Ditulis untuk milis Keluarga Besar Alumni Attaqwa (attaqwa-bekasi@yahoogroups.com)
Departemen Agama baru saja mengumumkan Hasil Sidang Isbat Majlis Hisab dan Rukyat tentang penetapan 1 Syawwal 1430 H. Idul Fitri tahun ini jatuh pada hari Ahad 20 September 2009. Ketetapan itu disimpulkan dari kesaksian 25 orang yang disumpah untuk melihat bulan pada 25 titik yang berbeda di seluruh Indonesia. Dengan demikian malam ini tidak ada tarawih lagi. Diganti dengan takbir yang menandakan besok lebaran. Malam ini adalah malam takbiran. Pengumuman itu amat bermakna buat bangsa ini, yang sering dirundung lebaran beda-beda hari. Penetapan bahwa 1 syawwal 1430 H jatuh pada hari Ahad 20 September 2009 sama dengan ketetapan Muhammadiyah. Ormas yang selalu menggunakan hisab ini, seminggu sebelumnya sudah “mendeklarasikan” bahwa Iedul Fitri jatuh pada hari tersebut. Sementara Nahdlatul Ulama adem ayem saja, menunggu keputusan Departemen Agama. Tapi ada jemaah lain –Annazir di Ujungpandang-yang sudah melaksanakan shalat Ied pada hari Sabtu, 19 September 2009. Entah apa yang dijadikan dasar penetapan itu. Maklumlah di negara ini banyak yang maunya “berani tampil beda”.
Tapi penetapan Departemen Agama membuat lega semua orang. Artinya sebagian besar masyarakat Indonesia tahun ini merayakan lebaran pada hari yang sama. Padahal tahun lalu saja dalam sebuah komplek perumahan terjadi bunyi yang berbeda. Dari satu sudut sudah terdengar takbir, di sudut lain masih terdengar orang yang sedang tarawihan. Besok paginya, ketika sebagain ibu-ibu pergi belanja untuk persiapan buka puasa, di halaman perumahan sudah ada orang yang shalat iedul fitri. Tanya kenapa?
Dari sudut metodologi, tidak salah orang berbeda hari merayakan Iedul Fitri. Dalam sejarah Islam juga sering terjadi seperti itu. Tapi hal ini sangat fundamental jika dilihat dari sisi haram-halal. Bagaimana satu kelompok menyatakan hari ini masih haram sarapan, sementara yang lain menyatakannya haram berpuasa (Iedul Fitri termasuk hari yang diharamkan orang berpuasa). Oleh karena itu negara-negara yang konservatif seperti Malaysia dan Brunei tidak pernah mentolelir perbedaan dalam merayakan Iedul Fitri. Buat mereka, penetapan 1 Syawwal adalah hak prerogative Sultan. Yang berbeda hari dalam merayakan lebaran adalah pembangkangan. Oleh karena itu mereka harus masuk penjara. (Saya pernah menyaksikan sendiri peristiwa itu pada tahun 1994, ketika sekelompok masyarakat beraliran Syiah di Bangi, Selangor, merayakan Iedul Fitri satu hari lebih awal dari ketetapan pemerintah. Setelah melaksanakan shalat iedul fitri mereka langsung digiring ke penjara). Buat kita mungkin agak berlebihan. Tapi buat ummat yang rentan terhadap perpecahan, menurut hemat saya, perlu ada aturan tegas seperti itu.
***
Malam lebaran tahun ini saya lewati bersama keluarga di perumahan yang kebanyakan penduduknya sudah balik kampung. Ada yang ke Jawa Tengah, Kuningan dan bahkan Kalimantan. Sambil mengucapkan takbir bersama, mengikuti alunan takbir dari masjid sekitar komplek, saya melihat-lihat album foto keluarga. Saya berhenti pada foto ketika saya masih di pondok. Dalam foto itu saya –bersama teman sekelas, mengenakan kain sarung, baju putih dan songkok hitam. Foto itu sebenarnya dibuat di depan kelas yang halamannya menyatu dengan masjid. Karena anglenya mengarah ke masjid, jadinya kita-kita seperti berada di halaman masjid, dan seakan-akan baru selesai shalat. Padahal foto itu dibuat pagi hari, dan pastinya hari Jumat, hari dimana para santri diwajibkan menggunakan kain sarung sebagai seragam sekolah.
Malam takbiran seperti ini mengingatkan saya pada dua buah kenangan yang tak terlupakan. Pertama ketika pulang dari I’tikaf di masjid pondok dan ketika kelas 3 aliyah. Satu lagi ketika masih kuliah di Islamabad, Pakistan. Selama 6 tahun di pondok saya tidak pernah meninggalkan I’tikaf. Dimulai ketika masih duduk di 1 aliyah sampai ketika sudah di tahun ke 3 Pesantren TInggi (jenjang pendidikan setelah aliyah). Ketika masih di kelas 1 aliyah kehadiran saya di masjid untuk I’tikaf membuat heran banyak orang, karena umumnya para santri justru menghindari kegiatan ini. I’tikaf buat mereka adalah kewajiban para siswa 3 aliyah yang akan menghadapi ujian bacaan Alquran dengan Pak Kiai,. Atau untuk para orang tua yang sudah “dekat dengan kuburan.” Kalaulah para santri tahu, justru kegiatan I’tikaf yang dipelopori pak Kiai, dan saat itu masih dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat, kini jadi tren masyarakat professional di perkotaan. Saya yang jebolan pondok pesantren seringkali merasa risih kerena teman-teman sekantor berebut cuti di 10 hari terakhir puasa, hanya untuk i’tikaf itu. Bahkan buat mereka yang tidak kebagian cuti, terpaksa melakukan I’tikaf malam. Sementara siang harinya mereka tetap bekerja seperti biasa.
Begitu banyak yang diperoleh semasa I’tikaf di masjid pondok. Para orang tua yang ramah, kegiatan yang terorganisir, tadarrus yang terus menerus dan ceramah Pak Kiai yang kadang-kadang membuat kita terkejut karena mengungkap sejarah yang tidak pernah diceritakan pada orang lain. Terkadang peserta I’tikaf dibuat ger-geran karena peserta grup yang sedang takhtim (khataman Quran) salah membaca ayat. Biasanya yang begini terjadi karena si peserta gugup. Siapa sih yang tidak gugup kalau di depannya ada Pak Kiai dan guru-guru “berkaliber” dalam soal Quran? Tapi terus terang saja, bacaan Quran kita akan lancar (bahasa Betawinya gape) karena selama 10 hari tadarrus dilakukan nyaris tidak pernah berhenti. Mulai jam 8 pagi sampai zuhur. Diteruskan lagi ba’da Ashar sampai Maghrib . Setelah itu nyambung lagi ba’da tarawih sampai jam 11 malam. Makanya sungguh keterlaluan jika ada lulusan Aliyah Attaqwa yang tidak lancar membaca Quran.
Dalam mengajarkan membaca Quran, Pak Kiai selalu menekankan pentingnya “tartil”. Dia termasuk yang kurang suka kepada orang yang membaca Quran dengan lagu, padahal makhrajnya amburadul. “Yang begitu” katanya “baca Quran nggak ada pahalanya.” Dia juga marah kepada grup tadarrus dalam I’tikaf yang kalau tilawah “seperti kereta api”. Maksudnya bacaannya cepat tapi tidak menghiraukan ilmu tajwid. Pernah satu grup tadarrus gagal takhtim karena Pak Kiai curiga bacaannya terlalu cepat dan permohonan khataman dilalukan dalam dua hari! (Ketika khataman semua grup berkumpul dan melakukan doa bersama, dipimpin pak Kiai). Pola bacaan tartil yang diajarkan pak Kiai ini saya terapkan ketika diminta menjadi mentor tadarusan di kantor, sampai saat ini. Kami memang khataman setelah melewati 3 Ramadhan, tapi semua orang puas, karena memperoleh ilmu tajwid praktis dan bacaan Quran jadi betul.
***
Saya teringat malam takbir tiba dan I’tikaf yang saya ikuti pertama kali, berakhir. Pak Kiai mengumumkan penetapan 1 syawwal yang diperolehnya dari departemen agama melalui radio. (Meskipun dianggap salah satu jago ilmu falak, seperti diakui KH Khair Affandi-Tasikmalaya, pak Kiai tidak pernah mau mengumumkan penglihatannya kepada jamaah. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga persatuan ummat. Pak Kiai memang benar-benar hati nurani ummat!) Ketika menerima saya yang menyalaminya, beliau berkata: “Bilangin baba lu, tahun depan bikin I’tikaf di masjidnya, kayak gini.” Saya tidak berkomentar apa-apa selain mengucapkan insya Allah dan terima kasih. Pak Kiai nampaknya ingat betul wajah saya yang mirip ayah, sehingga begitu muncul langsung berpesan seperti itu. Perjalanan pulang dengan menggunakan ojek motor dari pondok, saya harus melewati Proyek Pertokoan Bekasi. Saat itu (1981)Proyek merupakan satu-satunya pusat perbelanjaan paling bergengsi . Dari situ saya harus naik bis tanggung ke Cikarang yang sekarang dikenal dengan Tiger (tiga perapat). Belum ada trayek lain, dan belum ada jalur tol.
Sambil menunggu bis, saya memandang pertokoan yang malam ini sangat ramai dengan orang berbelanja. Barulah kemudian saya teringat bahwa belum ada pakaian baru untuk lebaran besok. Ingin rasanya saya masuk arena pertokoan di Proyek itu, untuk beli sepotong baju atau celana, tapi uang di kantong hanya cukup untuk naik bis dan makan sekedarnya. Ada terbetik rasa sedih yang amat dalam di lubuk hati. Begini rupanya kalau orang tidak punya menghadapi lebaran. Mau beli ini dan itu tidak ada uang. Akhirnya mereka hanya puas dengan menonton orang lain berpakaian baru dan makan beragam makanan yang enak.
Tiba di rumah, ayah saya sedang berdiskusi dengan sahabat dan murid-muridnya, sambil mendengarkan orang-orang yang sedang takbir di mushalla depan rumah. (Kalau ada yang salah lafaz, biasanya dia “turun tangan” dan membetulkan lafaz takbir itu. Di jaman dia masih ada, jangan harap orang yang tajqidnya cuma setengah-setengah tampil jadi imam shalat atau memimpin takbir. Bisa-bisa jadi urusan nantinya). Melihat saya datang ia menyambut saya dengan wajah berseri. Saya tidak pernah lupa ucapan yang dilontarkannya saat itu, “Elu memang punya bakat jadi murid Noer Alie” (Pak Kiai maksudnya).
Saya sampaikan salam Pak Kiai kepadanya, bahwa beliau minta kita buat I’tikaf di masjid sendiri. Dia lalu komentar singkat, “itu yang sulit kita buat disini. Orang-orangnya kagak doyan ibadah. Kalau arak-arakan getol banget”. Maksudnya takbir keliling pakai kendaraan, yang dia sendiri sangat membencinya.
Ibu dan kakak saya memandang saya dengan aneh. Ketika orang-orang sibuk mencari pakaian baru buat lebaran, fikir mereka, anak ini malah lari ke masjid untuk itikaf. Tapi saya sudah tidak perduli. Kepuasan beritikaf mengalahkan selera terhadap pernik-pernik lebaran. Lagian, fikir saya, lebaran kan cuma satu hari. Besoknya biasa aja lagi. Selain itu, sekali-sekali lah lebaran tanpa pakaian baru. Biar ngerasain juga bagaimana rasanya orang yang tidak punya duit tapi harus lebaran dengan semua orang yang berpakaian baru.
***
Lain lagi cerita lebaran di pondok. Ini juga artinya lebaran di kampung orang lain dan terasa aneh. Di kampung, biasanya ketika turun dari masjid, langung ketemu keluarga, sobat dan para kenalan. Di pondok setelah shalat iedul fitri, kami sekelas (yang baru saja selesai ujian Quran sambil itikaf), keliling ke rumah guru-guru. Masih menggunakan sarung, di tengah matahari yang mulai naik, udara terasa menyengat. Ditambah tubuh yang semakin berat, karena di tiap rumah yang disinggahi, kita “dipaksa” untuk menyantap hidangan. Entah itu ketupat, dodol maupun uli, makanan favorit di Ujungharapan, kampung tempat kita mondok. Pulang dari keliling ke rumah guru-guru, dan Pak Kiai tentunya, kami ngumpul di pondok. Terasa sepi, karena tidak ada siapa-siapa selain kami. Semua santri libur dari awal Ramadhan sampai 10 Syawwal. Sebagian teman langsung packing, beres-beres mau pulang. Sebagian lain masih kipas-kipas karena panas.
Sekali lagi perasaan sedih sempat menyelinap. Tahun ini lebaran tidak punya pakaian baru. Baju yang dipakai untuk lebaran kali ini adalah baju kemeja yang dibeli beberapa waktu yang lalu. Saat itu baju takwa (atau lazim disebut baju koko) belum lazim dipakai anak muda. Kami menganggapnya sebagai pakaian kakek-kakek. Kalau ada anak muda yang memakainya, langsung dianggap belagak tua.
Saya pulang dan sampai di rumah sore hari. Suasananya sudah “biasa.” Lebaran sudah usai. Tidak tahan karena letih, saya langsung tertidur setelah Isya. Tidak peduli lagi pada tamu-tamu ayah (yang selalu ramai siang malam kalau lebaran tiba) yang perlu dibuatkan teh atau kopi. Ibu dan kakak saya tidak lagi komentar banyak soal pakaian lebaran. “Keanehan” saya sudah menjadi hal yang biasa.
***
Tradisi itikaf saya teruskan ketika kuliah di Islamabad, Pakistan. Tapi memasuki malam Takbiran di Islamabad, tidak ada suara takbir ataupun shalawat. Benar-benar sepi. Masyarakat Pakistan umumnya penganut mazhab Hanafi, yang tidak memiliki tradisi takbir. Bahkan di Afghanistan pernah terjadi tembak menembak gara-gara teman-teman Salafi mengumandangkan takbir dan dianggap bid’ah oleh penduduk setempat. Untunglah di Islamabad tidak separah itu perbedaan pendapatnya. Sebagian teman Indonesia ikutan takbir di KBRI Islamabad. Sebagian yang tinggal di asrama punya inisiatif untuk berkumpul dan bertakbir di kamar sealah seorang teman. Salah seorang dari mereka memasang mic FM dan menyambungkannya ke radio. Yang berada di kamar lain diminta untuk “tune-in” di gelombang yang sedang dipakai untuk takbir. Maka tak pelak satu asrama ramai oleh suara teman-teman Indonesia yang bertakbir melalui radio FM. Apalagi datang teman asal Medan yang berlagak seperti penyiar radio. Kita seperti anak jalanan yang disebut dalam lagu Chrisye, “ramai dalam kesepian”.
Capek bertakbir semua boyongan ke supermarket terdekat. Berjalan diantara toko-toko di pusat perbelanjaan itu mengingatkan diri masing-masing bahwa kita senasib. Tidak punya uang buat beli baju lebaran, di negeri orang lain. Boro-boro buat beli baju, buat buku pelajaran aja seringkali harus fotokopi. Satu-satunya hal yang menyenangkan buat mahasiswa tongpes seperti kita saat seperti ini adalah berdiri di ujung pertokoan. Dengan posisi yang lebih tinggi dari arena terbuka, mata jadi bebas memandang para pengunjung supermarket. Keistimewaan malam takbiran di Pakistan adalah, semua orang keluar dan jalan-jalan.Termasuk para wanita yang sehari-hari berada di dalam rumah atau dibalik cadar. Tentu saja mereka cantik-cantik untuk ukuran orang Indonesia. Mereka dapat dipandang, tapi jangan harap bisa kenalan apalagi pacaran.
Tapi pada malam takbiran, yang beruntung adalah penjual gelang imitasi dan penjual stempel tangan (para wanita Pakistan punya tradisi dilukis/dicap tangan jika mau nikah atau merayakan iedul fitri). Itu sebabnya ustaz Nasruddin Latief pernah secara guyon menyarankan agar kita ikut bisnis itu. “Biar bisa megang-megang tangannya orang Pakistan” katanya.
Sekali lagi terbersit rasa duka karena tidak berbaju baru pada waktu lebaran. Tapi kali ini perasaan itu segera hilang. Begitu banyak teman mahasiswa disini yang senasib. Tidak punya baju, bahkan kekurangan uang, sudah jadi santapan sehari-hari. Kami bahkan pernah diberikan zakat fitrah oleh KBRI dengan beras Basmati, beras yang dikenal bagus dan wanginya, produksi asli Pakistan. Tapi semua oke-oke saja. Kenapa musti sedih karena tidak punya pakaian baru waktu lebaran? Kalau punya uang sih silakan saja. Tetapi akan lebih bermakna jika disumbangkan kepada yang lebih memerlukan, seperti yang diupayakan sahabat saya Komarudin ibnu Mikam. Dia memilih untuk menyumbangkan THRnya bersama teman-teman kepada para guru di madrasah Attaqwa Tanjung Air di wilayah Utara Bekasi. Wilayah itu terkenal karena kekurangannya. Tapi semangat mereka meneruskan ajaran Pak Kiai sulit dicari bandingannya. Wajar bila mereka memperoleh penghargaan, walaupun berupa THR yang tidak seberapa jumlahnya!
***
Bukanlah orang yang merayakan ‘ied itu orang yang memakai pakaian baru
Tapi orang yang merayakannya adalah orang yang taatnya bertambah
Bait dari syair Imam Syafii itu diucapkan oleh Pak Kiai ketika pertama kali saya ikut itikaf. Dan itu menjadi pegangan hidup saya dalam menilai puasa dan lebaran saya sendiri. Juga dalam mengevaluasi kondisi ekonomi makro sebuah masyarakat yang berpuasa secara massal seperti di Indonesia. Hasilnya? Ternyata Ramadhan kita: puasanya lapar dan dahaga, sahurnya ketawa dan lebarannya pesta! (lihat posting saya di blog ini sebelumnya)
Terima kasih pak Kiai, terima kasih untuk itikafnya.
Wallahu A’lam
Malam Takbiran
1 Syawwal 1430 H Sabtu/19 September 2009
4 comments:
Alhamdulillah....
akhirnya kita bisa juga melewati bulan suci ramadhan ini dengan sempurna...
semoga segala amal serta ibadah yang kita lakukan selama bulan suci ramadhan diterima tanpa ada sedikitpun kekurangan..
untuk menyambut hari raya idul fitri, biasanya umat islam melakukan takbiran...
takbiran ini ada yang hanya dilakukan dimasjid atau mushola2 di sekitar rumah...
ada juga yang berkeliling mengumandangkan takbir...
biasanya takbir berkeliling ini menggunakan mobil truk ataupun lossbak...
tetapi akhir2 ini pihak keamanan sudah mulai melarang kegiatan seperti ini...
selain membahayakan serta memancing pelanggaran lalu lintas.
anak2 muda biasanya yang melakukan takbir keliling...
semoga saja takbiran keliling ini tidak disalah gunakan...
apalagi tersiar berita bahwa ada gerombolan takbiran yang membawa minuman keras serta senjata tajam...
subhanallah....
Terima kasih
Alhamdulillah. Kita menginginkan Ramadhan dan Iedul Fitri yang lebih bermakna dan berkualitas, sehingga tujuan keduanya dapat memberi dampak bagi perbaikan bangsa.
Wallahu A'lam
Selamat Iedul Fitri 1430 Hijriyah, bung H. Cecep MH. dan keluarga semoga Bahagia dan sehat2 selalu.
Terima kasih.
Taqabbalallah minnaa wa minkum
Waja'alanaa wa iyyaakum minal 'aa-idiinal faa-iziin
Kulla 'aamin wa antum bikhair
Selamat Iedul Fitri 1430
Mohon maaf lahir dan bathin
Post a Comment