Kumpulan kisah perjuangan alumni membangun sistem perbankan syariah untuk perbankan yang lebih sehat dan pelayanan prima
Bekerja di Bank Syariah, Berjuang Tanpa Henti
Cecep Maskanul Hakim
Master of Economics (M.Ec)
Pertengahan tahun 1994 adalah masa-masa berat bagi saya. Selesai dari Master of Economics di International Islamic University Malaysia (IIUM) saya ingin meneruskan studi ke jenjang S3. Proposal sudah dikirim ke beberapa universitas, termasuk IIUM sendiri. Sayangnya IIUM baru memulai program Ph.D tahun berikutnya. Satu-satunya yang menerima proposal saya adalah University Pertanian Malaysia (UPM, sekarang berubah menjadi University Putra Malaysia), Serdang dekat Bangi. Masalahnya, darimana saya mendapatkan beasiswa untuk belajar disini. Tanpa beasiswa tentu susah berat untuk melanjutkan studi.
Saya sudah berkeluarga dan punya anak 1. Strata 1 saya ambil di Pakistan dengan yudisium B.Sc (Hons). Padahal saya sudah menghabiskan 3 tahun setelah Madrasah Aliah di Pondok Pesantren Attaqwa Bekasi Utara, untuk mendalami kitab kuning. Jadi ketika mulai kuliah S1 saya sudah berusia 22 tahun dan lulus 4 tahun sesudahnya. Di tahun kedua program master (1992) beberapa rekan mendorong saya agar menikah, guna memudahkan sebagian urusan, termasuk beasiswa. Selesai kuliah tahun 1994, habis pula beasiswa. Tapi hidup harus tetap berjalan. Dan tekad untuk memperoleh gelar Ph.D masih membara. Nasib baik punya kemampuan mengajar Alif-ba-ta Alquran dan kemampuan Bahasa Inggris. Kombinasi ini membuat level saya mengajar setingkat lebih tinggi dari teman-teman ustaz lainnya, karena saya diserahkan para murid yang hanya bisa berbahasa Inggris, selain Tamil dan Cina.
Tapi saya tidak mau berhenti disitu. Sebagai sarjana strata dua, saya harus kerja administrative atau managemen. Atau guru dan penterjemah. TIba-tiba ada lowongan mengajar Islamic Economics di University Malaya. Tanpa menyia-nyiakan waktu saya mengirim lamaran, dengan harapan saya juga bisa menyelesaikan S3 disitu. Tapi harapan tinggal harapan. Jawaban dari UM kami terima minggu kemudian. Isinya: anda ditolak. Entah apa yang kurang dari saya. CGPA saya di atas 3. English-Arabic saya aktif, baik bicara maupun menulis. Bahkan Prancis saya juga aktif. Apakah karena saya Indon? Wallahu A’lam. (Indon adalah kependekan dari Indonesia, panggilan orang Melokay (Melayu) kepada orang Indonesia. Panggilan itu sebenarnya biasa saja, tapi kami yang educated ngga suka karena terkesan pejoratif. Panggilan itu biasanya untuk para pekerja kasar dari Indonesia)
Lalu lusinan lamaran ke berbagai kedutaan negara asing di Kuala Lumpur pun saya kirim. Saya berharap minimal saya bisa jadi penterjemah Arabic-English dan sebaliknya. Tapi semuanya dibalas dengan permohonan maaf, belum bisa menerima saya sebagai staf di kantor mereka. Hari-hari berikutnya kita hanya berharap semoga ada keajaiban untuk pengangguran intelek seperti saya di negeri jiran ini.
***
Bergabung di Bank Muamalat
DItengah penantian yang tak berujung untuk kerja yang didamba tiba-tiba datang surat dari kampung. Kakak saya satu-satunya mengirimnya dengan pesan singkat: Pulanglah, selagi ibu masih ada umur. Beliau mau lihat cucu dari kamu. Pada waktu kepulangan sebelumnya, saya masih di tahun kedua. Sedang ujian semester pula. Saat itu beliau dirawat karena diabetes akut. Saya tidak punya pilihan kecuali pulang. Saya khawatir kehilangan orang tua kedua kali tanpa ada disampingnya. Ayah sudah mendahului ibu pada tahun 1988, saat saya masih di Pakistan, di semester 4 tepatnya. Kepulangan beliau diinfokan teman-teman 2 minggu sesudahnya, pas bulan puasa. Saya tetap berusaha pulang tapi tidak bisa karena tidak punya ongkos tiket. Padahal kuliah semester berikutnya sudah harus dimulai. Kali ini saya tidak mau terlambat. Penerbangan Kuala Lumpur-Jakarta cuma dua setengah jam.
Dengan uang yang tersisa, dan murid pengajian yang masih berharap untuk kembali, saya pulang. Istri yang waktu itu belum selesai kuliah, dan anak saya yang baru berusia 1,5 tahun, ikut. Walaupun status saya ngga jelas, ibu tetap menerima dengan gembira. Apalagi baru kali ini dia melihat cucu dari anak bungsunya. Tapi agenda proposal untuk doktor yang sudah diterima di UPM masih membayang di kepala
Kabar kepulangan saya diketahui Syafii Antonio, senior saya satu semester di M.Ec program, dan sudah pulang duluan ke Jakarta karena dipanggil KH. Hasan Basri untuk kerja di Bank Muamalat. Dia kemudian mencari-cari saya di berbagai kontak. Akhirnya dia memperoleh nomor telpon rumah tetangga yang biasa dipakai menghubungi kakak dan saya. Maklum saat itu saya belum punya telpon rumah. Setengah ngomel, Syafii meminta saya datang segera ke Bank Muamalat untuk diwawancarai. Kerja?
Wah tidak secepat itu om pikir saya. Saya kudu tanya ibu dulu. Soalnya kepulangan saya ke kampung kan untuk jaga ibu yang sudah mulai sakit-sakitan. Lagian saya tidak punya cita-cita kerja di perbankan, bidang yang saya anggap sebagai bagian dari kapitalisme. Walaupun, salah satu paper untuk master saya berjudul Liquidity Concerns in Islamic banking. Pembimbingnya juga tidak disukai para mahasiswa: Dr. Muhammad Anwar! Selain itu, saya juga teringat pesan almarhum ayah sebelum berangkat ke Pakistan, agar belajar agama sungguh-sungguh. Dia ingin ada anak yang menggantikannya menjadi guru di masyarakat, mengajar ngaji di masjid-masjid. Juga mendirikan pesantren seperti yang diinginkannya. Lah kalau saya kerja di bank, di Jakarta pula, bagaimana saya bisa memenuhi keinginan almarhum?
Ibu akhirnya mengizinkan. Bahkan ucapannya masih teringat sampai hari ini. Orang-orang disini pada cari-cari kerja, ini malah pekerjaan yang mencari kamu. Ibu bangga kepadamu. Istikharah lah, ibu yakin kamu segera dapat petunjuk. Kamu kan lebih saleh dari kakakmu, lebih banyak ibadahnya. Seketika menitik airmata saya.
Akhirnya saya kerja di Bank Muamalat. Ditempatkan di Departemen Syariah, sebagai seorang staf. Pimpinannya adalah Syafii Antonio yang hari-harinya lebih banyak ceramah di luar kantor karena banyak permintaan. Sebagai bank Syariah pertama dan baru berumur 3 tahun, Bank Muamalat memang sering banget diundang untuk presentasi. Maka tidak heran kalau Syafii lebih populer dari direksi. Terus, cerita saya yang punya ijasah Master ditempatkan sebagai seorang staf (clerc istilahnya alias pekerja tingkat terendah) sempat viral. Viral, karena jadi bahan kebanggaan sekaligus sindiran. Bangga karena Bank Muamalat itu begitu diminati orang, sehingga seorang master of economics lulusan luar negeri mau kerja sebagai klerk! Ujian bagi sebuah perjuangan sudah dimulai rupanya.
Kerja asli Departemen Syariah adalah menjadi liaison officer alias penghubung untuk Dewan Pengawas Syariah yang saat itu isinya tokoh nasional. KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Prof.Dr.Quraisy Syihab. Saat itu DPS masih boleh mengeluarkan fatwa sendiri. Tapi riset sumber fatwa dilakukan oleh Departemen Syariah. Maka ilmu ketika belajar di Pakistan dan Malaysia pun langsung terpakai terutama Fiqih Muamalah. Tapi kemudian Departemen Syariah berkembang menjadi departemen sirkus, departemen yang mengerjakan semua hal. Seperti menyiapkan bahan pidato direksi, bahan seminar, dan menjawab pertanyaan Syariah dari pusat dan seluruh cabang. Selain itu kita juga melaksanakan manajemen zakat infaq dan shadaqah, menerima tamu dari luar negeri (maklum karyawannya jarang bisa Bahasa inggris, apalagi Arab) sampe menguji baca tulis quran calon karyawan.
Yang lucu, meskipun kita bertungkuh lumus kerja siang malam, tapi nilai yang diperoleh tetap nilai biasa-biasa saja. Alasannya departemen ini kan cuma supporting unit. Jadi, sehebat apapun kerja kita, tidak akan menjadi profit center. Padahal kita sering diberi pengarahan oleh SDM, bahwa ada penilaian quality service yang bisa jadi lebih tinggi dari sekedar keuntungan dalam bentuk uang. Tapi nampaknya hal itu berlaku untuk orang-orang yang disukai direksi saja. Atau orang-orang yang kerabatnya ditakuti direksi.
Yang bikin sakit hati itu adalah anggapan bahwa kami punya banyak waktu luang karena kami hanya unit pendukung. Mereka tidak pernah ingat betapa repotnya mereka ketika ditanya tentang dalil dan masalah Syariah lainnya. Kalau sudah begini, “orang Syariah” akan dipanggil ke kantor meskipun sudah ngorok kecapekan di rumah atau sedang tugas di tempat lain. Ngga bisa kan, direksi buang badan terus dan bilang, Oh itu urusan teman-teman Syariah yang lebih tau. Padahal kalau kita lihat para manajer dan direksi dari negeri jiran dengan fasih mengutip ayat quran dan hadits atau pendapat ulama ketika mereka diundang ceramah di Jakarta.
Mengembangkan produk
Pergantian direksi pada tahun 1997 disambut gembira oleh para pegawai. Karena selama ini mereka bekerja dibawah tekanan yang tidak jelas. Tapi yang paling ketara adalah perbedaan konsistensi keIslaman direksi baru dari sebelumnya. Para direksi pindahan Bank Duta seperti Zainul Arifin dan Arie Mooduto serta Achmad Baraba dari Bank Bukopin punya komitmen keIslaman yang lumayan kenceng. Mereka juga tokoh sosial, karena sering jadi imam dan khotib di beberapa tempat.
Ada lagi yang agak aneh. Jika direksi sebelumnya berusaha mencegah agar tidak ada bank syariah lainnya dengan alasan Bank Muamalat belum kuat dan belum bisa bersaing, mereka malah sebaliknya. Mereka berusaha agar ada bank syariah baru, supaya Bank Muamalat punya mitra. Beberapa transaksi perbankan memang memerlukan mitra sesama bank seperti pasar uang, pasar devisa, corresponding bank dan lain-lain. Dengan demikian perbankan Syariah akan lebih cepat berkembang.
Direksi baru ini melihat kelemahan bank Syariah dari sisi produk. Mereka merasa bahwa produk Bank Muamalat yang merupakan tiruan dari Bank Islam Malaysia Berhad, tidak lain dan tidak bukan hanya fotocopy dari perbankan biasa. Karena itu mereka ingin adanya revisi dalam semua produk terutama pembiayaan/kredit. Maka dibentuklah Tim Penyusunan Produk dari semua divisi; Simpanan, Pembiayaan, Operasi, Treasury, Sistem dan Teknologi (Sistek), dan Syariah.
Pada proses berikutnya orang Syariah jadi referensi semua tim karena produk baru ini didasarkan pada teori akad dalam Muamalah. Bukan seperti sebelumnya, produk perbankan dicari dalilnya dalam Syariah. Karena itu proses pengembangan produk ini bukan cuma revisi, tapi membuat dari awal. Proses ini yang saya sebut dalam paper OJT di BI beberapa waktu kemudian sebagai asimilatif. Metode ini berupa penerapan akad Syariah dalam perbankan yang apabila ada ketidakcocokan aturan, aturan perbankannya yang harus diubah. Sedangkan pada metode awal (Malaysian style) saya sebut akomodatif, yaitu menjalankan produk perbankan dengan mencari kecocokannya dalam Syariah.
Saya tidak sadar perubahan metode ini dianggap radikal sampai rekan-rekan di Bank Muamalat menyebutnya begitu. Tapi menurut mereka ini positif karena mereka jadi tahu akar produk dalam perbankan Syariah yang sebenarnya, yaitu akad-akad Muamalah. Sebelumnya mereka menganggap itu produk perbankan saja yang diberi nama Arab!
Kelompok Taliban
Penyusunan produk yang dianggap monumental itu dilakukan setelah saya dipindahkan ke bagian pengembangan produk, namanya Group Rekayasa Bisnis. Group ini setingkat divisi tapi tanpa struktur tertentu. Ketuanya Adiwarman, dan saya bawahannya bersama beberapa teman yang dianggap “Islamis”. Rata-rata anggotanya berjenggot (kecuali Artika Batubara, karyawati jebolan Statistik IPB) dan karenanya sering disebut Kelompok Taliban, mengingatkan nama sekelompok pejuang Afghanistan yang radikal dan berhasil menumbangkan kelompok mujahidin lainnya.
Prestasi group rekayasa bisnis lainnya termasuk menyelesaikan issue Bai Aldayn (jual beli hutang) yang biasa dipakai dalam SBPU antar bank Syariah. Juga menyusun produk pembiayaan perumahan berdasarkan Musyarakah Mutanaqisah. Group ini juga sukses menyusun ulang produk Letter of Credit dan Bank Garansi dengan referensi akad-akad Muamalah seperti Wakalah dan Kafalah serta akad lainnya seperti Murabahah, Mudharabah dan Ijarah. Lengkap dengan Sistem dan prosedurnya
Menulis buku
Pergantian direksi diiringi dengan mundurnya Syafii Antonio dari Bank Muamalat. Alasannya mau bikin bank Syariah sendiri. Saya menyayangkan pengunduran diri ini. Sejujurnya kita masih memerlukan bantuan beliau, terutama wawasan dalam penyusunan pengaturan lanjut mengenai berbagai operasional perbankan. Dia yang sudah mendirikan perusahaan sendiri dalam bidang Haji dan Umroh (Tazkia Inti Safara) kini datang lagi minta bantuan untuk menulis buku.
Rupanya Syafii diberikan proyek penulisan buku tentang perbankan syariah. Proyek ini merupakan kebijakan Bank Indonesia yang ingin mensosialisasikan konsep bank Syariah melalui bacaan. Sasarannya tiga kelompok masyarakat, yaitu umum, akademisi, dan praktisi. Dibantu oleh teman-teman Bank Muamalat yang sebelumnya terlibat dalam penyusunan aturan produk dan operasional, Tatto S. Pranoto (Sistem dan Prosedur) dan Tunas Haryanto (IT dan Back Office) target satu bulan pun selesai. Syafii kemudian mengundang Zaim Ukhrowi, redaktur Republika, untuk mengedit ketiga buku tersebut.
Tiga buku yang kami tulis diberi judul sama, tapi dengan sub tema berbeda. Pertama Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, kedua Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendikiawan dan ketiga Bank Syariah Bagi Bankir Dan Praktisi Keuangan. Isi ketiga buku itu mirip-mirip saja karena pada dasarnya merupakan konsep dasar. Yang membedakannya adalah yang pertama merupakan konsep umum. Yang kedua berupa pendalaman dalil dan perbedaan pendapat. Yang ketiga berisi tambahan rincian operasional, seperti perhitungan bagi hasil, perhitungan pembiayaan, treasury product dan beberapa teknis lainnya. Belakangan ketiga buku ini digabung menjadi satu buku dengan penerbit Gema Insani Pers, untuk menghindari hak cipta.
Menyusun Bahan Pelatihan
Setelah penyusunan buku, tugas berikutnya menyusul. Kali ini lebih teknis sifatnya. Yaitu menyusun silabus pelatihan dasar perbankan syariah. Tazkia Institute, sayap akademi dari Tazkia, menerima order untuk pelatihan perbankan Syariah untuk karyawan Bank Indonesia sebanyak 10 angkatan. Tiap angkatan berisi 40 peserta, campuran dari berbagai bidang, yaitu perbankan, moneter dan manajemen intern. Karena sifatnya mendasar, maka materinya dibatasi pada masalah pokok, yaitu Ekonomi Islam (Riba dan permasalahannya), Produk Penghimpunan, Penyaluran dan Jasa, Aspek Legal, Aspek Akuntansi dasar. Saya dilibatkan mengajar produk, seperti halnya sejak 1997 di Bank Muamalat.
***
Berjuang di Bank Sentral
Saya sudah mulai merasa nyaman di Bank Muamalat. Orang-orang mulai memahami perbedaan antara bank Syariah dan bank konvensional dengan pengenalan produk baru yang kami susun. Paska pergantian direksi Syafii mengundurkan diri dan ingin usaha mandiri. Tinggallah saya sendirian menghadapi para banker yang harus diubah mindsetnya dengan produk baru. Saya harus keliling cabang-cabang untuk mengajar. DI kantor pun harus menjawab berbagai pertanyaan dari berbagai divisi dan bagian mengenai kesyariahan produk dan transaksi. Thanks to pelajaran FIqih Muamalah yang saya kuasai selama di Pakistan dan Malaysia.
Tiba-tiba Syafii Antonio datang lagi ke kantor. Dia mengajak saya ngobrol dalam Bahasa Arab. Bahasa yang tidak dipahami kebanyakan orang di Bank Muamalat. Kalau sudah begini pasti topiknya pasti rahasia. Mereka mulai mengucapkan kata amiin di tengah obrolan saya dengan Syafii. Mereka pikir kami lagi baca doa kali!
Ternyata benar. Syafii meminta saya untuk melamar ke Bank Indonesia karena ada lowongan disana. Nampaknya lowongan itu, kata orang, didesain untuk saya. Sebab posisi yang ditawarkan adalah pegawai muda dengan syarat Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Syariah dan Ekonomi/Perbankan Syariah. Tiga kali dia minta cv saya, dan saya berikan sebanyak 3 kali pula. Saya tanya balik untuk apa saya melamar disana. Dia bilang gajinya gede. Ah, buat saya itu bukan ukuran kebahagiaan syaikh. Saya sudah happy disini. Semua orang memanggil saya ustaz, dan saya merasa jadi mufti. Perbankan Syariah di Bank Muamalat sudah on the right track, minimal menurut konsep saya.
Dia ngga mau nyerah. Dia bilang fasilitasnya banyak kang, dan lebih bergengsi. Saya jawab, itu juga bukan ukuran buat saya. Saya akhirnya bilang dalam Bahasa Arab Hatini sabab wahid yadfa’uni an antaqil ilayha (Berikan saya alasan khusus yang membuat saya mau pindah kesana). Syafii tercenung dan terus pergi karena ada urusan lain. Ia datang untuk ketiga kalinya dan memberikan jawaban yang kali ini membuat saya menyerah. Katanya, kalau akang kerja di Bank Muamalat, yang menerima ilmu perbankan Syariah cuma pegawai di Bank Muamalat. Sedangkan kalau kerja di Bank Indonesia, maka akang akan menyebarkan ilmu itu ke seluruh Indonesia. Cabang (perwakilan) BI ada dimana-mana di seluruh Indonesia. Istilah Gus Dur saat itu, akang jadi Guru Bangsa.
Sekali lagi saya minta izin kepada ibu, sekaligus mohon doa beliau. Sekali lagi beliau meminta saya istikharah. Saya ingat salah satu isyarat yang saya peroleh dalam mimpi adalah saya naik bis PPD no 213 jurusan Kampung Melayu -Grogol, dan turun di Bank Indonesia, Jalan Thamrin. Padahal bis yang saya naiki setiap kali pulang kerja itu tidak lewat Jalan MH. Thamrin, tapi lewat Jalan Sudirman dan berputar di Air Mancur depan Hotel Indonesia. Lalu kami biasanya turun di Pondok Jati dan berikutnya naik KRL ke Bekasi. (Kata Edi Setijawan, Treasury Bank Muamalat, yang juga tinggal di Bekasi dan pengguna jasa bis yang sama: Kang itu mimpinya unik, naik bis 213 yang penumpangnya cuma 50 orang. Lah, kan bejubel begitu masak isinya cuma 50 orang tanya saya. Ya, selebihnya copet! Haha)
Bank Indonesia kemudian memanggil saya untuk tes dan wawancara. Tes tertulis meliputi Bahasa Inggris, Ekonomi Syariah dan Psikotes. Sedangkan wawancara terdiri dari bahasa Arab dan Ekspektasi. Wawancara terakhir dilakukan dengan pewawancara Achjar Iljas dan Harisman. Dua nama yang kemudian menjadi orang-orang yang melegenda dalam perbankan Syariah. Dari 9 orang peserta yang direkrut hanya tiga yang dianggap lulus. Saya, Setiawan Budi Utomo dan Muhammad Hatta. Yang terakhir mundur karena tidak lulus tes Kesehatan.
Karena ini rekrutmen khusus kami tidak dimasukkan dalam program kelas seperti dalam Pendidikan Calon Pegawai Muda (PCPM) – yang di perbankan disebut Officer Development Program. Kami langsung diminta ikut terlibat kerja kegiatan kantor. Saat itu Bank Indonesia sudah membentuk tim yang diberi nama Tim Penelitian dan Pengembangan Perbankan Syariah (TPPBS) di bawah Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPnP). Tugas intinya adalah penelitian dan pengembangan bank Syariah meliputi masalah operasional, legal, pengatuan dan sosialisasi. Dari tim ini lahir banyak produk monumental seperti Survey Preferensi masyarakat tentang bank Syariah (terutama pandangan tentang bunga bank). Lalu ada Data Perbankan Syariah. Juga Blue Print Pengembangan Bank Syariah diiringi dengan Outlook yang waktu itu perbankan nasional juga belum punya. Dari sini lahir tokoh-tokoh yang kemudian jadi legend di Perbankan syariah seperti Harisman, Hatief Hadikoesoemo dan Mulya E. Siregar.
Enam bulan kemudian kami dianggap selesai On The Job Training dan diminta menulis artikel sebagai tugas akhir. Karena sering menghadapi masalah dalam pengembangan produk, saya menulis artikel dengan judul Problem Pengembangan Produk dalam Perbankan Syariah. Paper ini dinilai sangat baik oleh tim penguji dan diusulkan masuk jurnal terbitan Bank Indonesia. Tulisan itu kemudian muncul pada Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, Volume 2 (3), Tahun 1999.
Karena DPnP berada dibawah kordinasi Deputi Gubernur Subajo Joyosumarto, (another legend) maka beliaulah yang banyak memanfaatkan TPPBS ini untuk menyiapakan bahan pidato dan Keynote berbagai seminar dan lokakarya. Saking seringnya tim ini diminta membuat bahan pidato, saya memplesetkannya menjadi Tim Pembuat Pidato Bapak Subarjo. Kontan atasan saya langsung, Nasirwan Ilyas, ketawa getir. Bos kecil asal Jambi (tapi orang Padang) yang selalu berbahasa Indonesia baik dan benar ini berkomentar pendek. Itu sudah merupakan konsekwensi tugas.
Komite Ahli Pengembangan Perbankan Syariah
Dalam Undang-undang tidak disebut bahwa Bank Indonesia harus memiliki Dewan Syariah. Tapi hajat tentang hal ini terlalu besar untuk dibiarkan. Akhirnya Deputi Gubernur memanggil Tim Syariah untuk mengusulkan pembentukan apa yang disebut Komite Ahli Pengembangan Perbankan Syariah. Komite ini bertugas menganalisis ketentuan BI mengenai perbankan syariah. Muncullah nama-nama Noercholis Madjid, Yusril Ihza Mahendra, KH. Maruf Amin, Dr. Anwar Ibrahim dan Karnaen Perwataatmadja. Saya mengusulkan nama Syafii Antonio karena lebih paham soal operasional bank Syariah daripada tokoh-tokoh itu. Usul saya diterima dan empat tahun kemudian saya dan Syafii reuni kembali secara reguler di Bank Indonesia.
Sosialisasi
Salah satu tujuan utama direkrutnya orang Syariah adalah mendampingi BI dalam melakukan sosialisasi perbankan syariah. Maka tidak heran baru beberapa bulan diangkat saya sudah diminta mendampingi Pak Subarjo untuk menjadi pembicara seminar AAIFI di Bahrain. Tugas saya adalah penterjemah kalau ada forum yang dilaksanakan dalam bahasa Arab. Terutama saat lunch dan dinner dimana para VIP dari berbagai negara Timur Tengah berkumpul dalam satu meja. Mereka ngobrol dalam bahasa Arab sementara pimpinan kita cuma bengong karena tidak mengerti apa yang mereka obrolkan. Disinilah kompetensi Arabic kita sangat membantu.
Subarjo sangat aktif melakukan sosialisasi bank Syariah. Beliau sangat suka mengunjungi acara yang ada para ulamanya. Tujuannya adalah mendengarkan pendapat mereka tentang bank syariah. Karena itu beliau minta didampingi juga oleh ulama. Saya mengusulkan KH. Maruf Amin dan beliau setuju. Karena selain pemahamannya yang lebih maju tentang perbankan ketimbang ulama lainnya, beliau juga dihormati di kalangan pesantren dan ormas Islam. Sedangkan sosialisasi di kalangan kampus ditangani oleh TPPBS.
Tahun 2004, setelah TPPBS naik menjadi Departemen (sebelumnya Biro, pada tahun 2002), DPbS menyusun ulang sosialisasi dengan mengutamakan TOT (Training of Trainers) Perbankan Syariah, selain lokakarya dan seminar. Saya mengusulkan agar memetakan universitas-universitas yang jadi sasaran TOT berdasarkan wilayah dan regional. Satu bulan sekali dilakukan TOT dengan universitas negeri sebagai anchor dan universitas swasta sebagai undangan. Tahun berikutnya UIN dan STAIN beserta undangan. Baru tahun 2006 Pesantren dan Guru Madrasah menjadi sasaran berikutnya. Perbankan Syariah jadi marak dan bahan pembicaraan akademisi. Harapan bahwa mahasiswa mereka menulis skripsi dan melakukan penelitian tentang perbankan Syariah menjadi kenyataan
Belakangan dengan dibentuknya Marketing Group, program sosialisasi disertai dengan strategi flanking (pendampingan). Yaitu pendampingan pada pameran produk riil. Misalnya pameran komputer di Yogyakarta disertai dengan info pembiayaan dari bank syariah di pameran yang sama. Lalu pameran perumahan dan pameran otomotif di Jakarta. Momen terbesar sosialisasi adalah ketika BI membiayai pembuatan film Negeri Lima Menara yang membuat pesantren menjadi populer di masyarakat.
Pembicara
Selama berbakti di Bank Indonesia saya lebih dikenal sebagai trainer. Karena itu pernah dianugerahi predikat Best Trainer bersama 5 orang lainnya. Tidak terhitung banyaknya saya menjadi trainer perbankan Syariah. Demikian juga dalam hal seminar dan lokakarya. Tapi yang berkesan adalah menjadi pembicara di luar negeri yang terhitung banyak juga
Yang paling berkesan adalah ketika pada tahun 2003 ada call for paper untuk seminar on Islamic Banking yang diadakan oleh Monash University Malaysia di Prato, Italia. Para senior di Bank Indonesia mengajukan usulan untuk ikut seminarnya termasuk mengusulkan Deputi Gubernur agar hadir bersama. Iseng-iseng saya menulis usulan abstrak dan mengirimnya via email. Tanpa diduga abstrak saya diterima dan panitia meminta agar saya melanjutkannya dengan menulis paper. Sayapun menulis paper lengkap.
Tapi saya lupa bahwa untuk hadir kesana harus pakai uang sendiri. Paper sudah selesai ketika saya forward ke Pak Hatief Hadikoesoemo, Kepala Biro Perbankan Syariah teriring pertanyaan, apakah saya dapat memperoleh izin perjalanan dinas kesana? Hatief tidak menjawab tapi mencetak email saya dan membawanya ke Mulya Siregar, Kabag Penelitian waktu itu. Hatief berkata: Gua mau anak ini berangkat ke Italy. Cariin anggarannya. Maka berangkatlah saya ke Italy jadi pembicara seminar internasional. Yang jadi peserta justru Deputi Gubernur dan 2 pegawai seniornya.
Buku
Jarang-jarang ada praktisi yang menulis buku, kata orang. Bener juga. Kalau ngga dipaksa maka sayapun tidak akan pernah menulis. Alkisah tahun 2004 saya diminta menulis artikel tiap minggu tentang ekonomi Syariah di Tabloid Abadi milik Partai Bulan Bintang. Isinya sedikit, cuma 500-600 kata. Wah ini pengebirian namanya. Bagaimana mungkin saya menjelaskan tiap topik dalam ekonomi Syariah dengan kata-kata yang sedikit. Tapi itulah tantangan.
Lalu dengan disiplin saya menulis. Mulai dari perbankan, asuransi, pasar modal, pasar komditi, pegadaian, modal ventura, zakat perbankan, wakaf, budaya syariah dan lain-lain. Ada artikel yang dijadikan favorit oleh rekan-rekan perbankan, yaitu cash flow ala Betawi. Setahun kemudian selesai. Tulisan itu saya copy dan jilid. Saya juga membackupnya dengan flashdisk dan icloud.
Tujuh tahun kemudian datanglah para dosen STAI Haji Agus Salim Cikarang dengan membawa print out tulisan-tulisan itu. Mereka usul agar tulisan itu diterbitkan jadi buku. Lalu dicarilah penerbitnya sedangkan saya mencari biayanya. Tahun 2011 buku saya terbit dengan judul Belajar Mudah Ekonomi Islam dengan pengantar dari Mulaman Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Gagal Sekolah
Pertengahan 2003 saya mencari informasi mengenai program doktoral di berbagai universitas di Australia. Keinginan untuk menuntaskan sekolah ke level tertinggi masih kuat. Lagipula ada beasiswa kantor untuk belajar setelah bekerja leih dari 3 tahun. Saya mencari universitas yang kira-kira ada pembimbing yang ngerti tentang perbankan syariah. Lalu saya ikut TOEFL dan lulus dengan nilai 350 dari 500. Artinya cukup syarat untuk ikut kuliah di Aussie. Tapi sayangnya jawaban dari Monash University terlambat sehingga saya baru bisa mengajukan beasiswa kantor dengan bukti penerimaan (enrollment offer) pada bulan Februari 2004. Artinya saya terlambat dua bulan. Jawaban dari SDM bisa ditebak. Anda sudah melewati usia 40 tahun jadi maaf, sesuai aturan yang berlaku, anda tidak disetujui. Saya shock, karena jerih payah saya selama ini berjuang mengembangkan perbankan Syariah seperti tidak berarti apa-apa.
Saya berusaha menghubungi Hatief Hadikoesoemo yang saat itu sudah pindah ke SDM. Saya berharap komitmennya kepada syariah bisa memperjuangkan saya untuk dapat dispensasi kelebihan usia. Tapi dia lagi-lagi mengarahkan anak buahnya untuk menjawab sesuai prosedur.
Harisman selaku direktur mengusulkan agar saya membuat permohonan kepada Deputi Gubernur yang membidangi DPbS, Ibu Siti CH. Fadjrijah.Seminggu kemudian jawaban atas permohonan saya turun. Silakan ikuti sesuai prosedur yang ada. Singkat tapi menghunjam.
Saya lalu teringat cerita beberapa senior dan rekan-rekan di BI yang dengan mudah memperoleh dispensasi studi. Ada yang telat, dari program 4 tahun menjadi 6 tahun. Ada yang dipercepat, seharusnya bakti dulu setelah master selama 3 tahun, tapi baru 3 bulan pulang sudah berangkat lagi. Ada yang malah memaksa setelah master langsung sekolah lagi. Saya masih ingat kata-katanya yang diucapkan ke saya dalam Bahasa Inggris, I told them (directors and deputies) that I should go further with Ph.D program. With or without your permission.
Pelajaran yang bisa diambil: Jangan pernah berharap kebaikan dari orang lain atas kebaikan yang telah kita berikan.
***
Bersama para Ulama
Pasca pergantian direksi, Bank Muamalat seperti memiliki semangat baru. Semangat yang berbeda dengan manajemen sebelumnya. Semangat ini bertemu dengan situasi pasar yang ikut semarak ingin mengembangkan ekonomi syariah. Diantaranya adalah Danareksa yang saat itu (1998) dipimpin oleh Iwan P. Pontjowinoto.
Danareksa mengumumkan bahwa sudah melepas produk bernama Dana Syariah. Tapi kemudian menghubungi Kementrian Keuangan untuk ikut mensosialisasi dalam bentuk Lokakarya. Bank Muamalatpun dihubungi untuk ikut jadi panitia. DIrektur Utama Zainul Arifin menugaskan Adiwarman A. Karim dan Cecep Maskanul Hakim untuk ikut serta dalam kepanitiaan. Lalu Panitia bertemu Komisi Fatwa MUI agar lokakarya ini bisa menghasilkan fatwa tentang Reksa Dana. Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Maruf Amin lalu membentuk panitia khusus lokakarya ini. Adiwarman dan saya ikut dilibatkan bersama Kanny Hidaya dari Danareksa.
Atensi public luar biasa besar. Hampir semua direksi lembaga keuangan hadir. Keynotenya langsung oleh Kepala Bapepam saat itu, I Putu Gede Ary Suta. Gubernur BI Sudrajad Jiwandono juga ikut memberikan paper. Kesimpulan dan rekomendasi lokakarya kemudian diteruskan menjadi fatwa. Juga mendirikan lembaga fatwa khusus dibawah MUI untuk masalah perbankan dan ekonomi syariah agar tidak terjadi tabrakan fatwa oleh para DPS di lembaga keuangan syariah. KH. Maruf begitu yakin bahwa bank syariah akan banyak berdiri dan karenanya akan banyak DPS yang diangkat. Jika mereka diberikan wewenang untuk berfatwa maka akan terjadi fatwa yang berbeda-beda terhadap suatu produk. Untuk mereka, akan diberikan wewenang untuk memberikan opini sesuai fatwa.
Dewan Syariah Nasional resmi dibentuk pada tahun 1998 tapi baru dilantik setahun sesudahnya. Yang melantik langsung Menteri Agama saat itu, Prof. Dr. Malik Fajar. Saya dimasukkan di bidang perbankan bersama Adiwarman, sedangkan Kanny Hidaya di bidang pasar modal. Tidak lama kemudian masuk Hasanuddin, Prof. Ali Mustafa Yaqub dan Muhammad Hidayat (Bank Muamalat).
Gebrakan pertama DSN adalah memfatwakan produk-produk dasar perbankan Syariah. Dengan bantuan Bank Indonesia dan bahan-bahan dari Bank Muamalat, DSN berhasil menyusun 11 fatwa tentang produk yang perbankan Syariah meliputi Penghimpuanan dana, Penyaluran dana dan Jasa. Tidak lama kemudian asuransi Syariah ikut meminta dukungan fatwa atas produk yang dijual kepada masyarakat. Dua tahun kemudian Obligasi Syariah mulai diterbitkan melalui fatwa tersendiri.
Menyusun SIlabus Pelatihan DPS
Tahun 2008 Bank Indonesia menyepakati usulan DSN untuk memberikan pelatihan kepada calon DPS. Karena sering terjadi DPS yang diusulkan Lembaga keuangan Syariah hanya paham mengenai masalah Syariah. Bahkan ada yang ahli hanya pada masalah ibadah. Mereka diusulkan oleh Lembaga hanya karena mereka tokoh masyarakat untuk tujuan marketing.
KH Maruf Amin menugaskan saya dan Kanny Hidaya untuk menyusun kurikulum pelatihan dengan durasi 3 hari kerja. Isinya terutama tentang pengawasan, meskipun ada pengantar tentang fatwa dan produk. Lalu ada studi kasus dan simulasi pengawasan.
Hasilnya fenomenal. Para ulama yang sudah jadi DPS dan dilatih ulang pun merasa terbantu. Mereka jadi mengerti teknik pengawasan dan pemeriksaan (sekarang pakai istilah audit) tentang akad-akad syariah yang dibuat oleh bank dan lembaga keuangan lainnya. Akibatnya bank-bank yang diaudit mengeluhkan kepada Bank Indonesia adanya temuan-temuan masalah Syariah yang selama ini tidak pernah diungkap. Kali ini para pengawas di Bank Indonesia merasa puas, karena selama ini mereka tidak pernah mendapat informasi masalah syariah di bank-bank syariah.
Menyusun format Wawancara
Sejalan dengan penyusunan Silabus Pelatihan DPS, saya diminta oleh pimpinan untuk menyusun format wawancara DSN. Selama ini wawancara calon DPS dilakukan seperti ujian lisan calon sarjana. Beberapa ulama seniot merasa tersinggung diwawancarai oleh anggota DSN yang dianggapnya masih bocah.
Untungnya saya pernah ikut Pelatihan Pewawancara Bersertifikasi oleh Bank Indonesia. Juga pernah mewawancarai calon direksi BPRS. (Saya dianggap belum cukup umur untuk mewawancarai calon direksi bank umum, alias jabatannya kurang tinggi). Semua Standar, metode dan teknik wawancara di BI saya copy paste untuk wawancara DPS di DSN. Karena itu pelaksanaan wawancara jadi lebih “manusiawi” walaupun hasilnya tidak kurang tajamnya. Misalnya selevel Komarudin Hidayat, Rektor UIN, saja tidak lulus. Tapi dia puas karena memahami kekurangannya. Beliau kemudian lulus seleksi kedua karena telah ditraining dan diberikan studi kasus berkali-kali oleh tim pengajar DSN.
Terima kasih DSN
Saya menjadi anggota Badan Pelaksana Harian (semacam badan pekerja) DSN selama 17 tahun. Selama itu pula hubungan antar anggota dan hubungan antar Lembaga baik dan bersahabat. Tapi belakangan suasana berubah. Karena suasana yang sudah tidak kondusif, saya mengajukan pengunduran diri dari DSN. Kali ini KH. Maruf Amin menerima pengunduran diri saya, setelah bertanya sampai tiga kali. Tapi keputusan saya sudah bulat, karena saya tidak mau terlibat dalam praktek tidak sehat akibat perkawanan, asobiyah organisasi dan sikap otoriter ilmiah yang tidak menerima kritik. Saya ketahui sebelumnya ada teman-teman dari BPH yang datang menemui Anwar Basori, Direktur Eksekutif DEKS. Mereka membicarakan pemindahan saya dari BPH ke Dewan Pleno atas dasar over capacity (?) saya di BPH. Anwar yang lugu dan tidak mengerti tentang DSN menerima saja usulan itu dan mengusulkan pengganti yang mewakili Bank Indonesia di BPH-DSN.
Sebelumnya saya pernah meminta pengunduran diri. Ceritanya pimpinan berencana menyusun pengurus baru BPH dan Pleno. Lalu muncul nama calon anggota yang sering melakukan hal tidak etis di dunia keuangan. Hal ini dikhawatirkan akan merusak reputasi DSN. Sepakat rekan-rekan mengusulkan agar nama orang ini tidak dimasukkan. KH Maruf akhirnya menerima usulan teman-teman dan calon tersebut batal masuk BPH. Saya akhirnya batal mengundurkan diri.
Tidak disangka penolakan itu berakibat fatal. Rupanya orang dibalik pengusulan calon tersebut adalah salah seorang pimpinan tinggi di tempat saya bekerja. Kedekatan mereka terjadi karena sang calon adalah rekan sesama pengurus pusat di Masyarakat Ekonomi Syariah. Akibatnya ketika ada promosi di tempat kerja, nama saya tidak termasuk dalam daftar. Semua rekan kerja heran, dan menyayangkan keputusan SDM ini. Ketika ditanya apa sebabnya, saya jawab tidak tahu. Saya hanya bisa menjawab dengan doa setelah shalat yang berbunyi
Allaahumma laa mani’a limaa a’thaita, wa laa mu’tia limaa mana’ta, walaa roodda lima qadhaita wa laa yanfau zal jaddu minkal jad.
"Ya Allah tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak ada yang bisa menolak ketetapan Mu. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya. Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan"
***
Mampir di OJK
Akibat manuver politik para anggota DPR terhadap kasus Bank Century, undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan akhirnya disahkan pada tahun 2013. Akibatnya urusan perbankan harus diserahkan kepada OJK termasuk perbankan syariah. Pada awal tahun 2014 Pegawai BI yang menjadi pengawas, peneliti dan analis, mulai dari direktur sampai sekretaris harus ditempatkan disana maksimal 3 tahun. Setelah itu akan diberikan pilihan apakah terus di OJK atau kembali ke Bank Indonesia.
Para pegawai penempatan gembira karena secara honor mereka bertambah sebanyak setengah kali gaji. Tapi mereka lupa bawa gaji standar mereka dibayar oleh Bank Indonesia. Sehingga beban biaya SDM OJK sebenarnya hanya setengah saja yang merupakan tambahan. Berbeda dengan Bank Indonesia yang berhak menyusun sendiri anggarannya dan cukup memerlukan persetujuan DPR, anggaran OJK ditentukan oleh Kementrian Keuangan. Terbukti kemudian ketika anggaran kementrian keuangan belum turun ke OJK (karena keterlambatan persetujuan DPR), sebagian besar pegawai asli OJK yang bukan penempatan dari BI langsung berteriak. Sebab gaji sudah terlambat sebulan.
Tapi the show must go on kata orang. Perbankan Syariah juga tidak kurang prestasinya. Seperti aturan tentang gadai Syariah untuk perbankan muncul ketika sudah ada OJK. Juga kodifikasi produk perbankan Syariah yang merupakan revisi dari aturan di BI pada tahun 2006. Konversi BPD Aceh ke Bank Syariah Aceh dan BPD NTB ke Bank Syariah NTB juga terjadi pada tahun 2016.
Saya terlibat dalam semua aktivitas itu kecuali yang terakhir. Perjalanan dinas ke Aceh dan NTB (juga untuk pengawasan luar kota) tidak boleh diberikan kepada pegawai penempatan yang memilih kembali ke Bank Indonesia. Saya termasuk di dalamnya. Ketika pilihan itu ditawarkan, apakah akan terus menjadi pegawai OJK atau Kembali ke BI, pada akhir 2015, saya kembali istikharah. Setelah bermalam-malam melakukannnya, isyarat itu muncul juga pada saat terakhir. Saya bermimpi menjadi pembiacara di Bank Indonesia dan dijemput oleh rekan Irfan Syauqi Beik (Phd Economics, IIUM-sekarang dekan FEB IPB) menggunakan Nissan Serena berwarna putih. Lalu membawa saya ke Bank Indonesia dan menuntun ke sebuah kubikel. Saya bertanya, mengapa saya ditempatkan disini, kan saya mau jadi pembicara. Jawab Irfan, Lah Akang kan memang kerja disini. Saya tersadar dari mimpi dan merasa yakin, inilah isyarat untuk saya untuk kembali ke Bank Indonesia.
***
Angota Dewan Standar, Tapi Bukan Akuntan
Saya masih di Bank Muamalat (1999) ketika diminta menjadi peserta undangan pembahasan untuk Dewan Standar Akuntansi Indonesia (DSAI) Ikatan AKuntan Indonesia yang sedang menyusun standar akuntansi keuangan syariah. Disebut peserta undangan karena saya bukanlah akuntan dan juga bukan anggota IAI. Saya diundang untuk menjaga gawang Syariah bagi standar transaksi perbankan syariah yang sedang disusun.
Meskipun ketua Dewan Standarnya, Istini Sidharta non muslim, tapi pembahasan standar akuntansi perbankan Syariah Menyusun standar akuntansi, Pedoman Standar Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia.
Ketika Jusuf Wibisana diminta menjadi Ketua Dewan Standar, pada tahun 2005 ia membuat kompartemen khusus dengan nama Dewan Standar Akuntansi Syariah disngkat DSAS. Saya dan Dewi Astuti dari Departemen Perbankan Syariah mewakili Bank Indonesia. Sekali lagi gebrakan besar dalam perbankan dan ekonomi syariah dilakukan. Kali ini di bidang akuntansi.
Jusuf Wibisana menginginkan DSAS menyusun ulang kerangka berfikir akuntansi untuk keuangan Syariah. Karena itu DSAS kemudian menyusun GASAP (General Accepted Sharia Accounting Principle) sebagai kerangka berfikir akuntansi Syariah yang akan disusun. Lalu menyusun standar akuntansi baru dengan nomor berbeda yang dimulai dari 100. Misalnya, PSAK Penyajian Laporan Keuangan Syariah, PSAK 102 adalah Akuntansi Murabahah dan seterusnya.
Sekali lagi, buat saya ini adalah perubahan yang radikal. Karena hampir semua negara belum pernah mengadopsi akad syariah bulat-bulat dalam praktek Akuntansinya. Bahkan Malaysia merasa tidak perlu membuat standar tersendiri untuk produk bank Syariah di Malaysia. Mereka menganggap semua pengakuan sama, karena bagaimanapun produk itu adalah produk keuangan. Mereka hanya mengeluarkan standar akuntansi Ijarah dan Ijarah Tsumma Al Bai.
Saya harus berhenti pada pembahasan PSAK 110 Akuntansi Sukuk karena keanggotaan saya selesai pada tahun 2015 dan tidak dapat diperpanjang. Pertama karena sudah dua periode (10 tahun) dan kedua karena satu lembaga hanya boleh diwakili 1 orang. Kebetulan saat itu Dewi Astuti yang sama-sama menjadi anggota sejak 2005 dicalonkan kembali mewakili DPbS (OJK).
***
Menyusun penerbitan sukuk
Tahun 2002 Iggi Haruman Achsien salah seorang dealer di AAA Securities mendatangi DSN. Bersamanya ikut direktur keuangan Indosat, Junino Jahja dan timnya. Mereka berencana menerbitkan Obligasi Mudharabah disamping Obligasi konvensional sekitar 2 bulan kemudian. Besarnya tidak banyak, sekitar 30% dari total penerbitan Rp. 600 milyar. Jumlah yang lumayan fantastis saat itu. Mereka meminta fatwa dan DPS untuk penerbitan ini.
DSN merespon cepat terhadap perkembangan ini dengan menerbitkan fatwa induk tentang obligasi syariah dan fatwa khusus tentang obligasi Syariah Mudharabah. Untuk DPS, karena payung hukum DPS belum ada untuk obligasi Syariah maka DSN memutuskan agar menunjuk Tim Ahli Syariah (TAS). Status TAS ini lembaga pendukung seperti Notaris, Akuntan Publik. Konsultan Hukum dan Perusahaan Penilai. Anggotanya adalah orang-orang DSN yang secara aturan tidak boleh menjadi DPS yaitu Cecep dan Setiawan. Tambahannya adalah orang yang membidangi pasar modal, Kanny Hidaya.
Sebelum penerbitan, direksi mengajak semua yang terlibat ikut studi banding ke Malaysia. Dari TAS hanya saya yang disertakan. Inilah pertama kali saya mengunjungi kembali negara jirang yang memberi saya titel Master of Economics dan keluarga tersayang.
Kami mengunjungi Securities Commission Malaysia (semacam Bapepamnya Malaysia) yang gedungnya sudah pindah ke Bukit Kiara dekat Segambut, tempat saya dan keluarga tinggal dulu, waktu kuliah. SCM mengapresiasi Indosat yang menjadi pioneer penerbitan obligasi Syariah (di Malaysia sudah disebut Sukuk). Tapi mereka tidak yakin dengan efek yang akan diterbitkan karena menggunakan akad Mudharabah, dimana tidak boleh ada jaminan terhadap modal dan keuntungan. Mereka khawatir pasar akan lari dari keuangan Syariah akibat ada kerugian dan mereka harus ikut menanggungnya.
Kekhawatiran itu tidak terbukti dan public expose Obligasi Syariah Mudahabah Indosat ternyata over subscribe. Bisa jadi karena rating Indosat yang tinggi (AAA) karena reputasi yang baik sebagai sebuah perusahaan telekomunikasi.
Penempatan saya sebagai TAS pada setiap penerbitan obligasi Syariah berlangsung hampir 15 tahun. Setiap ada yang menerbitkan obligasi Syariah (kemudian berubah Namanya dengan sukuk, ssuai UU no 19 tahun 2006 tentang SBSN). Lalu berakhir dengan kepindahan saya ke Badan Pleno atas usulan teman-teman BPH kepada Bank Indonesia.
***
Berdiri Diantara Tokoh Internasional
Islamic Financial Service Board (IFSB) didirikan pada tahun 2002. Peresmiannya dilaksanakan di Washington DC, Amerika Serikat. Dari Bank Indonesia hadir Achjar Iljas, Deputi Gubernur, yang sudah secara pribadi sudah seperti ayah sendiri, saking sukanya dia pada orang Syariah. Di Biro Perbankan Syariah mulai beredar nama saya untuk menjadi Committee Member. Tapi kemudian buyar ketika nama saya diajukan ke Sekjen IFSB pertama, Zeti Akhtar , Gubernur Bank Negara Malaysia berkomentar singkat dalam forum bincang-bincang antar Governor: I think he is too junior. (masih muda banget ya ?) Lalu para direktur di BI bergiliran jadi anggota committee. Sedangkan nama saya tidak pernah muncul lagi.
Baru pada tahun 2007 saya dipanggil oleh Mulya Siregar untuk ditugaskan menjadi anggota Working Group ketentuan IFSB yang sedang dibahas, yaitu Sharia Governance dan Market Conduct. Keanggotaan ini dilakukan secara tandem Bersama Ali Sakti (M.Ec, IIUM) yang sudah bergabung di DPbS sejak tahun 2005. Working Group ini bertemu setiap 3 bulan sekali di negara yang berbeda. Kadang di Kuala Lumpur, Maldives, Switzerland, Mauritius dan terakhir di Bali. Hasil akhir working group ini adalah IFSB Guidance no. 9 Guiding Principles on Conduct of Business for Institutions offering Islamic Financial Services dan Guidance no 10 Guiding Principles on Sharî`ah Governance Systems for Institutions offering Islamic Financial Services yang dapat dilihat di www.ifsb.org
Setelah kembali ke Bank Indonesia, tahun 2018 saya ditugaskan kembali oleh Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) untuk menjadi anggota joint working group IFSB-AAOIFI untuk Revised Governance Standard. Dari seluruh anggota yang tercatat dalam working group saya adalah satu-satunya anggota tersisa dari Working Group sebelumnya pada tahun 2007-2009. Jadi selama pembahasan sampai pensiun saya menjadi referensi bagi para anggota group tentang memory pactuletting penyusunan standar sebelumnya.
Anggota SAC-SCM
Ditahun yang sama diangkat menjadi anggota working group IFSB, saya juga diundang jadi Tim Syariah untuk lembaga lain. Karena saya sering muncul di google sebagai pakar Syariah pasar modal, Nurdin Ngadimun, seorang manajer di Securities Commission Malaysia menghubungi saya. Dia meminta saya untuk menjadi anggota Sharia Advisory Council (SAC) Securities Commission periode 2006-2008. Saya tanya mengapa anda tidak minta Syafii saja. Beliau bilang Syafii sudah diangkat duluan menjadi Sharia Committee Bank Negara Malaysia. Maka sayapun diangkat menjadi anggota Sharia Advisory Council.
Kami diundang rapat sebulan sekali di Kuala Lumpur. Untuk yang mancanegara seperti saya dan ustaz dari Brunei mereka sediakan tiket pesawat dan penginapan. Dari rapat-rapat ini saya mengerti perbedaan tentang kriteria Islamic Securities antara Malaysia dan Indonesia. Yang paling ketara adalah Malaysia belum berani menerapkan rasio DER (Debt to Equity Ratio) dalam pemilihan (screening) efek perusahaan sedangkan DSN sudah menerapkannya sejak tahun 2000. Kesamaan Malaysia dan Indonesia ada pada core business perusahaan yang tidak boleh ada non halal incomenya melebihi 15%. Baik Indonesia maupun Malaysia menganut adanya pemisahan /pemotongan profit atas usaha non halal (apabila ada).
Menjadi Anggota Sharia Committee IILM
Dua tahun setelah selesai dengan Working Group di IFSB, Mulya Siregar kembali memanggil saya. Kali ini beliau minta saya menjadi anggota Sharia Committee IILM tahun 2011-2013. Saya tanya balik, Pak Mulya yakin saya mampu menjadi anggotanya? Soalnya nama-nama yang diusulkan adalah kaliber di bidangnya. Misalnya Dr. Ahmad Ali Abdullah, Ketua Higher Sharia Council Bank of Sudan. Lalu ada Dr. Muhammad Elgari, Ketua International Sharia Committee HSBC. Terus Dr. Daud Bakar, Sharia Committee Bank Negara Malaysia. Saya mah apah atuh.
Beliau menjawab dalam Bahasa Inggris, please give me any name whose competency like yours or above. You know banking, know sharia, speak both English and Arabic. Lagian ini giliran kita Bank Indonesia jadi anggotanya. Kita tidak bisa menunjuk orang di luar Bank Indonesia. (Syafii Antonio pernah diusulkan Bank Indonesia menjadi Anggota Sharia Council untuk AAOIFI, Bahrain, tapi tidak terpilih)
Tahun 2016 saya dibisiki rekan Jordhy Kashoggy (M.Ec IIUM) yang sudah bergabung di Bank Indonesia sejak 3 tahun berikutnya. Dia bilang Pak Cecep kan mau balik ke Bank Indonesia. Kami udah usulkan ke Pak Gubernur untuk menjadi Sharia Committee IILM peride 2017-2019. Saya bilang kan saya sudah jadi anggota sebelumnya. Dia bilang tidak ada yang punya kompetensi seperti pak Cecep di BI. Sedangkan pak Gubernur maunya dari internal Bank Indonesia. Saya bilang saya istikharah dulu sambil menunggu waktu penempatan di OJK yang akan berakhir sebentar lagi.
Akhirnya pada bulan Juli 2017 saya bertugas lagi sebagai Sharia Committee di IILM untuk kedua kali. Komposisi anggotanya sudah berbeda tapi dengan ketua yang sama, yaitu Dr. Muhammad Algari. Pembahasannya juga semakin rumit karena harus membahas sukuk terbitan sendiri, sukuk terbitan negara, sukuk terbitan korporasi di berbagai negara.
Zakat Core Principle dan Waqf Core Principle
Kembali ke Bank Indonesia dari OJK buat orang perbankan seperti saya bak mengalami disorientasi. Biasa mikirin perbankan dari soal kecil sampai segede gaban. Tapi itu tidak lama karena ada legend-legend yang mengajak berfikir dan bekerja untuk pengembangan keuangan Syariah. Kali ini Dadang Mulyawan, sang suhu ekonomi Syariah yang mengajak menyusun Technical Notes untuk Core Principles for Effective Zakat Supervision, yang popular dengan Zakat Core Principle.
Zakat Core Principle merupakan standar zakat yang disusun oleh perwakilan 16 lembaga di negara muslim dan non muslim. Disahkan di Istambul pada tahun 2015 sebagai standar pengaturan untuk Lembaga zakat yang meliputi landasan hukum, Supervisi zakat, Tata kelola zakat, Fungsi intermediasi, Manajemen risiko, Kesesuaian Syariah. Referensi dari penyusunan ZCP diambil dari fiqih zakat, sedangkan untuk keuangannya diambil dari Basle Core Principle. Dari ZCP ini ada aturan turunan yang harus disusun. Ada 3 technical notes dimana saya terlibat di dalamnya yaitu Risk Management, Sharia Compliance dan Audit.
Sedangkan untuk Waqf Core Principle pembahasan dilakukan dari awal tapi tidak sempat mengikuti penyusunan Technical Notesnya. Tapi sempat mengikuti launching WCP itu di Bali bersamaan dengan Pertemuan Tahunan IMF. Tadinya yang launching adalah Gubernur BI dan KH. Maruf Amin. Tapi karena Pak Kiai sudah ditetapkan jadi cawapres, beliau tidak bisa dihubungi. Semua nomor telpon diblokir termasuk nomor saya dan protocol BI. (Ampun dah). Akhirnya dari DSN hadir Buya Anwar Abbas selaku Wakil Ketua Umum.
Tapi kekecewaan itu terobati dengan terbitnya Cash Waqf Link Sukuk, dimana Bank Indonesia terlibat sebagai Lembaga pengaturan. Sukuk ini diterbitkan pemerintah dengan menggunakan dana wakaf. Manfaatnya (keuntungan dalam sukuk komersial) diberikan Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk Rumah Sakit Mata, Kerjasama BWI dan Dompet Duafa. Cash waqaf yang dananya dikembalikan kepada wakif merujuk kepada pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa Wakaf uang tunai dapat bersifat sementara (muaqqatah). Semangat mengembangkan sukuk berbasis wakaf ini sangat tinggi bahkan oleh kalangan perbankan yang berpotensi menjadi LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang). Sayangnya hanya dua bank Syariah yang ditunjuk menjadi melakanakn fungsi itu.
Lalu pandemic datang dan membunuh semua aktivitas dan kreatifitas. Kita disuruh stay at home dan hanya boleh keluar kalau ada keperluan mendesak. Pelatihan dan seminar dilakukan via daring alias dalam jaringan alias onlen.
***
Alumni IIUM, Ceritamu Dulu
Saya sudah jadi ketua Alumni IIUM Indonesia Chapter sejak IIUM belum mengeluarkan kebijakan standar tentang Alumni Chapter Establishment. Waktu itu namanya Ikatan Alumni IIUM di Indonesia disingkat Ilmuna. Pemilihannya dilakukan di puncak, tepatnya di Wisma Khadimul Ummah, Cipanas, milik MUI, tanggal 17 Agustus 2009. (Kata Khairul Fuad, MHS -yang akrab dipanggil Kopi O- alumni IIUM Indonesia seperti kehilangan rasa nasionalisme. Masak sih orang lain merayakan HUT RI dia malah jalan-jalan ke puncak. Wkwkwk). Panitia menghubungi IIUM untuk bisa hadir dalam pemilihan itu. Tidak dinyana ternyata undangan itu dipenuhi dan mereka mengirim Dr. Shukran dari A&R.
Kegiatan Alumni lumayan aktif, misalnya reuni 3 bulanan dan Halal Bihalal. Lalu ada permintaan resmi agar Alumni IIUM mengadakan konferensi dengan mengundang resmi IIUM sebagai almamater. Rupanya ikatan alumni kita idak diakui oleh kampus walaupun sudah dibentuk 3 tahun sebelumnya dan dihadiri wakil dari IIUM. Lalu ada upaya kasak-kusuk supaya tidak diadakan di Jakarta. Riau diklaim sebagai daerah yang siap menjadi tuan rumah. Saya sudah gembira mendengarnya karena sebentar lagi beban sebagai ketua akan berpindah. Tapi teman-teman alumni dari Riau kemudian membantah. Mereka tidak siap menyediakan keperluan konferensi dan menyambut tamu dari Malaysia. Mereka bilang itu hanya ambisi segelintir orang agar mereka yang jadi ketuanya. Maklumlah IIUM kan banyak proyeknya, dan Ketua Alumni bisa kecipratan tentunya. Lah koq gitu?
Pengalaman kita membuktikan memang ada koq yang coba-coba ngakalin Alumni Chapter. Pernah ada proyek pengadaan toga (convocation robe) dimana alumni IIUM di Indonesia diminta melakukannya atas usulan Prof. Dr. Jamil Othman. Anehnya yang datang kepada kita hanya contoh toga perempuan. Sedangkan toga lelakinya dipegang oleh yang bawa dari KL dengan maksud dia sendiri yang melakukan pengadaan. Jelas saja pengurus menolak karena tidak ada kesepakatan tentang hal ini sebelumnya. Ternyata tidak semua alumni IIUM bisa pegang amanah.
Kongres Alumni pun berhasil dilaksanakan pada bulan Juli 2004. Panitia berhasil menghubungi Prof. Malik Fajar selaku Menteri Pendidikan dan beliau bertemu dengan sobat lamanya, Prof. Dr. Kamal Hassan selaku Rektor IIUM sehari sebelum konferensi. Lalu pembukaan konferensi dilaksanakan di aula kementrian pendidikan dibarengi dengan pameran tentang IIUM. Konferensi memilih Khairul Fuad sebagai formatur. Tapi akhirnya mengundurkan diri dan mengusulkan agar saya menjadi ketua untuk periode pertama. Peserta kongres setuju secara aklamasi. Maka saya menjadi ketua pertama alumni chapter versi IIUM. Seharusnya saya selesai pada tahun 2008, tapi karena setiap kali saya mengundang kongres tidak pernah ada kesepakatan akhirnya ditunda sampai 2016. Kata Luqyan Tamanni (M.Ec) yang lain boleh ganti asal jangan ketuanya. Parah banget ya.
Hal yang paling menyedihkan jadi ketua alumni IIUM adalah menyaksikan almamater yang tidak pernah percaya kepada alumninya sendiri. Padahal hampir setiap kunjungan mereka meminta ketemu dengan alumni dan minta bantuan mereka mensosialisasikan IIUM. Tapi dalam urusan bisnis tetap saja mencari orang lain. Misalnya dalam rekrutmen mahasiswa yang diberikan kepada lembaga lain. Hal yang sama terjadi pada urusan pameran tunggal. Ketika ditanya kenapa seperti itu, mereka menjawab harus professional. Artinya rekanan harus berbentuk perusahaan. Atas dasar itu Alumni Chapter mendirikan perusahaan dengan nama PT. Ilmuna dan segera melaporkan kepada almamater. Tapi IIUM tetaplah IIUM. Mereka lebih percaya kepada orang lain daripada alumninya sendiri. Kepentingan bisnis? Wallahu A’lam. Mari kita tanya pada rumput yang bergoyang.
Hal sama terulang ketika IIUM berencana membuka International School di Jakarta. Mereka menugaskan seorang dosen disana untuk melakukan survey disini. Alumni Chapter sama sekali tidak diinfokan apalagi diminta bantuan. Tiba-tiba ada berita viral bahwa International School di Jakarta gagal dibuka karena yang ditugaskan tidak amanah dan cenderung amoral. Saya sempat dengar dari sohib Zulfan Haidar, bahwa Faisal Sundani hadir di kampus ketika Prof. Kamal Hassan dalam ceramah pembukaan tahun akademi 2011 mengejek oknum itu dengan kata “main cewek”. Anak saya Fitratul Ismah yang hadir sebagai mahasiswa baru tidak terima mendengarnya. Dia bilang Rektor koq nomongnya jorok gitu sih. Itu kan sama dengan ngatain Indonesia tempat jorok.
Well, what can I do? Kata orang Betawi Elu yang berbuat, elu yang makan tapi elu yang salahin orang lain karena sampahnya. Emang enak?
Saya sekali lagi mengundang teman-teman untuk musyawarah alias kongres pada tahun 2016 di Aula Masjid Tazkia Sentul. Masyhudi Muqarrabin (almarhum) yang jauh di Yogya menyempatkan diri hadir untuk menyaksikan pemilihan ketua Alumni Chapter. Pilihan terbanyak jatuh pada Ali Sakti yang karenanya terpilih jadi Ketua. Tapi sampai saat ini IIUM selalu mengontak saya apabila minta bantuan. Entah kenapa.
Wallahu A’lam
Cikarang Barat, Desember 2024
Cecep Maskanul Hakim
Lahir di Bekasi tahun 1964. Lulus Madrasah Aliyah Attaqwa dan Pesantren Tinggi Attaqwa, Bekasi tahun 1986. Menyelesaikan Bachelor of Economics di International Islamic University Islamabad (IIUI) pada 1990 dan Master of Economics di Kuliyah Of Economics and Management, International Islamic University Malaysia (IIUM) pada 1994.
Pernah bekerja di Bank Muamalat, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terlibat dalam penyusunan pengaturan, pengawasan dan pengembangan perbankan dan keuangan Syariah, termasuk dalam bidang fatwa pada Dewan Syariah Nasional (DSN)-Majelis Ulama Indonesia, akuntansi di Dewan Standar –Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Juga pada lebaga internasional seperti Islamic Financial Service Board (IFSB) , International Islamic Liquidity Market (IILM) dan Securities Commission Malaysia
Setelah pensiun, aktif sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di BTPN Syariah Ventura dan Dewan Penasehat Syariah di BP Tapera. Aktif di bidang sosial sebagai Ketua Yayasan Perguruan Islam Almamur dan Pengawas di Islamic Center Bekasi. Karyanya dalam bentuk buku berjudul Belajar Mudah Ekonomi Islam.
No comments:
Post a Comment