Pages

Tuesday, April 20, 2010

Ngkong Saolin, Sang Administratur yang Tak Tergantikan

Pertama masuk pondok pesantren pada tahun 1980 saya tertawa mendengar nama Saolin. Terus terang saya teringat Shaolin Temple, biara yang jadi kawah candradimuka para wu-shu-in (pesilat kungfu) di Cina. Film khusus tentang biara itu sendiri dibuat pada tahun 1982 dan dibintangi oleh Jet Li muda. Ternyata yang dimaksud teman-teman adalah nama orang, Saulin Arief atau sehari-hari dikenal dengan panggilan Saolin, yaitu petugas administrasi Yayasan, yang khusus diperbantukan kepada Pimpinan Umum.

Pertama kali melihatnya, ternyata dia memang cocok dengan pekerjaannya. Postur tubuhnya tinggi, kurus dan agak bongkok. Yang terakhir ini mungkin karena sudah tua. Sehari-hari ia memakai pakaian ala werknemers atau klerk, alias pegawai jaman normaal, istilah orang-orang tua untuk jaman penjajahan Belanda). Baju tangan pendek dengan dua kantung yang bertutup, dan di kedua pundaknya ada tali kain yang berkancing, tempat meletakkan pangkat atau peci/baret. Celananya terbuat dari bahan khaki atau drill (seperti bahan yang digunakan untuk pakaian tentara) dan bermodel beigy, yaitu model jaman Republeiken. Celana model ini berukuran longgar di paha dan kecil di kaki, dengan rempel (lipatan) di pinggang. Diujung bawah celana dirempel ke atas sehingga mirip celana yang digulung. Dan kemana saja ia pergi pasti sebuah peci (songkok) terpasang di kepalanya.

"Sempurna," gumam saya dalam hati. Pengalaman saya dengan guru-guru di sekolah sebelumnya, biasanya orang dengan tipe ini punya disiplin yang tinggi, teguh dalam memegang amanah dan punya ketelitian yang tinggi terhadap hal-hal yang sepele. Dan ternyata dugaan itu benar adanya.

Asal Usul

Tidak banyak diketahui tentang asal muasal Saolin. Yang kita tahu adalah dia itu Asisten Wedana di jaman baehula, ketika Pak Kiai masih jadi Bupati (tepatnya ketua Dewan Pemerintahan Kabupaten Bekasi). Ketika Pak Kiai kembali ke kampung dan memimpin Yayasan, ia termasuk yang diajak untuk berbakti kepada Yayasan. Bisa jadi ia tidak tertarik berkhidmat kepada Yayasan, tapi justru kepada Pak Kiai, karena di jaman itu nama yayasan belum sepopuler nama beliau. Kombinasi Pak Kiai dengan Saolin begitu kompak dan harmonis. Sehingga apabila seseorang melihat Pak Kiai berbicara dengan Saolin di tepi jalan pondok atau di depan kantor Yayasan, pemandangan yang muncul adalah seperti seorang bupati yang tengah berbicara dengan ajudannya.

Soal loyalitas kepada Pak Kiai, jangan ditanya lagi tentunya. Tapi yang mengagumkan adalah kemampuan Saolin mengingat setiap perintah yang disampaikan kepadanya, tanpa dicatat. Berbeda dengan para seretaris dan agendaris sekarang yang selalu mengandalkan notes atau PDA (Personal Data Assistant) di tangannya. Setiap tugas yang diminta, dikerjakannya dengan rapih dan tepat waktu, tak perduli sesibuk apapun ia setiap harinya. Dan apabila tugas selesai, ia akan menunggu di kantor Yayasan sebelum Pak Kiai tiba. Sedangkan waktu kerja Pak Kiai di pesantren putera adalah jam 09.00 s/d jam 11.00. Setelah itu beliau akan mengajar para santri di tingkatan Pesantren Tinggi. Seperti lonceng waktu, pas jam sembilan tiba, Pak Kiai pun datang dan memanggil Saolin ke ruangannya.

Rumahnya hanya terbuat dari pagar bambu dan letaknya di seberang jalan, tepat di pojok kiri pondok pesantren putera, pas di tikungan. Rumah itu dibangun di atas tanah Yayasan yang dipinjamkan Pak Kiai untuk didiaminya. Semacam rumah dinas begitu. Dibanding rumah penduduk lainnya, bangunan itu masuk dalam kategori RSS (rumah sangat sederhana) bahkan kumuh. Tetapi rumah itu selalu dikunjungi orang penting yayasan dan Perguruan. Guru Madrais dan Guru Fatah, ketika masing-masing menjadi Sekretaris Perguruan, sering terlihat keluar masuk rumah itu. Terkadang juga terlihat Guru Basri, yang memegang urusan pertanahan Yayasan, atau Guru Sa’duddin (almarhum), dulu bendahara Yayasan, sedang asyik mengobrol dengannya.

Kebiasaan

Saolin punya kendaraan istimewa berupa sepeda ontel. Sepeda itu selalu mengkilat, tanda terawat dengan baik. Apabila ia sedang mengendarainya, kereta anginnya itu berbunyi “tik-tik-tik”. Buat yang tahu tentang sepeda, hal itu berarti barang itu memang terpelihara dengan sempurna. Dan ketika melihatnya sedang mengayuh sepeda, dengan pakaian kebanggaannya yang seperti werknemers itu, saya seperti melihat tokoh “Omar Bakri” (seperti yang digambarkan Iwan Fals dalam lagunya) itu hidup dan terpersonifikasi padanya.

Kebiasaan menggunakan sepeda kemana-mana (ada cerita ia naik sepeda sampai desa Teluk Pucung atau Kebalen, yang jaraknya sekitar 5 km dari Pondok) itulah nampaknya yang membuat tubuhnya sehat. Padahal ketika kami sempat ketemu, umurnya sudah sekitar 58 tahun.

Saolin nyaris tidak mengenal waktu dalam bekerja. Sering ia terlihat mengetik (“ngetep” menurut istilahnya sendiri. Mungkin dari bahasa Belanda/Inggris “type” diucapkan “taip” dan “tep”) selepas Ashar atau Isya. Suara mesin tiknya berirama, tidak lambat dan tidak pula cepat. Kalau sudah mengetik seperti itu, ia seperti menyatu dengan alat tulis itu. Tidak mau diganggu dan tidak akan peduli dengan siapapun yang datang.
Demikian meleburnya ia dengan mesin tulis sehingga tidak heran kalau Guru Fatah pernah bilang postur Saolin seperti mesin tik.
Hasil ketikannya rapih, lurus tepi kiri dan kanan, dengan format favorit jaman dulu yaitu semi-block style atau dikenal di jaman sekarang dengan nama European/office style. (Di persatuan pelajar/santri format yang lebih disukai adalah American style alias full block, mengikuti gaya surat di ormas pelajar/mahasiswa Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) atau Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)). 

Prestasi
Dalam sejarah yayasan kami, sampai hari ini belum ada yang mengungguli rekor Saolin dalam soal kerapihan administrasi. Mitos yang berkembang mengatakan bahwa Saolin, saking rapihnya, mampu mencarikan suatu dokumen di rumahnya, meskipun dalam situasi gelap, tanpa cahaya. Tidak heran jika Pak Kiai sering merujuk Saolin sebagai rujukan. Sering terucap dari mulut pak Kiai, pernyataan seperti “Lu kalah sama Saolin sih” atau “kalau kerja kaya Saolin tuh.”

Karena penasaran, sekali waktu saya datang ke rumahnya. Dengan dalih mau belajar saya mau lihat caranya menyusun administrasi dan kearsipan, terutama surat-menyurat. Pengetahuan ini sangat diperlukan karena waktu itu saya baru saja dipercaya menjadi sekretaris umum persatuan pelajar, amanat dari Sidang Pleno yang baru saja selesai.

Ia duduk dengan tenang ketika saya datang sore itu. Meja kerjanya yang sudah tua itu bersih dan rapih, nyaris tidak terdapat dokumen apapun di atasnya, apalagi sampah. Berbeda dengan meja sekretariat kami yang menggunakan kayu kamper dan dilapisi dengan kaca, selalu penuh dengan tumpukan map. Dari situ saja saya sudah menangkap gaya kerja yang berbeda secara diametral; bukti dari jurang generasi alias generation gap. Ia mengantar saya ke lemari dokumen sederhana, berderet tiga, bentuknya seperti filing cabinet jaman sekarang, tapi tentunya lebih tua dan jelek. Ia membuka salah satunya dan menunjukkan barisan map dijejer rapih dengan nama-nama file di atasnya, diurut berdasarkan abjad. Ini bener-bener jago tua rupanya.

Naik haji

Kami gembira ketika mendengar Ngkong Saolin naik haji. Saat itu saya sudah berada di negeri lain untuk melanjutkan studi. Menurut cerita orang-orang, dia berangkat atas bantuan Yayasan. Sebab jika melihat pendapatannya yang pas-pasan sebagai juru administrasi khusus Pak Kiai, tak akan mungkin beliau bisa berangkat ke tanah suci. Kalaupun ada tambahan pendapatan, pastilah jatah beras yang diterimanya tiap bulan atau tiap musim panen tiba. Nampaknya pilihan Pak Kiai memberangkatkan Saolin ke tanah suci adalah pilihan tepat, karena beberapa waktu berikutnya, tepatnya tahun 1992, beliau sendiri berpulang ke rahmatullah.

Cerita tentang Saolin

Nyaris tidak pernah ada cerita negatif tentang Ngkong Saolin. Cerita tentang dirinya lurus, selurus hidupnya. Ketika ia wafatpun keluarganya kemudian pindah. Tidak ada lagi yang terdengar darinya atau keluarganya.

Tetapi ada juga sisi lucu tentang Saolin. Sampai hari ini berkembang mitos bahwa orang tua itu memiliki ilmu yang bisa menjadikannya sehat dan kuat. Buktinya sampai umur 63 pun ia masih segar bugar, ketika orang lain sudah mulai bungkuk atau tertatih. Selain itu ada mitos yang mengatakan bahwa ia memiliki ilmu pengatur ukuran “anu”nya. Sehingga kalau di tempat tidur ia tinggal mengucapkan mantera dan menyebutkan ukuran apa yang diinginkan. Misalnya ingin “anunya” jadi sebesar rotan, maka ia akan menyebut rotan.

Cerita lain adalah tentang para santri yang sering salah mendengar ucapan Pak Kiai. Berbeda dengan gayanya dalam berceramah (dan mengajar) yang jelas, keras dan lantang, ucapan sehari-hari Pak Kiai sering terdengar cepat dan berulang. Hanya orang yang sering berhubungan dengan beliau yang bisa menangkap ucapan beliau dengan pasti. Para santri yang baru biasanya yang kena getahnya. Disuruh memanggil Ngkong Saolin, mereka malah membeli lilin, karena yang terdengar di telinga mereka cuma ujungnya saja “lin...lin..”

Tak Tergantikan

Saolin memang hanya seorang administratur. Tapi peran dan ketekunannya sampai kini tidak tergantikan. Sayangnya ia hanya teringat oleh para santri, guru dan pengurus Yayasan apabila terkait dengan administrasi dan urusan Yayasan. Setelah itu, Saolin seperti air sungai yang mengalir begitu saja.

Ketika Saolin dipanggil Ilahi Rabbi, baru terasa sekali kehilangan itu. Catatan dan administrasi kini berserakan disana-sini dan tidak terkordinasi. Padahal jaman sekarang yang namanya alat-alat administrasi sudah maju. Komputer dan printer telah lama menggantikan mesin tik. Digital archive (arsip digital) sudah mengantar arsip fisik ke tempat pembuangan. Kemajuan teknologi ternyata belum bisa mengungguli pola pembinaan kepegawaian jaman kiwari.

Saolin memang tidak tergantikan. Seperti kuil Shaolin yang melegenda itu. Bedanya adalah Saolin tidak melakukan kaderisasi. Tapi ia meninggalkan kekaguman dan decakan bagi generasi berikutnya.

Semoga Allah membalas loyalitas dan bakti anda, Ngkong Saolin. Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang sebaik-baiknya. Anda pasti ditunggu kekasih Allah disana, yang juga majikan anda dan guru kami termulia, Pak Kiai Almaghfurlah.

_______________________________

Kosakata
- Pak Kiai = Almaghfurlah, KH. Noer Alie, pendiri dan pimpinan umum YP3, (sekarang Yayasan Attaqwa) Ujungharapan, Bekasi Utara
- Pondok = Pondok Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi Utara
- Yayasan = Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan (YP3), sekarang menjadi Yayasan Attaqwa
- Perguruan = Perguruan Attaqwa, divisi di bawah Yayasan
- Persatuan Pelajar = Persatuan Pelajar Attaqwa (PPA), organisasi pelajar dari tingkat Tsanawiyah sampai Aliyah

4 comments:

Anonymous said...

Nkong Saolin...mengusik kembali memori kecilku tentang sosok beliau; tinggi, kurus, setelan ala pejabat sipil kompeni, sepeda ontel, mesin tik, dan 'istana' reotnya. Sebuah pribadi berdisiplin tinggi, yang susah dicari tandingannya; loyalitas, akuntabilitas, jujur, bersih, dan jauh dari kesan pejabat penting. Tapi, sangat miris melihat 'perlakuan' yang diterimanya untuk sekelas pejabat penting seperti beliau, sebuah kesalahan kolegial yang kita lakukan bersama. Bahkan nasib keluarganya pun entah bagaimana, tinggal di mana, seperti apa, semuanya hilang ditelan sang waktu yang sombong...oh Ngkong Saolin, aku tahu meskipun kamu tidak mengharapkan semua itu...tapi kenangan setiap kali lewat ditikungan itu, miris...Selamat! Ngkong telah mengajarkan kami bagaimana seharusnya hidup, bersikap, dan berbuat.

cau said...

Terenyuh...itulah kata-kata pertama yang terucap dari bibir ini. Saya yang orang Ujungharapan asli baru menyadari kembali tentang pentingnya sosok Ngkong Saolin saat itu,terlepas posisi sentral yang ia emban saat itu, serasa ada yang terlupa menurut saya, baik pada saat beliau masih aktif menjabat sekretaris Yayasan maupun pada saat beliau sudah berpulang, satu kata menurut saya untuk menggambarkan nasib si Ngkong saat itu, kurang diperhatikan secara ekonomi. Terbukti dari penampilan fisik terutama kebutuhan tersiernya. Satu lagi, bagaimana nasib keluarganya sepeninggal Ngkong...tidak ada yang tahu mungkin. Buat manusia sekaliber Ngkong atas jasa-jasanya, tidak pantas kiranya, keluarga besar pondok pesantren Attaqwa melupakan segala prestasinya memajukan pondok tercinta kita....Bravo Ngkong Saolin...Ghaffara al-Allah junubahu wa satara 'Uyubahu wa Dakhala al-Jannata maswahu...Amin

Cecep eM-Ha said...

Thanks a lot, friend. Saya sendiri nyaris tidak sanggup meneruskan tulisan di atas karena trenyuh dan haru mengingat nasib beliau.
Sekarang tugas kita menemukan Saolin-Saolin lainnya dan mengangkatnya ke permukaan agar kita tidak dihukum oleh sejarah. Tolong bantu berikan data-data nanti kita upload agar bisa menjadi tauladan buat adik-adik santri di masa depan.

Anonymous said...

I always motivated by you, your views and way of thinking, again, appreciate for this nice post.

- Joe