Pages

Monday, June 13, 2011

Antara Syaikh Omar Mukhtar dan KH. Noer Alie

Berbekal uang delapan ribu perak (Rp.8.000) saya berhasil mendapatkan sebuah DVD (bajakan) berjudul Lion of the Desert. Film ini diproduksi Mustappha Akkad, produser Amerika kelahiran Syria dan dibintangi oleh bintang senior Amerika kelahiran Mexico, Anthony Quinn, yang juga sering bermain di fim dengan tema-tema Islam, seperti Laurence of Arabia  dan The Message (Arrisalah).

 Lion of the Desert mengisahkan perjuangan seorang ulama, Syaikh Omar Mukhtar, melawan pendudukan tentara Italia di Libya. Berbagai upaya dilakukan penjajah Italia untuk menangkap ulama dan para pengikutnya itu namun upaya mereka selalu gagal. Mereka harus menunggu waktu 20 tahun dan biaya yang sangat besar (diantaranya untuk membangun pagar kawat sejauh 270 km) atas perintah langsung Benito Mussolini, diktator Italia  untuk akhirnya dapat menangkap pemimpin agama sangat berpengaruh itu. Tidak heran kemudian dia digelari sebagai Lion of Desert (Singa Padang Pasir).
Omar Mukhtar adalah ulama dan salah seorang tokoh penting gerakan Sanusiyah.  Lahir di Cyrenaica timur, Distrik Al Butnan, di kampung Janzur Timur, sebelah timur Tobruk. Sejak kecil ia menjadi yatim dan diangkat anak oleh Sharif El Gariani sepupu dari Hussein Ghariani, seorang pemimpin politik-keagamaan di Cyrenaica. Dia menerima pendidikan awalnya di masjid setempat dan kemudian belajar di Jami'ah Sanusiyah  di Al-Jaghbub, yang juga merupakan markas besar gerakan Sanusiyyah. Musuh Mukhtar terakhir, jenderal Italia Rodolfo Graziani pernah memberikan deskripsi tentang pemimpin Sanusiyah itu yang nyata-nyata menunjukkan kekagumannya: "Tingginya sedang, perkasa, dengan rambut, jengggot dan kumis putih. Umar dianugerahi dengan intelegensia yang cepat dan hidup. Sangat menguasai masalah agama, tampil sebagai karakter yang energik dan gagah, tidak egois tapi juga tidak kompromistis. Yang paling utama, ia tetap sangat agamis dan miskin (sederhana), meskipun dia termasuk salah satu tokoh paling penting dari gerakan Sanusiyah.

Lambang Gerakan Sanusiah, Libya
Gerakan Sanusiyah adalah gerakan religio-politis  Muslim di Libia dan Sudan. Didirikan di Mekkah pada 1837 oleh Grand Senussi, Sayyid Muhammad ibn Ali as-Senussi. As-Sanusi prihatin dengan menurunnya pemikiran dan spiritualitas, serta lemahnya integritas politik kaum Muslimin.  Ia dipengaruhi oleh gerakan Salafi yang kemudian ditambahkannya dengan ajaran dari berbagai tarikat Sufi. Dari tahun 1902 sampai 1913 kaum Sanusiyah bertempur melawan ekspansi Perancis di gurun Sahara, dan kolonialisasi Italia terhadap Libya pada awal tahun 1911. Cucu dari Grand Senussi ini kemudian menjadi Raja Idris I di Libya pada tahun in 1951. Pada tahun 1969, King Idris I disingkirkan melalui kudeta militer pimpinan kolonel Muammar al-Gaddafi. Sekitar sepertiga dari populasi di Libya sampai hari ini masih bergabung dengan gerakan Sanusiyah.


Omar Mukhtar dianugerahi otak yang cerdas dan  insting yang kuat. Maka tidak heran jika ia memiliki strategi perang gerilya yang jitu dan dan ditakuti lawan. Mukhtar juga ahli dalam strategi dan taktik peperangan padang pasir. Ia amat mengenali wilayahnya dan memanfaatkan pengetahuan itu sebagai keuntungan dalam peperangan melawan tentara Italia yang tidak familiar dengan perang di padang pasir. Mukhtar berulang kali memimpin grup-grupnya yang kecil tapi tangkas dalam melakukan serangan, dan berhasil menyerang tentara Italia.  Setelah itu mereka seperti menghilang ditelan luasnya gurun pasir. Orang-orang Mukhtar  secara trampil menyerang pos-pos terdepan, menyerbu tentara secara tiba-tiba, dan memotong jaringan logistik dan komunikasi. Tentara Italia seringkali dibuat terkejut dan dibikin malu dengan taktik gerilyanya.

Antara tahun 1927-1928 Omar Mukhtar berhasil mengorganisasi kembali kekuatan-kekuatan gerakan Sanusiah  yang sering diburu secara terus menerus oleh tentara Italia.  Mukhtar melakukan ini karena pada beberapa tahun sebelumnya Gubernur Italia Ernesto Bombelli menciptakan sebuah kekuatan anti-gerilya yang mengakibatkan kekalahan serius pada kaum pejuang pada sekitar tahun 1925. Mukhtar lalu memodifikasi taktiknya sendiri dan berhasil melanjutkan perjuangan dengan bantuan berkelanjutan dari Mesir. Dua tahun berikutnya meskipun dibawah pendudukan daerah Giarabub dari tahun 1926 and pengawasan ketat di bawah gubernur gubernur Attilio Teruzzi, Mukhtar melakukan serangan mengejutkan kepada tentara Italia di Raheiba. Jenderal Teruzzi sampai mengakui kehebatan Omar yang memiliki "pertahanan sangat istimewa dan memiliki kekuatan kemauan yang amat kuat"

Pada bulan Januari 1929, Gubernur Libya Pietro Badoglio membuat kompromi dengan Omar Mokhtar (dianggap oleh orang Italia sebagai penyerahan total Mukhtar), setelah negosiasi yang panjang dan melelahkan, mirip dengan perjanjian Italo-Sanusia sebelumnya. Tapi sepuluh bulan berikutnya Mukhtar membatalkan perjanjian itu dan membangun kembali kesatuan gerakan diantara kekuatan-kekuatan di  Libya, menyiapkan diri untuk konfrontasi dengan komandan militer Italia di Libya yang baru, Radolfo Graziani pada tahun berikutnya.  

Pada pertengahan tahun 1930 sebuah serangan besar-besaran dilakukan terhadap kekuatan Mukhtar, tapi gagal. Graziani lalu meminta bantuan menteri koloni Italia dan bahkan pemimpin tertinggi Italia, Benito Mussolini untuk memecah gerakan Cyrenia (daerah utara Lybia yang dikuasai Mukhtar). Ratusan ribu penduduk disana dipindahkan ke kam konsentrasi di sekitar pantai dan menutup perbatasan Libia-Mesir untuk mencegah bantuan asing kepada para pejuang dan menghilangkan dukungan dari penduduk lokal. Tindakan ini mengakibatkan kerugian besar pada gerakan Sanusiah. Para pejuang kehilangan bantuan dan dukungan, dimata-matai, diserang oleh angkatan udara Italia, dan diburu oleh angkatan darat Italia yang dibantu oleh informan lokal dan kolaborator. Mukhtar tetap berjuang meskipun kondisi semakin susah dan semakin berisiko. Pada 11 September 1931 dia tertangkap di daerah Zonta, desa perbatasan Libya-Mesir. Setelah pengadilan yang tidak seimbang, Mukhtar diputuskan untuk digantung di salah satu kamp konsentrasi dan dieksekusi dua hari kemudian.

*****
Mengikuti sejarah perjuangan Omar Mukhtar yang menentang penjajah Italia di Libya buat kita serasa tidak asing. Mungkin karena di daerah kita sendiri, Karawang-Bekasi, perjuangan melawan penjajah Belanda juga dipimpin oleh ulama, yaitu guru kita almaghfurlah KH. Noer Alie. Bahkan menurut para saksi sejarah, perlawanan yang dilakukan Noer Alie dan anak buahnya merupakan perlawanan yang sangat sengit, dan membuat Belanda mengalami kerugian yang tidak sedikit. Seperti juga Omar Mukhtar, sekarang KH. Noer Alie sering diberi julukan Singa Karawang-Bekasi  sesuai nama film yang baru-baru ini dibuat untuk mengisahkan perjuangannya dalam menentang penjajah Belanda.

Menarik menyaksikan persamaan diantara kedua ulama ini meskipun berbeda ribuan kilometer jaraknya dan masa perjuangannya. Lambang bendera yang digunakan oleh gerakan Sanusiyah nyaris tidak berbeda dengan lambang yang digunakan Masyumi, partai politik tempat Noer Alie berkiprah. Keduanya menggunakan bulan bintang, yang kemudian diadopsi menjadi lambang bendera di berbagai negara muslim seperti Libya, Maroko, Aljazair, Pakistan dan Malaysia.

Kalau Omar Mukhtar akhirnya tertangkap oleh tentara Italia, KH. Noer Alie juga sebenarnya pernah tertangkap serdadu Belanda di daerah Banten. Tapi karena kecerdikannya, akhirnya ia terlepas dari penjagaan serdadu Belanda. Menurut cerita orang kampung, ancaman Belanda terhadap Noer Alie tidak main-main: akan digantung di lapangan sehingga semua orang dapat menyaksikannya dan diharapkan membuat takut semua gerakan perlawanan rakyat. Hal itulah yang dialami oleh Omar Mukhtar setelah tertangkap tentara Italia. Ia digantung di tengah lapangan, di sebuah kamp konsentrasi penduduk di daerah Cyrenaica.

KH. Noer Alie juga dikenal melakukan taktik dan strategi perang gerilya (hit and run) terhadap penjajah Belanda. Gerak perjuangannya luas, meliputi Bekasi, Depok, Bogor Selatan dan Banten. Terus ke utara meliputi Sembilangan, Batujaya (Karawang), Johar. Bahkan ketika Agresi Militer dilakukan oleh Belanda paska proklamasi kemerdekaan, Noer Alie dan tentaranya ikut serta "long march" bersama TNI ke Yogyakarta dari Jawa Barat, sebagai akibat ditandatanganinya perjanjian Renville, yang mengharuskan TNI dan barisan perjuangan lainnya mengosongkan "daerah kantong", daerah yang dianggap Belanda sebagai daerah yang susah dikuasai kembali Belanda melalui NICA karena kuatnya pertahanan TNI dan barisan perjuangan rakyat.

Ketika Belanda dan sekutunya akhirnya pergi dari Indonesia KH Noer Alie terlibat aktif dalam partai Islam Masyumi, partai yang merupakan gabungan seluruh kekuatan politik ummat Islam tahun 1950an. Tadinya ia hanya memimpin cabang Bekasi tapi kemudian menjadi anggota pengurus pusat, dan terlibat perdebatan panas ketika menjadi wakil Masyumi di Konstituante, tahun 1955-1959. Ironisnya, ketika sama-sama berhasil mengusir "musuh" fisik dalam bentuk penjajahan, kini ia harus berhadapan dengan dengan teman sendiri sebagai "lawan ideologis" seperti para nasionalis sekuler dan fraksi komunis yang tidak menginginkan Indonesia memiliki Islam sebagai dasar negara. Kali ini ia harus mengalah dengan turunnya Dekrit Presiden 1 Juli 1960 untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dan dimulainya kediktatoran Soekarno yang dibungkus dengan nama "Demokrasi Terpimpin".

Di tengah perdebatan di Konstituante itu, KH. Noer Alie mendirikan Majelis Ulama Indonesia, semacam ikatan diantara para ulama, yang waktu itu banyak berkumpul di Bandung (tempat dilakukannya sidang-sidang Konstuante), untuk membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan. Dengan demikian KH. Noer Alie, selain pejuang, ia juga pencetus dan pendiri Majelis Ulama Indonesia. Sebagaimana diketahui, MUI versi resmi didirikan pada tahun 1975 atas prakarsa pemerintah dengan Allahyarham Buya Hamka selaku ketua pertamanya. Bedanya, MUI pimpinan KH. Noer Alie merupakan organisasi ulama yang sangat independen sedangkan MUI yang didirikan pemerintah 15 tahun berikutnya sepenuhnya ditangani pemerintah.

Jika Umar Mukhtar harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan penjajah Italia, KH. Noer Alie harus berhadapan dengan usaha "penggantungan" terhadap kebebasannya berpendapat. Dan itu terjadi di masa orde baru, masa-masa dimana seharusnya ia beristirahat di usia senjanya di pondok pesantrennya yang damai. Ia harus mengatur ceramahnya sedemikian rupa agar tidak terjebak pada politik pembungkaman pemerintah terhadap kekuatan politik Islam di luar partai politik "boneka" ciptaan pemerintah. Tapi bukan KH. Noer Alie namanya jika harus menyerah terhadap kemungkaran. Ia terus berjuang, meskipun lewat pengajian keliling di sekitar masjid di kabupaten Bekasi. Ia mengajarkan masyarakat tentang Islam secara menyeluruh (kafah) melalui kitab hadits dan fiqih yang dibacanya di depan jamaah. (Analisa inteligent saat itu mengatakan bahwa KH. Noer Alie memang tidak mengajak masyarakat untuk menentang pemerintah, tapi jika dibiarkan terus menerus, usahanya itu akan menyebabkan masyarakat menjadi fanatik dan menolak semua yang dianggap bukan dari agamanya). Ia seakan tidak peduli pemerintah mau berkata apa, dan terus berjuang mencerdaskan jamaahnya, membebaskan mereka dari belenggu pemasungan kebebasan berpendapat. Jika Kasman Singodimedjo (mantan Didancho PETA jaman Jepang, dan salah satu anggota elite Masyumi) punya prinsip "hidup itu berjuang", nampaknya prinsip itu oleh KH. Noer Alie bukan sekedar jadi kata-kata melainkan sikap hidup dan perbuatannya sepanjang kehidupannya.

Sekian puluh tahun Omar Mukhtar meninggal dan tidak ada yang memperdulikan namanya. Bahkan oleh dinasti Sanusiyah yang memerintah setelah Italia meninggalkan Libya. Baru setelah Khadafi melakukan kudeta tidak berdarah kepada dinasti itu, nama Omar Mukhtar diabadikan sebagai nama universitas yang sebelumnya memakai nama dinasti yang sama. 
Sekian tahun nama KH. Noer Alie hanya dikenal di sekitar Bekasi, walaupun ia memiliki rekan di berbagai kalangan, baik sipil mupun militer. Semakin lama namanya semakin pupus  jika tidak ada pengakuan Jenderal AH. Nasution tentang kiprahnya dalam perjuangan dan revolsi fisik. Pengakuan itulah yang kemudian menjadi kartu truf dan berhasil meyakinkan pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan nasional sang singa Karawang-Bekasi ini.

*****

Omar Mukhtar dan KH. Noer Alie adalah sedikit dari guru yang patut ditiru. Keyakinan pada Tuhan, kecintaan pada ilmu, keberanian berpegang kepada kebenaran, kegigihan dalam memperjuangkan agama dan ummatnya, kesederhanaan dalam kehidupan duniawi dan kesediaan untuk berkorban merupakan ciri khas dari karakter mereka. Mereka sendiri mungkin menganggap apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang biasa dan tidak ada niat sedikitpun untuk dibanggakan (bahkan dijual) - sesuatu yang lahir dari sikap tawadhu' dan wara' seorang guru. Akan tetapi, justru karena bersikap biasa inilah, orang menganggapnya sebagai suatu yang luar biasa. Karakter yang terasa semakin langka ditemui saat ini.

Bagaimanapun, saya beruntung karena pernah mesantren dan diajar langsung oleh KH. Noer Alie serta merasakan semangatnya yang luar biasa, apabila beliau sedang bicara tentang perjuangan menentang penjajahan dan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan. Saya juga beruntung bisa membaca kisah heroik Omar Mokhtar dari berbagai sumber, terutama internet, termasuk dari DVD bajakan yang saya beli dari penjaja jalanan dekat kantor.

Allaahummaghfirlahumaa waj'alhumaa syaahidayni
Ya Allah ampunilah keduanya dan jadikanlah keduanya sebagai syahid

Kebon Sirih, Juni 2011

1 comment:

Sekola Hijau said...

dan semoga semangat mereka dapat berinkreanasi