Pages

Thursday, November 3, 2022

Ribednya Pengawasan di Yayasan

Kata orang, kelemahan lembaga Islam (baca: yayasan) adalah manajemen. Orang yang paling sering mengungkapkannya adalah Bang Imad (Dr. ‘Imaduddin ‘Abdulrahim), penulis buku Kuliah Tauhid (1979) yang populer itu. Tapi sebagai santri yang dididik di pesantren semi-modern sulit memahami memahami premis itu. Sejak masuk tingkat Aliyah kami sudah dididik praktek organisasi. Disuruh jadi pengurus. Didalamnya belajar perencanaan, pengorganisasian, struktur, pelaksanaan dan pelaporan. Ada raker dan orientasi pengurus. Ada evaluasi dan suksesi dalam bentuk kongres dengan nama Sidang Pleno. Juga usulan program kerja dan rekomendasi kepada Yayasan. Pokoknya manajemen dalam arti kecil udah dijalanin deh, kata orang Bekasi.
Bagi santri yang diangkat jadi pengurus, terutama ketika Ngkong Kiai masih hidup, jangan pernah bisa berfikir bisa nyantai alias leha-leha. Yang mau jadi ketua saja daftar namanya harus masuk ke Pimpinan Umum, sebulan sebelum Pleno. Beliau harus periksa latar belakang dan track recordnya. Fit and Proper istilah sekarang. Yang sejarahnya bagus, ngga bikin rusuh, insya Allah lolos. Yang sering bolos, apalagi berantem, bakal kena coret. Wilayah ini adalah jurisdiksi khususon milik Ngkong Kiai. Tentunya berdasarkan info dari berbagai pihak, terutama guru-guru. Pernah ada nama calon ketua I (kelas 6 alias III Aliyah) dicoret dari daftar. Ketika ditanya apa alasannya, para guru geleng kepala. Ngkong Kiai ngga ngasih alasan apa-apa. Pokoknya terima aja. Serem ya?
Tapi soal confidentiality begini ternyata bukan milik Kiai seorang. Saya pribadi ketemu lagi puluhan tahun kemudian. Ketika saya bekerja jadi pengawas bank, hal yang sama dilakukan di tempat saya bekerja. Terhadap calon direksi yang hasil fit and propernya ditolak, otoritas tidak wajib menjawab apa alasannya. Authority does not have any obligation to give any reason. Demikian jargon dunia regulator. Jadi soal confidentiality dalam track record, Ngkong Kiai sudah lebih dulu, coy. Nggak tau ilmunya darimana. Mungkin dari pengalaman dunia militer dan politik beliau. Buat yang pernah hatam ilmu ulumul hadits kayak ustaz Nuryadi Asmawi mungkin bisa membandingkannya dengan metode Jarh wat ta’dil. Ini kiat menentukan seorang perawi bisa diterima atau tidak haditsnya, dilihat dari kehidupannya sehari-hari. Bedanya, hasil pemeriksaan track record perawi ini harus diungkap dalam riwayat hadits.
Buat yang udah selesai jadi pengurus wajib bikin laporan pertanggungjawaban. Selesai? Belum. Percayalah, ditengah kesibukannya sebagai pimpinan umum, ngkong Kiai menyempatkan diri membaca. Termasuk laporan pertanggunjawaban pengurus pelajar, baik kegiatan maupun keuangan. Pernah ada laporan pertanggungjawaban pengurus dikembalikan penuh dengan coretan dan tanda tanya dari Ngkong Kiai. Lengkap dengan tapak balak (tanda silang) di halaman-halaman lampiran laporan keuangan. Itu artinya laporan keuangan ente ngga beres. Pasti ada yang salah angkanya. Ngkong Kiai ngasih ilmunya begini. Laporan keuangan mah gampang mereksanya. Kalau satu angka di atas salah, ke belakang juga salah semua. Bener juga sih. Waktu itu kan komputer belum musim, jadi pengurus harus ngitung angkanya pake manual. Angka-angka ditulis dari atas kebawah, dijumlah atau dikurang. Alat bantunya paling banter pake kalkulator. Sekarang mah santri udah pada gape sama program Excel. Kalau jumlahnya masih salah bae, berarti, menurut istilah orang Bekasi, matalu kotok. Alias ngga teliti ngentri datanya.
Terkadang muncul pertanyaan iseng, kalau kita diawasin ngkong Kiai, kira-kira siapa yang ngawasin Ngkong Kiai? Disini ungkapan Bang Imad ada benarnya. Bahwa lembaga Islam pasti punya manajemen, buktinya ada ketua yayasan, sekretaris, bendahara de-es-be. Tapi apakah mereka benar dalam menjalankan programnya, kudu ada penilaian. Kalau mereka dianggap benar, siapa yang menilai/mengawasi?
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 (diubah menjadi Undang-undang No. 28 tahun 2004) tentang Yayasan sudah memberikan jawaban terhadap hal itu. Undang-undang ini memberikan porsi pengawas sejajar dengan pengurus. Mereka bertemu di Pembina (dulu namanya Pendiri). Pada kondisi tertentu. Pengawas dapat memberhentikan alias memecat Pengurus. (wuih) Masalahnya ketika ditanya apa aja tugas pengawas, kebanyakan menjawab dengan mengangkat bahu. Kebayang ngga sih, wewenang begitu besar tapi job desk nya ngga jelas? Makanya jangan heran kalau sering kejadian, ada yayasan yang keuangannya jebol, tapi pengawas malah tidak tahu menahu. Baru dah pada ribut, saling menyalahkan.
Seorang teman di perbankan mengusulkan agar pengawas yayasan menyusun SOP alias Standard Operating Procedure untuk pengawasan. Baik yang bersifat laporan (off site supervision) atau audit (on site supervision). Off site supervision artinya pengawas duduk di kantor, menunggu laporan pengurus. Lalu diteliti dan dikomentari. Sedangkan on site supervision artinya pengawas melakukan audit di kantor pengurus (dan bagian-bagian di bawahnya), meneliti semua dokumen surat, bukti transaksi, saldo rekening bank de-el-el. Bikin prosedur pengawasan seperti ini tentu tidan sembarangan. Harus dengan persetujuan Pembina selaku wakil dari stake holder alias pemangku kepentingan (baca: ummat dan para wakifin). Dengan demikian Good Corporate Governance di lembaga Islam bisa berjalan dengan baik.
Bagaimana hasilnya? Jika anda berfikir hal ini berjalan mulus, maka anda salah. Yang terjadi adalah kebanyakan pengurus (terutama Ketua) seperti kebakaran jenggot. Dengan pola pengawasan seperti ini, mereka merasa kantongnya dionok-obok. Semua transaksi keuangan dan pergerakan asset diketahui oleh pengawas. Padahal selama ini kan cuma Ketua yang pegang. Apa yang ditulis Masdar Farid Masudi dulu di majalah Prisma, bahwa pesantren itu kerajaan dan kiai adalah rajanya, jadi terbukti. Mana ada raja yang mau membuka semua kekayaan pribadinya kepada orang lain?
Ada juga yang curiga bahwa kalau diinfokan semua asset (dan hutang) kepada pengawas, maka pengawas akan menginfokan kepada public. Sehingga kelemahan dan kekurangan Yayasan akan diketahui orang banyak. Yang begini biasanya nggak ngerti tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pengawas. Tugas pokok pengawas adalah mengawasi jalannya program dan keuangan sesuai dengan program dan ketentuan yayasan. Fungsinya adalah mencegah adanya ketidaksesuaian antara rencana dan pelaksanaan. Jangan lupa juga bahwa pengawas juga punya aturan hukum alias kode etik. Diantaranya adalah prinsip harus tahu semuanya, tapi tidak boleh memberitahu siapapun, kecuali Pembina. Jadi soal pengawasan adalah soal system, bukan urusan pribadi. Kecuali jika pengurus punya kepentingan pribadi yang berbeda dengan kepentingan yayasan.
Banyak cerita lain tentang penerapan pengawasan di lembaga Islam ini. Dari cerita-cerita ini ada teman yang menarik kesimpulan menarik. Apa yang terjadi di kalangan organisasi santri itu real management dimana semua pihak tidak punya kepentingan kecuali kesuksesan periode/angkatan. Sehingga pengawasan apapun akan berjalan dan pengurus siap menerimanya dengan ikhlas. Sedangkan pengawasan yayasan akan mengalami liku-liku, karena sudah melibatkan banyak kepentingan pribadi, selain kepentingan tertinggi, yaitu visi dan misi yayasan. Mengikut semboyan PPATK dulu, kalau memang bersih, kenapa harus risih.
Wallahu A’lam

No comments: