Pages

Wednesday, February 23, 2011

Sisi Lain Kehidupan Seorang Sharia Officer

Dengan target market share 5%, lembaga keuangan syariah berusaha memperbanyak sumber daya manusia untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat seiring pertumbuhan di sektor ini. Juga dalam rangka mengantisipasi investor luar negeri yang masuk dan menanamkan dananya dengan mendirikan lembaga keuangan syariah.  
Meskipun berbagai upaya dilakukan dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitasnya, namun lembaga keuangan syariah masih akan menyisakan masalah unfairness bagi sebagian kecil SDMnya jika sikap lama yang merupakan warisan penjajah dipertahankan. Padahal SDM yang diperlakukan kurang fair ini merupakan elanvital  bagi semua sisi kehidupan lembaga keuangan syariah. Tulisan ini hanya mengungkap fakta berdasarkan pengakuan dan wawancara, tanpa maksud apa-apa kecuali untuk kebaikan.


*****

Dari sekian hal yang yang istimewa dari bank syariah adalah kehadiran Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada strukturnya. Fungsi DPS, sesuai namanya adalah mengawasi operasional perbankan syariah agar berada dalam koridor syariah. Ukuran kesesuaian syariah yang dijadikan tolok ukur DPS kini semakin mudah karena sudah ada fatwa-fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merespon kebutuhan fatwa dari industri perbankan syariah. Bahkan sekarang ini kesesuaian syariah menjadi indikator dari tata kelola sebuah lembaga keuangan syariah. Tidak kurang dari Islamic Financial Service Board (IFSB) sendiri mengeluarkan standard khusus yang terkait dengan tata kelola syariah (IFSB-10 on Sharia Governance System).

Dewan Pengawas Syariah di bank syariah tak akan bisa banyak berbuat jika tidak ada yang membantu dalam proses pengawasan syariah. Seringkali dalam komunikasi juga terjadi gangguan antara DPS dan pengurus (direksi dan komisaris) karena perbedaan bahasa terminologi. DPS menggunakan istilah-istilah fiqih-usul fiqih, sedangkan pengurus menggunakan istilah perbankan dan keuangan. Maklum, meskipun Indonesia sudah merdeka lebih dari setengah abad, pemisahan antara ilmu agama dan umum, yang secara sengaja ditanamkan oleh Nederlandse kolonisten, masih dipelihara oleh para inlander-nya. Makanya tidak heran jika para DPS yang umumnya para kiai belum/kurang menguasai ilmu keuangan-perbankan dan para komisaris-direksi yang umumnya lulusan universitas biasa (bukan agama) kesulitan memahami bahasa agama, apalagi hukum Islam yang kebanyakan berasal dari bahasa Arab.

Kesulitan komunikasi ini dapat dijembatani oleh para pegawai yang memang dikhususkan menangani hal itu. Di dunia perbankan Islam mereka sering disebut sharia officer, alias pejabat yang mengurusi masalah-masalah syariah. Mereka umumnya lulusan universitas keagamaan tapi direkrut khusus untuk belajar mengenai bank. Tujuan rekrutmen ini tidak lain agar para pengurus bisa komunikasi dengan DPS.  Selain itu karena para sharia officer ini juga sering menggantikan DPS dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kesehariannya. Pertanyaan itu sering bersifat teknis dan tidak mungkin bisa diajukan dalam pertemuan mingguan direksi dengan DPS. Kalaupun diajukan, belum tentu juga DPS itu bisa menjawabnya.

Menjadi seorang sharia officer punya kebanggaan tersendiri, karena selain masuknya susah juga karena menguasai berbagai masalah yang ada dalam bank syariah. Mulai dari masalah ekonomis-filosofis dan hukum Islam, sampai urusan teknis seperti tabungan dan treasury. Demikian juga masalah pengembangan, legal support, pengawasan, penghimpunan dana dia temani. Meskipun, tentunya pemahaman itu tidak terlalu mendalam karena kendala waktu dan kesempatan yang membuatnya tidak bisa memperdalam semua itu.

Seorang sharia officer dengan latar belakang pendidikan tinggi keagamaan pasti susah masuk lembaga keuangan,  karena tesnya disamakan dengan lulusan PT biasa. Dia harus lulus ujian pada materi yang diujikan, yang biasanya gabungan dari matematika, statistika dan pengetahuan umum lainnya. Selain itu ia juga harus lulus bahasa Inggris, bahasa yang dianggap tambahan kalau lagi belajar fiqih atau usul fiqih. Padahal untuk menjadi pegawai biasa kualifikasinya cuma umum-umum saja, seperti matematika, statistika dan mengetahuan umum. Anehnya renumerasi untuk para sharia officer diukur berdasarkan pangkat pegawai biasa. Artinya jika ia mengerjakan urusan syariah saja, maka ia tidak mendapatkan penilaian. Ia hanya memperoleh nilai apabila mengerjakan tugas perbankan. Dengan kata lain, tugas syariah merupakan "prerequisite" alias kewajiban utamanya yang tidak memperoleh nilai apa-apa jika dikerjakan, tapi akan mendapatkan hukuman jika tidak dikerjakan.

Pincangnya penilaian ini berakibat juga pada finansial reward.  Pegawai syariah pada umumnya terus-terusan dianggap tidak tahu ilmu dan praktek keuangan. Ketika direksi atau manajer yang lama yang sudah mengenal berbagai kompetensi shariah officer ini pindah atau berganti dengan yang baru, maka petinggi yang baru pasti menganggap sharia officer tidak mengerti soal keuangan dan perbankan. Oleh karena itu dia disuruh training terus tentang keuangan dan perbankan. Anehnya pegawai umum tidak pernah disuruh belajar syariah dan tidak ada kewajiban untuk itu. Ketika pejabat syariah itu mengerti keuangan dan syariah ia akan diminta mengerjakan pekerjaan yang terkait di dua bidang itu. Itu artinya dia digaji untuk dua bidang yang dikerjakan, sedangkan pegawai lain memperoleh honor yang sama karena mengerjakan satu bidang saja. Betapa tidak adilnya dunia ini baginya.

Ada yang lebih parah. Sebagian petinggi bank syariah menganggap pekerjaan shariah officer cuma tukang doa. Yang lain cuma menggunakannya hanya untuk mengontak Dewan Pengawas Syariah untuk mengundang mereka rapat. Atau jika ada romobongan ulama yang ingin berkunjung, atau sebaliknya, direksi diundang ke pesantren. Atau juga disuruh menghadapi audience karena direksi dan para manajer tidak becus urusan dalil.

Selain itu biasanya karir para pegawai yang dianggap orang syariah itu mengalami apa yang disebut karir mentok. Meskipun ia sudah ngelotok alias mumpuni dalam praktek keuangan, ia tetap dinilai tidak sebanding dengan pegawai lainnya yang pangkatnya setara. Padahal dengan pangkat yang sama, misalnya, pegawai yang mengerjakan pekerjaan umum dapat mengajukan promosi dalam 5-6 tahun. Sharia Officer harus menunggu dua kali dari jangka waktu itu. Bahkan bisa jadi ia mengerjakan pekerjaan itu seumur hidupnya, sedangkan tugas-tugas yang terkait dengan masalah syariah tetap wajib dilaksanakan. Setiap kali ada urusan promosi, sharia officer selalu menjadi nomor buncit karena dianggap tidak melakukan tugas manajemen sebagai tugas utama. Padahal dalam melaksanakan tugasnya mengurus masalah-masalah kesyariahan tidak ada yang menilainya, karena tidak termasuk dalam tugas pokok kantor.

****

Kekeliruan utama para praktisi keuangan sekarang ini adalah karena sikap dan perlakuan yang kurang proporsional terhadap orang-orang syariah. Kecuali Dewan Pengawas Syariah, yang memang biasanya terdiri dari orang-orang penting, perlakuan  kurang menyenangkan terhadap sharia officer  merupakan fenomena umum di berbagai lembaga, dan sepertinya mewarisi karakter para penjajah Belanda sekuler yang kurang suka pada orang-orang dengan orientasi syariah yang kuat. Nyaris tidak ada usaha perbaikan dilakukan, misalnya menyediakan career-path khusus bagi mereka. Atau divisi tersendiri yang tugasnya khusus menyelesaikan dan mengembangkan permasalahan yang terkait dengan masalah syariah. Karir para sharia officer ini harus lebih buruk dari sekretaris kepala divisi atau sekretaris direksi yang memiliki jalan karir tersendiri.
Sulit dibayangkan lembaga keuangan syariah bisa maju dan bermanfaat bagi ummat jika sikap unfairness  yang terjadi justru dilakukan adalah terhadap orang syariah sendiri. Padahal lembaga-lembaga ini mengaku melaksanakan transaksi keuangan secara syariah dan dengan bangganya menyebut bahwa hal itu karena ada orang syariah di dalamnya. Betapa ironisnya jika terfikirkan, membanggakan pegawai yang justru dizhaliminya sendiri.

Wallahu A'lam
Mudah-mudahan menjadi 'ibrah bagi kita semua

4 comments:

Unknown said...

Mantap Ustadz............menarik, ^__^

Cecep eM-Ha said...

Terima kasih.
Mudah-mudahan jadi i'tibar buat kita semua.

Deni Amin Sujana said...

Unfairness ini bukan saja terjadi diarea SDM nya saja tetapi terjadi pula dengan kepatuhan terhadap hukum Positip dari perbankan Syariah sendiri yaitu fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Padahal fatwa inilah yang menjadikan Perbankan Syariah tetap Syar'i.

Contoh kasus adalah fatwa DSN no: 02/DSN-MUI/IV/2000, tentang Tabungan, "Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya" lalu sanksi apa yang diberikan terhadap Bank yang masih membebankan biaya bulanan tabungan kepada nasabahnya padahal sesuai dengan fatwa diatas biaya bank diperhitungkan dalam nisbah bagi hasil tabungan sendiri untuk tabungan dengan akad Mudharabah.

Jika DPS sudah memberikan peringatan dan Bank tetap tidak mengindahkannya lantas guideline apa lagi yang bisa diharapkan agar Bank Syariah ini tetap Syar'i ? apakah KAP bisa kita andalkan untuk mengaudit sisi Ke-Syar'ian nya ?

Wallahu'alam

Cecep eM-Ha said...

Terima kasih buat Kang Deni. Tapi sudah ada penjelasan dari DSN bahwa yang dimaksud biaya operasional tabungan itu tidak termasuk biaya administrasi, seperti buku tabungan dan servis lain. "Biaya operasional" yang dimaksud dalam fatwa merujuk kepada "nafqah mudharib" yang telah menjadi perdebatan antara mazhab Hanafi dengan Mazhab Syafii, tentang siapa yang harus menanggungnya. Menurut ulama Hanafi, mudharib dapat diberikan nafkah alakadarnya yang diambil dari modal mudharabah, sedangkan ulama Syafii tidak memperkenankannya. Fatwa DSN mengambil pendapat ulama Syafii dengan pertimbangan, nasabah tidak memiliki akses terhadap informasi yang bisa menjelaskan berapa biaya wajar dari sebuah bank untuk mengelola dana tabungan, yang dibebankan kepada keuntungan sebelum didistribusikan. Dengan demikian Mudharabah yang diterapkan dalam tabungan atau deposito tidak terkena "gharar fahisy" (ketidakjelasan yang akut). Wallahu A'lam