Suatu hari, Pak Kiai kedatangan seseorang yang berniat menjadi santrinya. Umurnya lumayan lanjut untuk masuk sekolah setingkat Aliyah (SMA). Oleh karena itu Pak Kiai berniat memasukkannya ke pesantren dimana tidak ada batasan umur bagi seorang santri. Untuk mengukur pada level apa santri ini akan ditempatkan, kiai membawa kitab Nahwu (grammar bahasa Arab) yang paling rendah yaitu Matan Jurmiyah. Tanpa dinyana, calon santri itu membacanya dengan lancar. Lalu Pak Kiai mengembilkan kitab Nahwu yang lebih tinggi, Kawakib Durriyah judulnya. Kitab itupun dibaca tanpa kesulitan berarti. Terakhir Pak Kiai menenteng Alfiah Ibn Malik, kitab nahwu kecil yang dikenal sulit dibaca untuk ukuran santri pemula, karena aturan tata bahasanya ditulis dalam bentuk syair alias pantun (alfiyah= 1000, seribu pantun). Sang calon santripun membacanya dengan enteng sekaligus memberi tafsirannya.
Karuan saja Pak Kiai tercengang. Serasa diledek, akhirnya beliau berkata: "Ente ini mau belajar, tapi kemampuan ente diatas rata-rata santri disini. Gimana kalau ente bantu saya ngajar aja?" Sang calon santripun menjawab: "Saya datang kesini mau belajar dan berkhidmat. Yang namanya berkhidmat, saya ikhlas, bersedia dijadikan apa saja oleh Pak Kiai. Jadi merbot masjid pun saya mau". Pak Kiai tambah heran. Lalu bertanya bagaimana orang itu bisa sampai ke sini, ke desa Ujungharapan yang saat itu masih susah dicapai dengan kendaraan umum. Orang itu lalu bercerita, bahwa ia sudah datangi puluhan kiai di daerah Cirebon dan Jawa Tengah untuk menimba ilmu. Tapi selalu saja timbul kebimbangan dalam hatinya tentang ilmu dan keyakinan yang dimilkinya. Selalu saja jawaban dari guru-guru yang didatangi itu tidak memuaskan hatinya. Suatu malam ia bermimpi didatangi seorang tua berjubah dan bersurban putih. Ia merasa orangtua itu berpesan agar mengembara mencari guru, kali ini ke arah barat. Anehnya ia merasa dituntun ke arah sebuah kampung yang gambarannya persis dengan Ujungharapan......
"Siapa nama ente tadi?" tanya Pak Kiai."Mahya, Pak Kiai".
Guru Andalan
Dialah Mahya, anak muda asal Cirebon yang tidak pernah puas belajar, mencari guru untuk memperoleh ilmu dan tempat ia baktikan dirinya. Pengembaraannya kemudian berakhir di pesantren Attaqwa, tempat Pak Kiai mengajar dan mendidik para santri. Mahya begitu yakin, inilah guru terakhir yang ia cari dan sanggup menjawab semua pertanyaan, baik ilmu fikir maupun ilmu bathinnya. Seringkali ketika mengajar para santri, ia bercerita tentang pertanyaan yang ia ajukan kepada Pak Kiai, yang selalu dijawabnya dengan mudah dan tuntas, sampai ia terbengong-bengong sendiri.Tak heran jika ia berkhidmat kepada beliau tanpa tawar-tawar. Ia akan pergi begitu saja, meninggalkan apa yang sedang dikerjakannya, apabila Pak Kiai memanggilnya.
Jadilah Mahya kemudian seorang guru bantu di Attaqwa. Meskipun guru bantu, namanya langsung meroket karena kemampuannya dalam membaca kitab. Maklumlah di pondok yang sudah mulai mengenal sistem persekolahan modern, keterampilan membaca kitab arab "gundul" semakin jarang dimiliki oleh para santri, kecuali yang memang mengkhususkan dalam bidang itu. Oleh karena itu Pak Kiai menempatkannya sebagai guru pada pesantren, bukan di sekolah, dimana para santri mendalami kitab kuning secara khusus. Ketika pesantren kemudian tidak diteruskan karena masyarakat lebih memilih sistem sekolah, Pak Kiai kemudian mendirikan Pesantren Tinggi, yang santrinya berasal dari lulusan tingkat Aliyah.
Dalam berbagai kesempatan, ia dirujuk Pak Kiai untuk membetulkan bacaan santri yang kurang rapih bacaan kitab kuningnya. Sebagaimana diketahui, untuk membaca kitab kuning diperlukan kompetensi "ilmu alat" yaitu nahwu, sharaf, manthiq (logika) dan terkadang balagah (sastra). Tanpa ilmu-ilmu ini, pemahaman tentang ilmu yang terdapat dalam kitab itu akan kurang jelas atau malah bisa jadi bertentangan. Buat para santri yang merasa nggak pe-de akan membaca kitab kuning di hadapan Pak Kiai, ia lebih baik membacanya di depan Guru Mahya terlebuh dulu. Ia akan dengan tekun dan telaten mengajar para santri kata demi kata, baris demi baris; menjelaskan maqam setiap kata dalam nahu. Ia juga menjelaskan satu persatu makna kata-kata yang dibaca dengan beberapa kemungkinan i'rabnya.
Ahli ibadah
Guru Mahya termasuk yang fasih dan jelas bacaan Qurannya. Hal itu membuatnya ditunjuk menjadi imam shalat rawatib. Bahkan ia kemudian ditugaskan juga menjadi salah seorang khatib dan imam shalat Jumat di masjid Attaqwa, masjid pondok kami yang juga menjadi satu-satunya masjid di kampung ini.
Kefasihannya membaca Quran itu pula yang membuatnya ditunjuk Pak Kiai menjadi salah satu ketua kelompok tadarrus pada saat program i'tikaf dilaksanakan. Penunjukan ini merupakan tugas yang amat terhormat, karena dengan demikian ia sejajar dengan para tokoh yang memang telah lama mengikuti Pak Kiai dalam soal tadarusan, seperti Guru Marzuki (adik Pak Kiai), Guru Arsyad, Guru Yaqub dan lainnya
Sayangnya, karena suaranya keras dan agak kaku (tidak mengikuti irama yang lazim), seringkali juga Pak Kiai menjadikannya rujukan agar tidak ditiru para santri. "Gua mau murid-murid gua bagus bacaannya, enak didengarnya. Jangan kayak si Mahya itu." Semua santri tentu maklum dengan kondisi ini. Untuk urusan kefasihan, Guru Mahya memang tidak diragukan. Tapi kalau urusan irama bacaan Quran, mendingan kita mendengarkan bacaan dari guru yang lain.
Cerita tentang Guru Mahya
Yang namanya orang alim, pasti banyak cerita tentangnya. Demikian juga dengan Guru Mahya. Salah satunya adalah ketika ia pulang mengajar dari Pekayon, Bekasi Barat. Saat itu sedang ketat-ketatnya razia kendaraan bermotor, dan guru Mahya hanya menggunakan sorban sebagai penutup kepala, padahal ia mengendarai vespa kesayangannya yang berwarna biru telor asin. Di pertigaan Pekayon ia diberhentikan polisi yang sedang bertugas. Ketika ditanya mengapa tidak menggunakan helm. Dengan lugunya ia menjawab bahwa baginya menggunakan peci putih dan sorban adalah sama dengan menggunakan helm. Bedanya, "helm itu untuk kepentingan di dunia, sedangkan peci putih dan sorban itu untuk dunia dan akhirat." Sang polisi terbengong-bengong mendengar jawaban itu. Akhirnya Guru Mahya pun diperbolehkan meneruskan perjalanan tanpa pemeriksaan lagi, padahal beliau sendiri tidak punya SIM!
Demikian pula ketika beliau ikut dalam protes terhadap pendirian gereja tanpa izin. Beliau ditangkap oleh Opsus Kodam V Jakarta karena dianggap salah satu pentolan demo sehingga massa jadi beringas dan merobohkan rumah yang dijadikan tempat ibadah tanpa izin itu. Menurut cerita teman-teman yang ikut diciduk, selama diinterogasi, guru Mahya tidak pernah bercakap-cakap, tapi terus menerus komat-kamit mengucapkan zikir. Akhirnya beliau dilepaskan dengan alasan hanya ikut-ikutan dan "tidak bisa bicara".
Keluarga
Guru Mahya tinggal di rumah milik yayasan di pondok putera. Letaknya tepat di depan pintu di tepi tembok sebelah dalam. Ia tinggal disana bersama keluarganya, juga keponakannya, Abdul Muhaimin (sekarang Direktur Islamic Center, Hongkong) yang juga dibawanya untuk sekolah di pondok kami.
Perkawinan guru Mahya tidak berlangsung lama. Setelah memperoleh seorang puteri (Mimi Jamilah), ia dan istrinya (Hj. Marhamah) berpisah. Guru Mahya kemudian menikah lagi dengan wanita asal kampungnya sendiri, Hj. Syabah dan memperoleh anak 5 orang, 2 diantaranya perempuan (Miftahurrahmat, Khatibul Umam, Siti Baroroh, Siti Fatimah dan Muhammad Muharram). Keluarga itu kemudian pindah ke daerah mushalla Nurul Huda. Kini ketiga anaknya itu telah meneruskan perjuangannya menjadi guru di Attaqwa.
Sejak tahun 1985 Guru Mahya terkena diabetes melitus (kencing manis) dan dia baru menyadarinya beberapa bulan kemudian. Tapi karena disiplin menjaga makanan, beliau tetap segar dan mampu bertahan sampai dua puluh tahun kemudian. Tahun 2005 beliau meninggalkan kita semua, menghadap Ilahi Rabbi, dalam usia 68 tahun.
Selamat jalan Guru. Semoga Allah SWT menerima anda dengan kehormatan sebagaimana Pak Kiai menerima anda di pondok kami.
Wallahu A'lam
--------------------------------------
Kosakata
Pak Kiai = KH. Noer Alie, Pimpinan Umum Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam, Ujungharapan (sekarang Yayasan Attaqwa), Bekasi Utara
I'rab = penjelasan posisi kata-kata ditinjau dari posisinya dalam tata bahasa Arab
I'tikaf: Tradisi tinggal dan beribadah di masjid yang dilakukan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan
Alfiyah: Kitab aturan tatabahasa Arab yang disusun dalam bentuk puisi/sajak oleh Ibn Malik dan disyarah oleh Ibn 'Aqil
Nahwu: Ilmu tata bahasa Arab
3 comments:
Tulisan ini telah diedit sesuai masukan dari teman-teman alumni. Terima kasih buat Bung Irhamni Rofiun atas koreksi datanya.
izin share ke web ane ya bang,
Silakan bung Muharram. Dengan senang hati.
Tulisan ini belum bermakna apa-apa dibanding ilmu yang telah beliau berikan kepada kami. Semoga dibalas Allah dengan berlipat ganda. Amiin
Post a Comment