharap dia lancar komunikasi dengan angkatan “jadul” atau angkatan “Android”. Kedua, komisariat IKAA sudah tidak efektif lagi. Pola jaringan regional yang diambil dari sistem organisasi massa ini sudah tidak dapat dipertahankan karena kalah oleh pola angkatan. Bahkan diantara alumni angkatan ada yang membentuk yayasan dan nama sendiri seperti Persadari, Ikpisolimin, Marhalah Iltizam, Alatsya dan lain-lain, Selain itu, dengan meningkatnya teknologi komunikasi, rapat-rapat organisasi biasanya cukup dilakukan melalui group WA, FB atau Twitter. Hampir setiap angkatan punya group WA kalau tidak mau dibilang gaptek. (Sampai hari ini di FB saya masih terus berdatangan undangan berteman dari teman-teman yang sudah levelnya bisa dibilang kakek-kakek).
***
Agenda yang tidak kalah penting juga adalah menetapkan panitia untuk tahun berikutnya. Juga biaya yang dibebankan per angkatan, tema yang diusung, termasuk usulan siapa yang mau diundang. Dengan demikian periode yang jadi panitia berikutnya sudah bisa ancang-ancang dan tidak dipusingkan dengan pencarian sumbangan.

Sesederhana itu? Tentu saja tidak. Yang namanya mimpi pasti enak dikatakan, sedang pada kenyataannya tidak pernah bisa dilaksanakan. Panitia terlalu sibuk dengan urusan logistik, undangan penceramah, pengaturan tempat, parkir dan lain-lain. Seharusnya yang seperti ini dilakukan di awal acara sehingga tidak mengganggu “pameran sambutan dan ceramah” serta “ramah tamah”. Dan tugas mengawal ini adalah seharusnya menjadi tanggungjawab pengurus IKAA.

Padahal untuk pengurus, saya juga punya mimpi lain. Sebelum terkena prahara “maling timba” dan “hantu blao” yang disebut gus Sire (Sirojudin Mursan Muan) sebagai gaya politik “tarkam” (tarikan kampung) sebagian alumni senior menginginkan adanya program riil IKAA. Diantaranya membantu para alumni memperoleh beasiswa S1 sampai S3 bagi yang ingin kuliah (tapi tidak mampu). Juga mencarikan lowongan pekerjaan bagi alumni bagi yang ingin bekerja. Untuk itu diperlukan sekretariat yang “nyata” (kantor) dengan perangkat telekomunikasi dan teknologi, yang dapat menjangkau sampai manca negara, dimana jaringan alumni Attaqwa berada, guna untuk diminta bantuannya. Kehadiran pengurus IKAA dalam Halal bihalal dan Hari Pahlawan (tugas baru dari pimpinan Yayasan Attaqwa) memang wajib, tapi itu hanya tugas seremonial. Tugas pentingnya adalah menjadi wadah bagi para alumni untuk menyalurkan kepentingan anggota dan mempertemukan kompetensi ekonomis. Ini adalah mimpi yang lain. Hal ini sebenarnya sudah mulai dirintis walaupun tidak oleh IKAA. Contohnya, ketika melaksanakan haji tahun 2014, saya merasa bangga, karena dari 30 kelompok bimbingan haji di Bekasi, dua belas diantaranya dipimpin oleh alumni Attaqwa.

Sayangnya mimpi itu cuma tinggal mimpi. Sejatinya tidak usah terlalu berharap pada ikatan alumni apapun. Sebab realitasnya tidak ada satupun ikatan alumni yang bisa melahirkan program riil dan berkelanjutan. Pengalaman memimpin IKAA (1997-2000) dan Alumni Chapter IIUM (2004-2016) membuktikan hal itu. Ketika memimpin IKAA, kami nyaris mendirikan perusahaan yang kalau berjalan, mungkin sudah jadi perusahaan yang minimal bisa dijadikan batu loncatan untuk mendidik alumni ke arah professional. Dua belas tahun memimpin alumni chapter, kami hanya berhasil menyusun akta pendirian perusahaan untuk alumni. Tapi saying tidak ada seorangpun yang nyahut ketika diminta untuk menyumbang modal, atau jadi direksinya.

Tapi beda ceritanya jika mimpi itu harus saya simpan baik-baik hanya karena pertarungan politik sesama teman, yang situasinya sudah seperti perang Iran-Iraq. Dan sangat disayangkan hal itu masuk ke dalam IKAA dan bahkan membawa-bawa keluarga. Entah kenapa politik disini begitu bejat sehingga berlaku adagium: temannya musuh adalah musuh, istri temannya musuh adalah musuh juga. Seseorang sampai berbisik kepada saya, “Andai waktu bisa diputar, saya tidak akan mau disuruh mondok disini.” Entahlah, mengapa kelakuan politik di kampung ini terasa barbar, padahal Ngkong Kiai terkenal santun terhadap lawan politiknya, termasuk kepada adiknya sendiri yang berbeda partai dengannya.

Karena pertanyaan di awal tulisan ini tidak terjawab, akhirnya pada setiap panitia Habil yang datang ke rumah, selalu saya tanyakan pertanyaan ini. “Kenapa selalu saya yang pertama kali kalian datangi, padahal banyak tokoh di kampung ente. Orang kaya juga ngga sedikit disana.” Dari sekian jawaban “ngga tau” dan “saran dari periode sebelumnya”, ada juga jawaban yang bikin saya terkesiap. “Entahlah… diskusi sama abang-abang disini begitu bebas, tanpa sekat politik, tanpa risiko munculnya konflik antar keluarga. Selain itu komitmen para senior di sini juga begitu tulus. Beda sama di kampung saya…”

Apa iya? Wallahu A’lam.
Namanya juga mimpi, kayak kebiasaan guru Nam Nam. Kadang terlaksana, kadang juga gagal.

Selamat berhalal bihalal alias bersilatnas.
Selamat Hari Raya Iedul Fitri, Mohon maaf lahir dan batin

Buat Al Atsya, terima kasih atas kerja kerasnya.Semoga jadi amal soleh buat kita semua.

No comments: