There is only one language in this world (at least that I know) whose special term for waiting sunset time. The language is Sundanese and the word is "ngabuburit".
Tulisan berbahasa Inggris itu pernah saya post sebagai status di account facebook. Komentar terhadapnya datang bertubi-tubi . Ada yang mempertanyakan, ada pula yang membalas guyon. Suka atau tidak, memberikan komentar terhadap status saya itupun termasuk dalam kategori ngabuburit.
Fenomena ngabuburit mulai ramai tiga tahun kebelakang. Tapi yang paling dahsyat adalah tahun ini dengan adanya "makhluk" jaring sosial bernama Facebook. Terus terang saja, gara-gara facebook, anak saya jadi malas baca Quran. Setelah shalat subuh, yang dipegangnya tidak lagi mushaf, tapi laptop yang sering saya gunakan untuk menulis artikel. Lalu dengan asyiknya ia bermain "pet society", sebuah aplikasi game yang tersedia di Facebook. Terkadang ia lupa tidur, sesuatu yang dulu sering dijadikan alasan untuk menghindari tadarrus.
Menurut seorang rekan, definisi ngabuburit itu adalah menunggu waktu buka dengan mengerjakan pekerjaan lain sehingga tidak terasa tahu-tahu sudah dekat Maghrib. Semestinya ngabuburit yang betul adalah mengisi waktu puasa dengan amal ibadah seperti baca Quran. Atau mendengarkan ceramah, hitung-hitung nambah ilmu. Tapi hampir sepakat orang sekarang ini, bahwa yang namanya ngabuburit itu adalah menunggu buka puasa sambil menikmati hiburan. Entah itu musik, internet atau JJS alias jalan-jalan sore. Yang lucu, kadang-kadang jalan-jalan pakai kendaraan juga dilakukan pada waktu pagi, sehabis shalat Subuh. Maka JJS itu bisa berarti juga jalan-jalan Subuh. Seperti masyarakat di perumahan sebelah.
Tidak diragukan lagi, hilangnya peran ulama dalam membimbing masyarakat membuat pelaksanaan Ramadhan di Indonesia semakin terasa lahiriyah. Sedangkan dari sisi bathiniyah tidak ada nilai yang diperoleh. Tidak heran jika Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, orang yang berpuasa tanpa meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, hanya memperoleh lapar dan dahaga. Orang seperti ini biasanya niat puasanya, meskipun diucapkan setiap selesai tarawih (nawaitu shauma ghodin....dst), bisa dipastikan tidak ikhlas. Tanpa bermaksud membuat generalisasi, jangan-jangan puasanya hanya karena yang lain pada puasa. Apa nilainya bagi pribadi yang menjalaninya, tidak usah dipusingkan. Menjalaninya saja sudah capek, apalagi memikirkannya.
Peran media massa dalam "mengosongkan" nilai puasa termasuk yang paling utama. Rasanya kontradiktif mendengar iklan di berbagai stasiun televisi yang mempromosikan acara masing-masing untuk membuat bulan Ramadhan lebih bermakna. Padahal isi programnya tidak lain dan tidak bukan, yaitu "ngabuburit" dalam versi lain. Waktu sahur, waktu yang termasuk paling mudah doa seseorang diterima, diisi dagelan yang seringkali kasar dan tidak layak ditayangkan. Masyarakat tidak lagi peduli bahwa justru saat itu adalah saat yang paling baik bagi mereka untuk berzikir dan berdoa, baik sebelum maupun sesudah sahur. Bagi mereka, yang penting cuma satu, sahur tidak mengantuk dan meriah. Tidak ada lagi nilai ibadah yang perlu diperoleh. Biarlah itu urusan para kiai dan ustaz.
Mestikah media massa disalahkan? Jaman sekarang, dimana media massa punya prinsip-prinsip seperti business is business, self truth, bad news is good news, anti-establishment, dan rating oriented, menjaga nilai bukanlah urusan utama. Yang penting jam tayang terkejar dan rating dari masyarakat tinggi. Dengan rating itu, iklan semakin banyak terjaring, yang tentunya semakin banyak duit menggelontor. Dan cerita tentang waktu sahur yang menjadi pameran lawak seperti sekarang, berasal dari rating sebuah stasiun TV swasta yang melonjak tinggi, ditengah kritikan dahsyat para ulama disebabkan mereka menghadirkan lawakan Septian Dwi Cahyo (Komeng) dan Ulfah pada waktu sahur. Seakan menggunakan pepatah "anjing menggonggong kafilah berlalu", stasiun TV itu cuek saja. Tahun berikutnya program yang sama diulangi. Dan stasiun TV lain pun latah. Maka jadilah waktu sahur di Indonesia sebagai waktu untuk tertawa sepuasnya.
Seorang rekan yang bekerja pada sebuah lembaga riset ekonomi heran dengan prilaku bangsa ini. Seharusnya, menurutnya, puasa secara massif seperti di Indonesia dapat menurunkan tingkat pertumbuhan secara nasional. Karena baginya, puasa berarti hemat. Dari hitungan makan saja, orang puasa sudah menguranginya, dari tiga kali menjadi dua kali. Yang terjadi justru kebalikannya. Semua permintaan meningkat, mulai dari makanan, minuman, garment, transportasi sampai telekomunikasi. Akibatnya, pertumbuhan naik seiring inflasi. Ini puasa tapi kenapa jadi terbalik hasilnya? katanya.
Jawabnya mungkin karena puasa orang Indonesia adalah puasa dahaga dan lapar. Sedangkan nafsu dan pikirannya bebas. Karena fisiknya dikendalikan, maka dan pikirannya jadi jalan-jalan. Maka tidak heran pasar-pasar sudah ramai sejak sebelum bulan puasa tiba. Ketika Lebaran datang ia seolah menjadi ajang pelampiasan. Semua orang jadi berpesta; pesta mode, pesta hiburan dan pesta keramaian. Secara bahasa, aidil fithri memang berarti selamatan pada waktu pagi. Semacam sarapan lah begitu. Tapi jika jika yang dimaksud aidil fitri (fitrinya dengan ta, bukan tho) maka yang dimaksud adalah fitrah yang kembali.
Rekan-rekan ustaz sering menyindir masyarakat dengan sindiran nyelekit. Menurut mereka ada semacam lomba iklan antara Tuhan dengan supermarket ketika Ramadhan memasuki 10 hari terakhir. Tuhan menawarkan berbagai pahala yang melimpah bagi yang semakin intens beribadah. Di sisi lain, mal-mal juga menawarkan berbagai potongan belanja yang menggiurkan. Salah satunya harus kalah. Dan Tuhan kali ini harus kalah dalam promosi.
Karena paradigma tentang lebaran itu pesta, maka semua orang berpesta menurut caranya. Termasuk ketika malam takbir tiba. Ketika para ustaz bertakbir lirih di masjid dan mushalla, anak muda dan masyarakat umum berpesta di pasar-pasar dan di jalan. "Takbir keliling" dalih mereka. Dilakukan sambil keliling pasar dan kampung. Semua orang keluar rumah, kendaraanpun begitu. Dulu orang meramaikannya dengan petasan. Sekarang diganti dengan terompet. Anak muda dengan motornyapun beraksi "memeriahkan" takbir. Ada yang berdiri di atas sepeda motor, ada yang mengendarainya sambil celentang, ada pula yang mengangkat roda depan motornya sekali-sekali, sambil memainkan putaran gasnya. Lebaran, termasuk malam takbirnya adalah pesta.
Yang merasa merantau di kota lain juga ingin pulang kampung. Berkumpul dengan sanak saudara di tanah kelahiran. Tidak perduli anak dan istri tidak betah di kampung yang menurut mereka kampung ayahnya, bukan kampung sendiri. Tak ayal semua kendaraan turun ke jalan. Macet terjadi dimana-mana. Tak perduli tiket perjalanan naik berlipat. Yang penting bisa mudik. Anjuran hemat bahan bakar sudah tidak ada yang memperdulikan. Mengapa? Semua punya kepentingan. Pemerintah berkepentingan agar daerah kecipratan rejeki para pemudik dan menumbuhkan ekonomi daerahnya, masyarakat juga punya hasrat untuk liburan di kampung bersama keluarga. Biarlah Iedul Fitri dengan segala keagungannya. Yang penting bisa ngumpul dan menikmati hiburan bersama handai taulan...
Bukanlah yang namanya Iedul Fitri itu bagi orang-orang yang memakai pakaian baru. Tapi Iedul Fitri adalah bagi orang yang ketaatannya kepada Allah bertambah maju.
Itu kan kata Imam Syafii. Di Indonesia, puasa itu dahaga, sahur itu ketawa dan lebaran itu pesta... Wallahu A'lam
No comments:
Post a Comment