Minggu ini saya memperoleh jawaban langsung, verbal, atas tulisan tentang pemberdayaan alumni wanita yang saya tulis beberapa waktu yang lalu. Tidak tanggung-tanggung, yang menyampaikannya ketuanya langsung, di forum terbuka di maulid yang isinya melulu peserta wanita. Menurut sang ketua, kaum wanita tidak dapat dituntut terlalu banyak seperti yang ada dalam tulisan saya. Buat mereka, urusan bawang dan cabe saja sudah bikin pusing. Jadi jangan diharap mereka akan bisa tampil ke publik dengan kapasitas akademis dan manajerial mereka. Buat mereka, sudah bisa ngumpul, baca tahlil bareng dan makan geroyokan sudah cukup. So please, jangan beharap lebih dari mereka dalam bentuk prestasi lain.
Saya kaget karena tidak menyangka akan memperoleh jawaban atas tulisan saya disini, di forum terbuka. (mungkin hanya beberapa alumni wanita saat itu yang mengerti, karena mengikuti perkembangan milis dan blog alumni). Tapi saya juga terkagum-kagum dengan pernyataan apa adanya dari pimpinan alumni tersebut. Ini adalah pengakuan blatant, terang-terangan dan realistis tentang kondisi alumni wanita kita. Tidak ragu dan malu untuk berterus terang. That's what we are - Haza nahnu.
Namun, terus terang saya masih penasaran. Apa iya alumni wanita kita hanya punya kemampuan sebatas itu? Jika mereka selama di pondok belajar berbagai ilmu, termasuk diantaranya keorganisasian dan kepemimpinan, (juga latihan ensemble seperti sekarang ini) trus mau diapakan ilmu itu setelah mereka keluar? Kata pepatah Arab, ilmu tanpa pengamalan seperti pohon yang tidak berbuah. Dimana kita mau menempatkan ilmu mereka?
Sejarah ummat Islam dari awal sampai saat ini menampilkan sosok-sosok wanita tangguh. Kita diperkenalkan wanita saleh dalam Alquran seperti istrinya Firaun yang tetap beriman meskipun suaminya kemudian menghukumnya karena keimanannya. Ada Ratu Bilqis yang bisa berdialog setara dengan Nabi Sulaiman As. Ada juga Maryam binti Imran yang berhasil menghadapi kaumnya karena mengandung 'Isa As, nabi yang lahir tanpa ayah. Di zaman Rasulullah SAW sda bisniswoman seperti Khadijah binti Khuwailid, ada perawi hadits seperti Aisyah ra., ada pendidik seperti Ummi Salamah dan ada pendekar seperti Tsaulabah binti Tsa'labah yang menyebabkan turunnya surah Almujadalah. Pada abad berikutnya ada Rabiah Al-Adawiyah, tokoh sufi terkenal. Di abad moderen ada Zainab Ghazali, pejuang wanita dari Ikhwanul Muslimin yang berani menentang kekejaman rejim Nasser. Bahkan di Indonesia kita mengenal Cut Nyak Dien yang memimpin lasykar bersenjata, Dewi Sartika, Rahmah el Yunusiah dan HR, Rasuna Said yang berinisiatif membangun kaumnya dengan pendidikan. (Saya ragu, apakah generasi sekarang masih mengenal nama-nama ini)
*****
Menurut penelitian Majalah Tempo pada tahun 1989, yang membedakan kaum wanita dari laki-laki dalam hal non fisik secara asli hanya struktur emosi. Sedangkan kemampuan intelektual dan mentalitas ditentukan oleh lingkungan. Artinya apabila wanita dibiarkan secara bebas mengekspressikan kompetensi intelektualitas dan mentalitasnya, maka hasilnya bisa sama dengan laki-laki. Bahkan menurut penelitian itu, jika tidak ada laki-laki dalam kelas, mereka bisa memperoleh nila lebih unggul. Atas dasar ini tidak mengherankan jika sampai hari ini pemisahan sekolah antara putera dan puteri tetap didukung oleh para pendidik moderen.
Di tempat kerja saya sendiri, seringkali prestasi karya lebih banyak didominasi kaum hawa. Bahkan dalam rekrutmen karyawan tahun 2007 dan 2008 ditemukan posisi 5 dan 6 besar dicapai oleh calon karyawati. Hal ini semakin membuktikan hasil penelitian Pelajar Islam Indonesia (PII) pada tahun 1985 yang menyatakan bahwa para pegiat organisasi wanita cenderung melupakan fitrah nya sendiri sebagai ratu rumahtangga jika sudah terlibat aktif dalam berbagai kegiatan. Persoalannya, dimana batas fitrah wanita itu? Jika fitrah wanita itu ada pada physical difference kita memang tidak pernah bisa membantahnya. Akan tetapi jika fitrah wanita itu ada pada keterbelakangan pendidikan dan kesempatan berkarya, maka jangan harap anda akan melihat kemajuan pada mereka. Persis seperti apa yang dikatakan oleh orang kampung saya, biar setinggi apa perempuan belajar, mereka akan kembali ke dapur juga.
Saya cenderung berkesimpulan bahwa, seperti yang dikatakan Drucker tentang negara, There is no such what is called poor and rich country, but the true is there is poor and well managed countries. (Tidak ada negara yang disebut miskin dan kaya. Yang betul adalah ada negara yang dimanage secara buruk dan baik). Jika teori ini di replikasi pada topik bahasan kita, maka saya bisa mengatakan bahwa tidak ada wanita yang tradisional atau maju. Persoalannya adalah bagaimana mengarahkan mereka. Jika male chauvinism masih melanda ummat Islam, maka lelaki cenderung mendominasi semua sektor, termasuk intelektual, mentalitas, ekonomi dan kesempatan kerja. Jadi kaidah dipakai, menurut saya (semoga saya tidak salah) bukanlah alashlu baqaa'u maa kaana 'alaa maa kaana (Tabiat asli tidak akan pernah hilang walaupun dipoles disana-sini). Tapi saya lebih berpegang kepada ayat Quran: innalllaaha laa yughayyiru maa biqaumin hatta yughayyiruu maa bianfusihim. (Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada dalam suatu kaum kecuali jika mereka mengubah diri mereka sendiri.)
Di acara yang baru diselenggarakan kemarin, hadir seorang alumni wanita seperti lainnya. Seminggu sebelumnya ia ditemui teman seangkatannya sedang berdagang ikan di pasar, secara kebetulan pula. Ketika diberitahu akan ada acara maulid alumni wanita, kontan ia ingin ikutan. Tapi sayangnya ia tidak memiliki dana cukup. Ia hidup sendiri kerena ditinggal pergi suaminya. Dengan empat anak yang harus dihidupi dan disekolahkannya, ia harus cari nafkah. Karena itu ia berdagang ikan, meskipun risikonya bau amis dan digoda lelaki nakal. Awalnya jengah rasanya, tapi kelama-lamaan bisa juga. Padahal sebelumnya ia hanya menjadi ibu rumahtangga yang manis. Teori motivasi berlaku disini, when there is the question of survivality, there will be a motivation for struggle and fight.
Ada juga alumni wanita yang mau berangkat sudah merasa kurang sehat. Sampai di tempat acara ia merasa seperti masuk angin dan minta izin pulang. Ternyata sudah lama ia mengalami pembengkakan hati (liver) dan masih dalam perawatan. Disini asas motivasi juga muncul dan tak bisa dibantah . Dia bisa pergi karena sangat ingin berkumpul dengan teman lama dan ingin ikut acara. When there is a will, there is a way.
Bagaimana jika motivasi-motivasi ini bisa diarahkan dan dimanage untuk pencapaian yang lebih ekonomis untuk membantu kehidupan mereka juga? Nampaknya itulah tantangan kita.
*****
Di acara yang baru diselenggarakan kemarin, hadir seorang alumni wanita seperti lainnya. Seminggu sebelumnya ia ditemui teman seangkatannya sedang berdagang ikan di pasar, secara kebetulan pula. Ketika diberitahu akan ada acara maulid alumni wanita, kontan ia ingin ikutan. Tapi sayangnya ia tidak memiliki dana cukup. Ia hidup sendiri kerena ditinggal pergi suaminya. Dengan empat anak yang harus dihidupi dan disekolahkannya, ia harus cari nafkah. Karena itu ia berdagang ikan, meskipun risikonya bau amis dan digoda lelaki nakal. Awalnya jengah rasanya, tapi kelama-lamaan bisa juga. Padahal sebelumnya ia hanya menjadi ibu rumahtangga yang manis. Teori motivasi berlaku disini, when there is the question of survivality, there will be a motivation for struggle and fight.
Ada juga alumni wanita yang mau berangkat sudah merasa kurang sehat. Sampai di tempat acara ia merasa seperti masuk angin dan minta izin pulang. Ternyata sudah lama ia mengalami pembengkakan hati (liver) dan masih dalam perawatan. Disini asas motivasi juga muncul dan tak bisa dibantah . Dia bisa pergi karena sangat ingin berkumpul dengan teman lama dan ingin ikut acara. When there is a will, there is a way.
Bagaimana jika motivasi-motivasi ini bisa diarahkan dan dimanage untuk pencapaian yang lebih ekonomis untuk membantu kehidupan mereka juga? Nampaknya itulah tantangan kita.
Wallahu A'lam
*****
Selamat maulid buat Korikawati anyway.
Selamat juga buat alumni 1984 yang telah merencanakan persiapan yang demikian matang, meskipun akhirnya kita harus menyerah kepada alam. Tetapi, amat menyenangkan menyaksikan sohib Amin Idris -Ketua Umum PPA 1984-85) hari ini bisa akur dengan kawan-kawannya, tidak seperti hari-hari waktu di kamar Abubakar dulu, yang penuh dengan perdebatan sesama teman sendiri. Apakah ini pertanda bahwa kiamat sudah dekat, tidak diketahui secara pasti. (Kalimat terakhir ini guyonan di tempat acara)
Bravo and Keep Spirited!
No comments:
Post a Comment