Halal BIhalal (yang sekarang disebut Silatnas) 2016 kali ini memang sedikit unik. Sudah dari enam bulan sebelumnya panitia sudah sibuk membuat acara dalam rangka bikin semarak. Ada lomba filem pendek, lomba tulisan, seminar dan bazaar. Entah kenapa kemudian nama saya jadi muncul jadi dewan juri dan moderator seminar. Kalau yang terakhir sih mungkin sering saya lakoni selaku anggota tim pengembangan di kantor yang mengharuskan kesiapan untuk itu. Lha juri lomba film, kata orang Jungmalang, "kaga ada dari sonohnya"?
Meski merasa "agak aneh" dengan kehadiran para peserta seminar ekonomi Islam yang 40 orang (sebagian besarnya panitia) -padahal yang hadir lumayan kaliber, Prof. Jaih Mubarak dari DSN dan Iggi Haruman Achsien (komisaris BMI), bahkan diresmikan oleh guru kita KH. Nurul Anwar- kemunculan 9 film pendek hasil karya peserta lomba dari beberapa periode alumni, lumayan menghibur. Sepanjang ingatan saya, belum pernah para santri diminta membuat film sebagai pelasanaan tugas sekolah di Attaqwa. Berbeda dengan kurikulum SMA sekarang khususnya jurusan IPS, dimana para siswanya (per kelompok) diminta membuat video pendek sebagai tugas pelajaran Bahasa Indonesia.
Karena saya bukan pakar, maka saya minta bantuan Gus Sirojudin Mursan yang sering ikutan sarasehan bersama para insan film, untuk ikut menilai sambil buka puasa bareng. Sayangnya kritikus kondang kita, bung Darso Arief keburu mudik ke pulau Rote abis itikaf di masjid pondok.
Kesimpulan kita, sebagai sebuah karya amatiran, para alumni kita memang luar biasa. Mengikut istilah guru Mahya, mereka pada punya ilmu laduni, ilmu yang didapat karena mencari sendiri. (saya ngga pasti ini istilah bener atau ngga. Pokoknya begitu dah). Mereka sudah bisa bikin film pendek meskipun belum pernah belajar bahkan teknik dasarnya sekalipun ketika di pondok. Semangat berkarya (dan dakwah) lewat film seperti ini menurut saya layak diapresiasi. Tapi kalau dilihat dari kualitasnya, memang banyak yang perlu ditingkatkan. Sebagai karya perdana, cukuplah kesan pertama yang muncul adalah salut. Kecuali sebagian kecil yang dibuat terkesan asal-asalan, bahkan absurd alias ngga bisa dimengerti "maksudnya apah ini bocah."
Karena itu saya juga batasi penilaian pada 2 dari 3 aspek penting, kesesuaian tema dan akting pemain. Sementara teknik sinematografinya saya serahkan kepada ahlinya. Meskipun sering ikutan fotografi, soal jepret-jepret mungkin lebih pengalaman kang Adang Iskandar, guru Tokri alias Achmad Taher, kang Adang Ridwana, cak Nur ( Nur Kholis) atau sekalian bang Abu Bagus dan bung Darso Arief yang memang asli wartawan. Semua karya itu pernah dipamerkan di laman Marhalah Iltizam, dan siapapun bisa akses. Tapi kalau besok ada yang menang diluar perkiraan penonton, tolong jangan kecewa. Karena penilaian juri tidak didasarkan banyaknya "like" di posting itu.
Yang saya heran justru lomba tulisan yang pesertanya hanya 3. Padahal Attaqwa dikenal melahirkan banyak penulis. Sebut saja Bang Inayatullah Hasyim, Dr. Abdul Hayyie Al Kattani, Luthfi Assyaukanie, dan lain-lain. Belum lagi yang udah jadi wartawan. Apa karena tradisi tulis menulis sudah mulai ditinggalkan, akibat pengaruh medsos yang membuat orang cuma bisa "like", "share" dan "comment" sedikit.
Saya ucapkan selamat buat panitia yang kali ini dikomandani lulusan tahun 2006 menamakan diri mereka dengan singkatan keren, Iltizam (sebuah tren sejak 10 tahunan ini, alumni Attaqwa membuat nama alumni angkatan sendiri, sebuah kreatifitas tersendiri) Buat saya, acara mengumpulkan karya alumni sama hebatnya dengan acara silatnas itu sendiri, yang tidak jarang isinya cuma pekan ceramah, kangen-kangenan dan makan. (Atau memang seharusnya acara halal bihalal dilakukan hanya untuk itu?). Bahkan acara ziarah ke makam Almaghfurlah yang kata bung Abu Bagus merupakan ritus halal bihalal dari masa ke masa, malah ditinggalkan. Saya masih bermimpi di acara Silatnas ada rapat singkat kumpulan perwakilan seluruh alumni dari mulai angkatan pertama sampai terakhir, walaupun agendanya cuma singkat. Sudahlah keinginan menjadikan forum longgar ini sebagai arena pameran bisnis alumni dan jaringan info lowongan kerjaan antar alumni, cuma tinggal khayalan.
Selain itu, Silatnas saat ini sering jadi seperti acara "kriaan" -istilah orang Cikarang untuk acara perhelatan perkawinan. Kali ini ada band "Wali", yang untuk mengatangkannya pun tentu perlu biaya besar. Penceramahnya pun tidak tanggung-tanggung, Yusuf Mansur yang udah jadi selebriti di media massa, walaupun sudah dikritik bung Darso Arief lewat bukunya "Menebar Cerita Fiktif Menjaring Harta Ummat". Seperti halnya bung Darso, saya juga punya catatan panjang tentang beliau. Hanya saja sebagai orang yang bekerja di pengawasan lembaga keuangan, catatan itu menjadi "rahasia jabatan", artinya rahasia yang harus dipegang, dan mengakibatkan risiko terhadap profesi kalau diungkap sendiri. Tapi kalau panitia maunya begitu, apa kita bisa usulkan lain?
Mudah-mudahan lomba film yang bikin saya "mendadak pakar" di acara Silatnas 2016 ini diiringi dengan karya-karya lain yang fenomenal. Buat saya ini lebih bermakna dari sekedar ngumpul dan makan-makan. Apalagi pakai acara jalan-jalan yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Dan hasilnya cuma selfie atau wefie di facebook atau group WA.
Wallahu A'lam
Foto by Deros
Karena saya bukan pakar, maka saya minta bantuan Gus Sirojudin Mursan yang sering ikutan sarasehan bersama para insan film, untuk ikut menilai sambil buka puasa bareng. Sayangnya kritikus kondang kita, bung Darso Arief keburu mudik ke pulau Rote abis itikaf di masjid pondok.
Kesimpulan kita, sebagai sebuah karya amatiran, para alumni kita memang luar biasa. Mengikut istilah guru Mahya, mereka pada punya ilmu laduni, ilmu yang didapat karena mencari sendiri. (saya ngga pasti ini istilah bener atau ngga. Pokoknya begitu dah). Mereka sudah bisa bikin film pendek meskipun belum pernah belajar bahkan teknik dasarnya sekalipun ketika di pondok. Semangat berkarya (dan dakwah) lewat film seperti ini menurut saya layak diapresiasi. Tapi kalau dilihat dari kualitasnya, memang banyak yang perlu ditingkatkan. Sebagai karya perdana, cukuplah kesan pertama yang muncul adalah salut. Kecuali sebagian kecil yang dibuat terkesan asal-asalan, bahkan absurd alias ngga bisa dimengerti "maksudnya apah ini bocah."
Karena itu saya juga batasi penilaian pada 2 dari 3 aspek penting, kesesuaian tema dan akting pemain. Sementara teknik sinematografinya saya serahkan kepada ahlinya. Meskipun sering ikutan fotografi, soal jepret-jepret mungkin lebih pengalaman kang Adang Iskandar, guru Tokri alias Achmad Taher, kang Adang Ridwana, cak Nur ( Nur Kholis) atau sekalian bang Abu Bagus dan bung Darso Arief yang memang asli wartawan. Semua karya itu pernah dipamerkan di laman Marhalah Iltizam, dan siapapun bisa akses. Tapi kalau besok ada yang menang diluar perkiraan penonton, tolong jangan kecewa. Karena penilaian juri tidak didasarkan banyaknya "like" di posting itu.
Yang saya heran justru lomba tulisan yang pesertanya hanya 3. Padahal Attaqwa dikenal melahirkan banyak penulis. Sebut saja Bang Inayatullah Hasyim, Dr. Abdul Hayyie Al Kattani, Luthfi Assyaukanie, dan lain-lain. Belum lagi yang udah jadi wartawan. Apa karena tradisi tulis menulis sudah mulai ditinggalkan, akibat pengaruh medsos yang membuat orang cuma bisa "like", "share" dan "comment" sedikit.
Saya ucapkan selamat buat panitia yang kali ini dikomandani lulusan tahun 2006 menamakan diri mereka dengan singkatan keren, Iltizam (sebuah tren sejak 10 tahunan ini, alumni Attaqwa membuat nama alumni angkatan sendiri, sebuah kreatifitas tersendiri) Buat saya, acara mengumpulkan karya alumni sama hebatnya dengan acara silatnas itu sendiri, yang tidak jarang isinya cuma pekan ceramah, kangen-kangenan dan makan. (Atau memang seharusnya acara halal bihalal dilakukan hanya untuk itu?). Bahkan acara ziarah ke makam Almaghfurlah yang kata bung Abu Bagus merupakan ritus halal bihalal dari masa ke masa, malah ditinggalkan. Saya masih bermimpi di acara Silatnas ada rapat singkat kumpulan perwakilan seluruh alumni dari mulai angkatan pertama sampai terakhir, walaupun agendanya cuma singkat. Sudahlah keinginan menjadikan forum longgar ini sebagai arena pameran bisnis alumni dan jaringan info lowongan kerjaan antar alumni, cuma tinggal khayalan.
Selain itu, Silatnas saat ini sering jadi seperti acara "kriaan" -istilah orang Cikarang untuk acara perhelatan perkawinan. Kali ini ada band "Wali", yang untuk mengatangkannya pun tentu perlu biaya besar. Penceramahnya pun tidak tanggung-tanggung, Yusuf Mansur yang udah jadi selebriti di media massa, walaupun sudah dikritik bung Darso Arief lewat bukunya "Menebar Cerita Fiktif Menjaring Harta Ummat". Seperti halnya bung Darso, saya juga punya catatan panjang tentang beliau. Hanya saja sebagai orang yang bekerja di pengawasan lembaga keuangan, catatan itu menjadi "rahasia jabatan", artinya rahasia yang harus dipegang, dan mengakibatkan risiko terhadap profesi kalau diungkap sendiri. Tapi kalau panitia maunya begitu, apa kita bisa usulkan lain?
Mudah-mudahan lomba film yang bikin saya "mendadak pakar" di acara Silatnas 2016 ini diiringi dengan karya-karya lain yang fenomenal. Buat saya ini lebih bermakna dari sekedar ngumpul dan makan-makan. Apalagi pakai acara jalan-jalan yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Dan hasilnya cuma selfie atau wefie di facebook atau group WA.
Wallahu A'lam
Foto by Deros
1 comment:
SIang Pak,
saya baca artikel bapak ttg perjalanan ke Mauritius,
bagaimana cara bikin visanya ya pak? karena saya sudah muter2 ke semua travel mereka gaada yang bisa bikinin visa ke mauritius. Kok bapak bisa dapat visa on arrival? Bukannya visanya prior to travel pak?
Terima kasih banyak pak bantuannya. Saya rencana ke mauritius bulan november pertengahan. Terima kasih.
Post a Comment