Pages

Monday, August 9, 2010

Polytheist di perbankan syariah

Ini cerita iseng (side talk) bernada sedikit berbeda dari sebuah Training of trainers Perbankan Syariah. Dimana tempatnya, rasanya tidak etis untuk disebutkan. Cukuplah untuk mengatakan bahwa tak dinyana, ada juga wacana yang melihat perbankan syariah dari perspektif lain. Perspektif itu lumayan "fundamental" dalam Islam, yaitu aqidah. Dari sisi seorang trainer, saya melihatnya sebagai keragaman sudut pandang yang dapat memperkaya warna diskusi, sehingga acara training jadi tidak monoton. Tapi dari sisi para peserta, sudut pandang seperti ini terasa seperti karang; keras dan kaku. Susah untuk diajak dialog, tidak mudah untuk menerima dan tidak gampang untuk memberi. Jika tidak dicegah, bisa saja akan tercipta suasana yang berkembang menjadi debat panas yang berkepanjangan. Pada titik ini peran seorang fasilitator amat kritis untuk menjaga diskusi agar perbedaan itu menjadi rahmat, bukan laknat.

*****

Ada dua teori tentang Tuhan, katanya. Satu teori mengatakan tuhan itu hanya satu, yaitu Allah. Selainnya bukan tuhan. Teori lain mengatakan tuhan itu banyak, sedangkan yang berhak disembah adalah Allah semata. Menurut cak Nur (Nurcholis Madjid), seharusnya syahadat ummat Islam itu diartikan dengan "Tiada tuhan melainkan Tuhan." Bedanya tuhan kecil pakai "t" kecil sedangkan tuhan besar pakai "T" besar. Tanpa meributkan urusan apakah "Allah" itu nama tuhan ataupun sekedar tuhan berlabel khusus ("al" dalam bahasa Arab sepadan dengan "the" dalam bahasa Inggris) ungkapan berikutnya akan menggunakan  teori kedua, yang mengatakan ada banyak tuhan, tapi yang berlabel "layak disembah dan ditaati" cuma satu, yaitu Allah. Tinggal dilihat, perbankan syariah akan memilih yang mana.
Nampaknya itu yang terjadi di dunia perbankan syariah. Ada banyak tuhan di sekelilingnya.  Ada tuhan yang namanya Pasar. Para direksi, komisaris dan pegawai bank syariah amat takut pada trend dan kekuatan pasar. Jika pasar bergerak naik, mereka harus naik. Jika tidak, mereka tidak akan kebagian rejeki. Jika pasar bergeser ke kiri, mau tidak mau, mereka juga wajib ikut. Jika tidak diikuti maka mereka akan ditinggalkan pelanggan. Tak perduli apakah tindakan itu harus nabrak aturan syariah. Maka tidak heran jika bank syariah harus menari menurut "gendang" pasar: produk dan transaksi mereka sama seperti yang ada di pasar. Ketika pasar sedang mengusung kredit retail, bank syariah juga ikutan retail. Ketika pasar sedang bikin produk consumer goods bank syariah tidak ketinggalan. Ketika pasar lagi rame dengan kartu kredit, bank syariah juga mengekor. Semua aspek, termasuk syariah, disesuaikan dengan kondisi pasar. Kalau tidak ketemu, dicari yang bisa cocok. Konsekwensinya produk perbankan syariah, yang memiliki ciri khusus jadi kehilangan cirinya. Bahkan ia juga kehilangan ruhnya sendiri. Ia tidak lain dan tidak bukan melainkan sekedar "tengkorak" keuangan lain dari sistem perbankan konvensional, tapi dengan nama yang berbeda.

Ada lagi  tuhan yang namanya Pajak. Tuhan yang ini sangat kuat, tegas dan kejam. Kalau nanya seperti orang belajar. Tapi kalau sudah tahu celah yang bisa dimasuki, mereka akan menusuknya dengan cepat , tepat dan tak dapat ditarik. Kalau ditarik, ia akan menambah luka semakin dalam, seperti pisau yang kedua sisinya berlawanan, satu tajam kedepan, yang satu bergigi menghadap belakang. Begitu sebuah bank syariah menggunakan kata "jual beli" untuk Murabahah, "sewa-menyewa" untuk Ijarah, mereka langsung melemparkan jaringnya. Bank syariah itu harus membayar pajak lebih dari Rp. 30 milyar untuk sepasang kata "jual beli", yang sebenarnya merupakan arti asli dari Murabahah. Ketika bank syariah merasa keberatan mereka memasang ancaman lebih kasar, "kantor kalian akan disegel". Ada bank syariah yang kena pajak 8 milyar rupiah, padahal total asetnya cuma 5 milyar. Jadi kalaupun bank itu disita, pengurus dan pemiliknya masih berhutang kepada "tuhan" pajak sebanyak 3 milyar.

Bank syariah lalu mengadu kesana-sini. Sayangnya tidak ada yang menanggapi. Mulai dari Presiden sampai ke RT, bahkan dari DPR pusat sampai DPR tingkat II. Semuanya bergeming, cuek beibeh.  Mungkin mereka juga takut terkena getahnya. Kalau membela bank syariah berarti dianggap membela orang yang ingkar bayar pajak. Padahal belum tentu juga pajak itu masuk kas negara. Kasus Gayus Tambunan merupakan contoh kecil betapa pajak yang diambil dari mulai rakyat jelata sampai pengusaha kakap begitu mudah dikorupsi oleh para petugas pajak, mulai dari dirjen sampai pegawai tingkat rendah, bahkan office boy nya. Rupanya tuhan juga suka sama duit!!

Tuhan ketiga bernama Hukum Positif. Tuhan yang inipun tidak kurang kakunya. Di negara yang konon berpenduduk muslim 90% ini hukum positif karya Belanda lebih dihormati, dipuja dan ditaati ketimbang hukum Islam. Dengan demikian, tuhan hukum bangsa Indonesia ini sebenarnya adalah hukum positif.  Tak terkecuali bank syariah. Lihat saja ketika mereka menuliskan draft perjanjian. Semua asumsi dan nuansa yang berkembang berada dibawah bayang-bayang hukum positif.

Tidak ada secuilpun perhatian, keinginan, apalagi keterikatan dengan hukum syariah sebagai cikal bakal produk perbankan syariah, seperti Murabahah, Mudharabah ataupun Ijarah. Semua didesain mengikuti hukum positif. Tidak ada barang lain yang bisa dijadikan rujukan kecuali satu-satunya makhluk kesayangan yang mudah di"angon", yaitu hutang-piutang. Maka tidak heran kerangka yang berdiri semuanya sama (hutang) yang baju berbeda-beda. Ada baju model Murabahah, Mudharabah, Ijarah dan seterusnya. Dengan menyamakan semua produk dengan hutang, produk-produk itu jadi mudah ditagih, dilitigasi bahkan dipanggilkan debt-collector. Tinggal ditanggalkan saja jubah warna-warni berlabel (merk) dari bahasa Arab itu dan tinggallah mereka kerangka yang mudah ditarik: yaitu utang.

Ada tuhan lain yang amat dijaga keutuhannya agar rizki mereka tidak berkurang. Tuhan itu bernama keuntungan. Dalam perbankan syariah yang asli, keuntungan adalah makhluk normal, alias sesuatu yang wajar, tanpa embel-embel yang harus dijaga mati-matian sampai harus melakukan segalanya demi keberadaannya. Terkadang dalam dunia yang wajar, keuntungan bisa berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan, namanya kerugian. Meskipun bank syariah sudah berusaha sebisanya, tapi tetap saja alam tidak mengizinkannya berada disana. Maka kerugianlah yang harus menggantikannya. Tapi kini keuntungan sudah naik derajatnya menjadi tuhan yang harus dijaga keberadaannya dengan segala konsekwensinya. Kalau perlu hukum syariah ditinggalkan dulu demi adanya.

Tuhan-tuhan di atas amat ditakuti aturannya karena berakibat langsung pada praktek perbankan syariah. Sedikit saja aturannya dilanggar, maka ujung-ujungnya tuhan lain tidak dapat dicapai, yaitu keuntungan. Karena tuhan-tuhan itulah, perbankan syariah tidak dapat menerapkan hukum syariah secara murni dan konsekwen. Oleh karena itu jutaan hikmah yang seharusnya diperoleh perbankan syariah akibat dari penerapan transaksi syariah secara murni dan konsekwen, jadi hilang dan tidak pernah diperoleh.

Ini sebuah contoh. Jika rontoknya ekonomi Amerika pada tahun 2008 akibat utang yang tidak dapat ditagih (terutama dari sub-prime mortgage), apakah tidak demikian terjadi pada perbankan syariah, jika ia memiliki struktur dan kerangka yang sama dengan perbankan konvensional? Jika krisis pada tahun 1998 membuktikan bahwa transaksi riil mampu menyelamatkan negara dari kebangkrutan, mengapa bank syariah justru ngotot mencari produk derivatif untuk kelebihan likuiditasnya, yang justru malah akan menciptakan bubble economics, penyebab utama krisis ekonomi? Kalau sudah begini dimana Tuhan yang sebenarnya?

Sayang sekali memang, kemajuan perbankan syariah lebih dilihat dari angkanya, bukan kualitasnya. Kemajuan sebuah sistem perbankan syariah lebih dimaknai dengan bolehnya dan adanya semua produk konvensional pada perbankan syariah, bukan pada sejauh mana produk itu sesuai syariah, yang sudah pasti akan integrated  dengan sektor riil dan resistant terhadap krisis. Memang ada aturan tentang sharia compliance alias kepatuhan kepada prinsip syariah, tapi realitas menunjukkan bahwa kebanyakan hal itu hanya pemanis bibir saja alias lip service. Selebihnya tetap tak ada perbedaan berarti. Kata orang Jakarta, beda-beda tipis. 

Itulah sistem dengan banyak tuhan. Ukuran yang dipakai ialah ukuran dari tuhan-tuhan yang banyak itu, sehingga Tuhan yang sebenarnya sudah tertutup dengan berbagai helah atau tikungan.  Akibatnya aturan yang melarang dalam hukum syariah berubah menjadi boleh, dan  yang seharusnya wajib dilakukan menurut ukuran syariah, ditinggalkan begitu saja. Tuhan-tuhan dengan huruf "t" kecil dalam pandangan Cak Noer telah mengalahkan Tuhan dengan huruf "t" besar. Maka jangan heran jika Tuhan dengan huruf "t"besar itu melaksanakan konsekwensi atas aturanNya juga.

Wallahu A'lam

"Dan barangsiapa yang ingkar dari mengingatKu, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan bangkitkan pada hari Kiamat nanti pada kondisi yang buta" (QS. Thaha: 34) 

2 comments:

Anonymous said...

Mantap bang...!

Cecep eM-Ha said...

Terima kasih.