Terus terang saja, judul di atas adalah plesetan dari The Greatest Love of All, lagu yang diciptakan George Benson untuk film tentang Muhammad Ali, dan dipopulerkan oleh Whitney Huston. Saya menggantinya dengan mom (panggilan manja seorang anak kepada ibunya di Amerika) untuk merujuk kepada seorang ibu. Tapi ini bukan tentang ibu saya. Tulisan ini dikarang untuk seorang uwa, yang dalam bahasa Sunda berarti kakak dari orang tua. Dan dia seorang wanita. Ada alasan khusus mengapa saya memberinya gelar seperti itu.
Namanya Yoyoh Suharti. Tapi setelah punya anak dia dipanggil dengan panggilan kesayangan: Amih. Entah darimana panggilan itu datang. Bisa jadi ia merupakan penggalan dari panggilan mamih yang artinya ibu. Yang jelas, karena popular dengan panggilan itu, kami sekeluarga nyaris tidak pernah mengenal nama aslinya, kecuali setelah ia wafat. Ia lahir di Cibarusah, daerah kelahiran yang sama dengan Eep Saefullah Fatah, pengamat politik kondang dan idola kaum hawa itu. Seperti orang Cibarusah lainnya, Amih adalah orang yang taat agama. Shalat lima waktu tidak pernah tinggal. Shalat Tahajjud dan Dhuha juga. Rajin puasa Senen-Kemis dan puasa-puasa sunat lainnya. Nyaris tidak tinggal pengajian disana-sini. Pokoknya Amih benar-benar rajin dalam bidang keagamaan. Tapi bukan itu yang membuatnya istimewa.
Ia bersuamikan Saleh Suriasasmita yang oleh putera-puterinya dipanggil Apih. Uwa satu inipun hampir-hampir tidak kami kenal nama aslinya. Adalah keluarga lain yang memanggilnya Uwa Mantri Aleh, sehingga saya tahu nama asli beliau, yaitu Saleh. Selebihnya nggak jelas. Pokoknya Apih, titik. Sedangkan sebutan mantri ditengah namanya menunjukkan pekerjaannya sebagai petugas kesehatan di jaman baheula. Pekerjaan itu membuatnya sering berpindah tempat. Maklumlah jaman dulu petugas kesehatan termasuk barang langka, sehingga diperlukan di berbagai tempat. Karena seringnya berpindah tempat itulah cerita tentang Apih jadi menarik.
Amih adalah ibu dari 10 orang anak; 7 diantaranya laki-laki dan selebihnya perempuan. Dengan segala keterbatasan sebagai istri mantri, ia berusaha membesarkan anak-anaknya. Terkadang untuk itu ia harus menitipkan anaknya kepada kerabatnya (dalam bahasa Jawa disebut ngenger). Yang saya ingat, mulai dari anak lelaki pertama sampai anak keempat sempat ia titipkan di rumah saya, di Cikarang. Mereka memanggil ibu saya dengan panggilan khusus, bibi Cikarang (terkadang juga Bi Ngki). Hubungan kekeluargaan antara ibu saya dengan Amih adalah lewat Apih. Ibu saya adalah adik sepupu Apih. Bapaknya ibu (berarti kakek saya) adalah adik dari ayah Apih. Seperti juga anak-anak apih, ibu juga sempat ngenger di rumah Apih, ketika masih tinggal di Bekasi. Ialah yang mencarikan pekerjaan buat ibu. Bahkan ia pula yang mencarikan suami bagi ibu. Tidak heran jika keluarga kami begitu dekat satu sama lain. Bahkan kakak ibu yang bernama Sawelah menikah dengan sepupunya, Jayasasmita, yang pernah menjadi kuwu (lurah). Seperti juga Apih dan Amih, setelah mereka wafatlah kami baru mengenal nama aslinya. Sebelumnya, seumur hidup kami memanggil keduanya dengan Uwa Kuwu¸ pameugeut untuk laki-laki dan istri untuk perempuannya.
***
Dulu keluarga-keluarga kecil ini bagian dari keluarga besar yang berasal dari Sindangbarang, nama lama untuk Cimindi, sebuah desa di sebelah timur kecamatan Ancaran, Kabupaten Kuningan. Sebelumnya, adalah abah yang bernama Jayawilastra (paman dari Apih dan juga Uwa Kuwu Pameugeut) menikah dengan mbah Zaenab, yang berasal dari Padarek (desa di ujung utara Ancaran), dan kemudian tinggal disana. Dari pasutri ini lahir 6 anak: Satimah (Uwa Emoh, ada yang memanggilnya Mbah Uyut), Suwelah (terkenal dengan Uwa/Mbah Kuwu), Alirah (Uwa Iroh), ibu saya, Maskiningsih, biasa dipanggil Engki sewaktu mudanya, terkenal dengan bibi Cikarang atau Tante, panggilan khusus dari Suwelah), Ahmad (Mang Emod) dan Khamsah (Bi/Mbah Ulis). Dari keenam orang ini, Suwelah mendapat panggilan abadi dari kami sebagai Uwa atau Mbah Kuwu. Sedangkan Khamsah, karena menikah dengan Jurutulis desa Kedung Arum, sampai akhir hayatnya dipanggil Bibi/ Mbah Ulis.
Entah disepakati atau tidak, keluarga ini punya tradisi unik. Anak lelaki pertama, siapapun namanya, dipanggil Cecep. Setidaknya ada 5 orang dengan panggilan cecep dan bahkan jadi nama asli seperti nama saya. Dan terkadang mereka dikenal dengan nama daerah asal, seperti Cecep Cikarang (saya), Cecep Pebayuran (Eddy Surjadi, putera pertama Apih), Cecep Cakung (putera uwa/mbah Kucih, Cakung), Cecep Harapan Baru (Didi Ahmadi, cucu wa Iroh dari anak pertamanya, Inta) dan Cecep Cimindi (cucu uwa/mbah Cakung dari puteri keduanya, Neneng). Pernah dalam suatu acara keluarga besar ada orang datang dan mau ketemu dengan Cecep. Ketika ditanya kembali Cecep yang mana, dia malah bingung sendiri. Emang ada berapa Cecep di keluarga ini? Tanyanya. Waktu dijelaskan ada lima, komentarnya standar: Koq banyak amat yang namanya Cecep...?
Anak perempuan pertama dalam keluarga, sering dipanggil Neneng atau Nining. Setidaknya ada 4 orang dengan nama itu. Ada Neneng Kuningan (puteri kedua mbah Cakung), Neneng Cimindi (puteri uwa/mbah Kuwu dari istri kedua), Neneng Bekasi (puteri pertama Apih dari istri kedua), dan Nining (kakak saya). Menurut cerita Kang Cecep (putera pertama Apih) saking inginnya Amih punya anak perempuan, Nana Jumhana (putera keempat Apih), waktu kecil dipanggil Neng oleh Amih.
Entah karena perubahan budaya yang begitu cepat, tradisi ini sudah tidak berjalan lagi. Bahkan karena kesibukan masing-masing, pertemuan antar keluarga juga semakin jarang dilakukan. Akibatnya, generasi ketiga dari keluarga ini sedikit sekali yang saling mengenal. Jika tidak diperkenalkan oleh para orangtua yang berasal dari generasi kedua, ada kemungkinan jalinan silaturrahim antar keluarga lama-kelamaan akan pudar.
***
Bekerja sebagai mantri suntik membuat Apih sering bertugas ke berbagai pelosok. Bahkan sampai harus berpindah-pindah tempat tinggal. Keluarganyapun harus ikut hijrah. Mereka pernah di tinggal di Bekasi, terus di Tambun dan akhirnya menetap di tepian sungai Citarum, di kecamatan Pebayuran, ujung timur Kabupaten Bekasi. Saat ia pindah kesana pertama kali, daerah itu masih termasuk dalam kategori tertinggal. Orang-orang bilang itu tempat jin buang anak. Pertama kali berkunjung kesana, kami harus melewati jalan berdebu, karena belum diaspal. Komentar kakak saya saat itu, jangan-jangan jinnya juga takut datang kesini.
Begitu banyak cerita tentang Apih. Mulai dari menikahkan kedua adiknya secara diam-diam sampai ia sendiri memiliki empat istri yang hanya diketahui oleh anak-anaknya di kemudian hari. Hebatnya, orang tua ini cuek beibeh dengan apa yang dikatakan orang lain. Baginya, semua tindakannya sudah dipikirkannya masak-masak, dan itu sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Masa bodo orang mau ngomong apa.
Karena prihatin pada kedua adiknya, Kursinah (adik kandung Apih, dikenal sebagai uwa Kucih atau lebih populer dikalangan anak-anak sebagai mbah Cakung, karena tinggalnya di Cakung) dan ibu saya, dikenal di kalangan putera-puteri Apih sebagai Bibi Cikarang atau Mbah Cikarang), Apih membawa keduanya ke Bekasi, tempat ia bertugas sebagai mantri. Keduanya kemudian disekolahkan di sekolah kebidanan, lembaga yang relative jarang saat itu. Setelah lulus mereka langsung ditugaskan. Satu ke Cibitung (ibu saya) dan satu ke Cakung (uwa Kucih). Karena keduanya memiliki paras lumayan, banyak pria yang kemudian menaruh hati. Padahal keduanya sudah janda. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Apih bermaksud menikahkan keduanya dengan para pria yang menurutnya cocok untuk mendampingi. Disampaikanlah maksud itu kepada keduanya. Tanpa diduga keduanya menolak dan tidak ingin menikah lagi.
Tapi Apih tidak kehilangan akal. Keduanya dipanggil dan ditanya tentang rukun nikah. Karena sudah lama tidak mendalami hal itu, keduanya menjawab tidak hapal. Maka Apih mengajarkan keduanya tentang rukun dan syarat nikah, dan yang berhubungan dengan hal itu. Ketika ditanya apakah mereka sudah mengerti, mereka menjawab polos, ya. Pada saat itulah Apih menjelaskan kepada keduanya bahwa mereka sudah dinikahkan dengan dua orang pria pilihan Apih, yang kebetulan keduanya bernama Mahmud. Yang satu kiai (ayah saya) dan yang lain Raden (asal Sumedang, tinggal di Tambun). Nggak bisa ngebayangin bukan main dongkolnya kedua adiknya itu. Tapi apa boleh dikata, karena ketika itu kedua orang tua masing-masing sudah wafat, maka Apihlah wali yang paling dekat.
Cerita tentang Apih yang menikahkan kedua adiknya secara fait-a-compli seperti itu masih kurang hebat. Yang lebih seru adalah cerita Apih yang punya istri lebih dari satu. Dan, ini berkat Amih, sepak terjang Apih hanya diketahui semuanya oleh putera-puterinya setelah mereka dewasa. Jika putera-puterinya yang masih kecil bertanya, kenapa Apih tidak pulang, Amih menjawab bahwa Apih sedang tugas nyuntik ke luar daerah dan letaknya sangat jauh sehingga susah untuk pulang.
Dua tahun menjelang wafatnya, semua anak cucunya berkumpul dalam rangka Idul fitri. Amih saat itu sudah tiada karena lebih dulu dipanggil Yang Kuasa. Tepatnya empat tahun sebelum Apih. Seorang dari anaknya iseng-iseng menghitung jumlah anak dari semua istri Apih. Semua ada 18 orang. Lalu cucunya ada yang bilang, “ternyata Apih itu pejantan tangguh ya.” (Kayak lagunya Sheila on 7 itu). Tapi meskipun istrinya banyak, Apih adalah pria yang bertanggung jawab. Semua istrinya dibelikan rumah untuk tinggal, meskipun hanya sederhana. Semua istri yang dikawini Apih, dididiknya untuk menjalani agama dengan baik sehingga menjadi istri yang salehah dan setia pada suami.
Hubungan saya sendiri dengan Apih sama dekatnya dengan Amih. Padahal waktu kecil tidak demikian. Itu karena Apih selalu meledek atas kelakuan saya yang marah-marah ketika dirawat setelah dikhitan. Jaman dulu, orang disunat itu lama sembuhnya. Bisa 2 sampai 3 minggu. Untuk mempercepat kesembuhan, Apih memberikan obat pupur pada alat vital saya yang baru disunat. Dan itu dilakukannya beberapa kali. Setiap kali obat itu ditaburkan, saya menjerit kesakitan. Supaya saya tetap mau, Apih memakai jurus terakhir yaitu teror mental, bahwa apabila tidak mau saya akan didatangi macan. Karena marah, saya lalu menantang “Macan ya macan deh. Pokoknya gua nggak mau diobatin...”. Kata-kata ini yang selalu diingat Apih apabila bertemu dengan saya.
***
Bagaimana dengan Amih? Disinilah cerita kehebatan beliau sebagai seorang istri dan ibu. Ia adalah istri pertama dari 4 istri. Ketika mengetahui bahwa suaminya beristri lagi, ia hanya bisa menangis. Tapi setelah itu ia bersikap seperti biasa. Ia kembali melayani Apih dengan sepenuh hati dan mendidik anak-anaknya dengan penuh disiplin dan akhlak mulia. Pengetahuan agamanya yang mendalam membuatnya harus memaklumi bahwa seorang pria memang dibolehkan memiliki istri lebih dari satu. Apalagi pernah didengarnya bahwa Apih dan saudaranya memiliki garis keturunan Tumenggung daerah Kuningan, salah seorang penguasa wilayah (setingkat bupati) dibawah Kesultanan Cirebon jaman dulu kala. Karenanya, menjadi istri Apih baginya adalah sebuah pengabdian sekaligus kebanggaan.
Kabar tentang Apih poligami akhirnya terdengar juga kepada adik-adiknya. Dalam sebuah acara, Apih datang dengan membawa istri keduanya. Tanpa dinyana, Amih dan Kursinah (mbah Cakung) juga datang. Amih tidak bisa menyembunyikan kegalauannya dan memberitahukan kepada iparnya tentang kehadiran madunya. Tapi, meskipun seringkali terasa galak, Amih bukanlah tipe orang yang main labrak. Ia juga bukan tipe istri yang suka mempermalukan suami di depan umum. Ia mengajak Kursinah menjauh dari keduanya. Tapi yang diajak bukannya pergi, malah mendekati wanita itu dan berkata dengan keras “Ooooo... ini tea nu sok disuntik ku Apih teh?” (Ooo ini yang suka disuntik Apih ya).
Jiwa besar Amih terbukti lagi kemudian. Takdir menentukan istri kedua Apih meninggal lebih dahulu. Meskipun tidak diberitahu langsung, Amih tetap mengetahuinya. Ia lalu datang ke rumah wanita itu dan ikut membantu persiapan pemakamannya. Ia ikut mengatur konsumsi, mempersiapkan alat-alat pemandian jenazah sampai membacakan surah Yasin bagi madunya itu. Bisik-bisik para tetamu perempuan yang ikut ta’ziah dia tidak perdulikan. Baginya melayani keperluan janazah menuju tempat peristirahatan terakhir adalah kewajibannya sebagai muslimah, tidak peduli siapa yang wafat. Kebetulan saja yang wafat kali ini adalah madunya.
Amih juga tidak ragu untuk mendatangi rumah istri Apih yang lain, tanpa terlihat rasa marah atau cemburu. Alkisah, takdir juga menentukan anaknya yang kedua (Ade Mulyadi) mengalami kegagalan dalam perkawinan. Supaya mempererat hubungan keluarga dari garis keturunan yang sama, dan keluarga wanitanya juga lebih dikenal, Apih mencarikan calon istri bagi anaknya itu dari adiknya yang tinggal di Kuningan. Nampaknya keluarga disanapun setuju. Sebagai kunjungan balasan, sang calon besan pun datang ke Pebayuran. Tujuannya adalah untuk merundingkan waktu dan tempat walimahan yang tepat. Sayangnya hanya ada Amih disana sedangkan Apih sedang keluar, entah kemana. Lagi tugas ke luar daerah¸ kata Amih sambil tersenyum. (Padahal semua tahu Apih sudah pensiun saat itu).
Karena waktunya mendesak, akhirnya Amih mengantar tamunya itu ke daerah Garon, rumah istri keempatnya. (Istri ketiga Apih tinggal di Kranji, Bekasi Barat). Lalu dengan sikap seorang tamu yang baik, ia mengucap salam, cipika-cipiki dengan tuan rumah (yang juga madu ketiganya) dan mohon maaf karena kedatangannya mungkin mengganggu ketenangan sang tuan rumah. Sang madu pun senang karena ibu ratu datang dengan ramah dan baik. Tinggal Apih yang senyum kecut dan salah tingkah, terutama kepada calon besannya.
Amih juga tidak sungkan mengundang madunya itu untuk datang ke rumah. Ketika Apih dan Amih melakukan persiapan dalam rangka menunaikan ibadah haji, istri keempat apih itu datang dan ikut membantu. Layaknya seorang keluarga, ia ikut memasak, menggelar alas duduk, menyiapkan kursi, menyapu halaman dan lain-lain. Mungkin ada perasaan sungkan dalam hatinya, terutama terhadap anak-anak dan famili Apih lainnya. Tapi, lagi-lagi sikap Amih yang bersahabat dan memperlakukannya sebagai keluarga sendirilah wanita itu jadi betah berlama-lama.
*****
Siapapun yang mengenal Amih pasti memiliki kenangan khusus. Pengalaman saya pribadi menunjukkan hal itu. Ia tidak memanggil saya dengan panggilan nama, tapi menyebut saya sebagai anak Amih. Hal ini menunjukkan betapa istimewanya saya, sehingga dianggap sebagai anaknya sendiri. Setiap kali bertemu, ia selalu memeluk dan mencium pipi saya dengan mesra, sebagai tanda kasih sayangnya. Bahkan hal itu tetap dilakukannya meskipun saya sudah dewasa dan beranak-istri. (Anak saya sampai cengengesan sambil komentar: Idih walid, udah gede masih suka dicium sama Amih)
Beliau pula yang berjuang meyakinkan ibu saya agar saya bisa menikah dengan istri saya, yang kebetulan berasal dari daerah yang sama dengannya, Pebayuran. Kebetulan pula mertua saya adalah salah seorang guru ngajinya. Perjuangannya itu tidak sia-sia, meskipun pernikahan saya agak unik. Saya dan istri walimahan di Kuala Lumpur berrsama teman-teman, pada saat yang sama keluarga saya besanan dari Cikarang ke Pebayuran. Kata KH. Nurul Anwar (putera almaghfurlah KH. Noer Alie-Ujungharapan Bekasi) yang memberikan tausiah perkawinan saat itu, perkawinan saya di Pebayuran seperti pengantenan bodong. Kedua keluarga besanan, tapi pengantennya tidak di tempat.
Hubungan Amih dengan ibu saya sangat dekat. Ia memanggil ibu saya dengan panggilan kehormatan, Tante. Mungkin karena ibu saya dulunya cantik dan terdidik. Padahal dalam bahasa Belanda itu artinya sama saja dengan bibi. Seringkali keduanya terlihat berbincang lama dalam satu acara, dan bahkan terkesan curhat satu sama lain. Seperti disebut di atas, anak lelakinya mulai dari anak pertama sampai keempat dititipkan di rumah saya. Ia lebih percaya menitipkannya di Cikarang ketimbang di tempat lain, karena kebetulan ayah saya adalah guru agama, sehingga Amih menginginkan anak-anaknya itu belajar agama juga darinya.
Ternyata keistimewaan Amih bukan hanya saya yang merasakan. Semua menantunya juga merasakan hal yang sama. Mereka diperlakukan dengan sangat baik layaknya anak sendiri. Mereka bahkan diajak curhat bersama urusan pekerjaan dan anak-anak. Cucu-cucunya diajak bermain bersama, terkadang sampai ke kebun depan rumahnya yang lumayan luas. Ia selalu menjawab pertanyaan dari cucunya, seaneh apapun pertanyaan itu. Dia bilang, jika seorang anak kecil dimarahi karena bertanya, maka ia akan kehilangan kreativitasnya. Aneh juga, produk jadul kayak Amih bisa memahami modern child education, padahal jaman dulu yang namanya pendidikan itu feodalnya minta ampun. Tapi itulah Amih. Ia memang berbeda dengan orangtua lainnya dalam cara mendidik anak.
Keistimewaan Amih juga terasa bagi anak-anak. Pernah secara tidak sengaja saya membaca surat dan kartupos yang dikirim teman-teman Euis, putri bungsunya. Di akhir surat temannya menulis Salam sayang kami buat Ami. Amih memang the best. Entah apa yang dilakukan Amih untuk siswa-siswi SMA itu. Tapi jelas mereka begitu terkesan dengan penerimaan Amih terhadap mereka.
*****
Selasa malam, 28 Mei 2002 bertepatan dengan 16 Rabiul Awwal 1423. Saya tengah menghadiri acara santunan yatim piatu dalam rangka tahun peringatan Maulid Nabi SAW di masjid Almamur, Cikarang Barat, dimana saya menjadi Ketua Yayasannya. Malam itu acara berlangsung meriah karena dihadiri oleh Bupati Bekasi, Wikanda, dan jajaran pemda Bekasi. Tiba-tiba HP saya berbunyi. Kakak saya memberitahukan bahwa Amih masuk rumah sakit (lagi). Diagnosis sementara mengatakan Amih mengalami gagal ginjal. Saya bilang pada kakak bahwa kita akan membesuknya setelah acara Santunan selesai. Kakak saya berkata, mungkin lebih baik jika besok pagi, karena acara baru akan selesai pada jam 11 malam dan Amih mungkin sedang istirahat sehingga tidak boleh diganggu.
Kami tidak menyangka bahwa itulah kabar terakhir yang kami terima tentang Amih. Karena esok paginya, Rabu 5 Mei 2003 sekitar jam 08.00 Amih berpulang pada Yang Maha Kuasa, setelah berhasil berkomunikasi melalui telpon dengan putera pertamanya, Eddy Surjadi, yang waktu itu tengah bertugas sebagai diplomat di KBRI Roma. Saya sendiri nyaris tidak dapat menguasai diri mendengar kabar duka itu. Yang saya ingat waktu itu, perjalanan mengantar beliau menuju tempat peristirahatan terakhir di tanah Cibarusah diiringi rintik hujan yang tak henti-hentinya turun, seolah mewakili bumi Cikarang yang berduka karena kepergiannya.
Selamat jalan Amih. Anda memang Amih bagi kita semua.
Dan anda memang The Greatest Mom of All.
Taman Rafflesia, Januari 2009
*****
Kosakata
Amih: Panggilan kami untuk istri Apih, Yoyoh Suharti
Apih: Panggilan untuk H. Saleh Suriasasmita, kakak sepupu ibu saya.
Mbah Cikarang: Panggilan untuk ibu saya di hari tuanya. Putera-puteri Apih memanggilnya dengan panggilan Bibi Ngki atau Bibi Cikarang. Amih dan mbah Kuwu memanggilnya Tante.
Mbah Cakung: Panggilan untuk Kursinah di hari tuanya. Ia juga dipanggil Mbah Kucih.
Mbah Kuwu: Panggilan untuk Jayasasmita, kakak Apih. Namanya diganti menjadi H. Sarbini setelah pulang dari haji. Juga panggilan untuk Sawelah, kakak dari ibu saya, setelah kawin dengan Jayasasmita.
Abah Jaya: Panggilan untuk Jayawilastra, kakek saya dari garis ibu.
*****
4 comments:
makin mantep aja tulisannya.
Terima kasih.
Semoga menjadi pemicu saya dan teman-teman untuk menulis lebih banyak lagi.
Subhanallah..
MAsih adakah Amih di zaman sekarang?
Subhanallah..Allahhu Akbar, perjuangan Amih...Amih ramah penuh canda dan tulus. Semoga amih bahagia ...alfatihah...
Post a Comment