Siapa yang ingin jalan-jalan ke Papua? Rasa-rasanya sih tidak ada yang mau. Kalaupun ada, cuma karena belum pernah kesana, dan perjalanannya gratis. Ada orang yang datang kesana dengan niat petualangan. Atau mau menjajah, seperti orang Belanda dulu (dan orang kulit putih lainnya). Atau orang yang terbiasa merantau dan melaut seperti orang Makassar dan Maluku. Juga orang yang siap hidup dimana saja, seperti orang Jawa dan Madura. Maka tidak heran kalau pulau yang punya dua propinsi itu memiliki komposisi penduduk yang berasal dari ras-ras itu, selain penduduk asli tentunya.
Pulau ini dulunya bernama Irian Jaya. Entah kenapa ketika Gus Dur jadi presiden ia menamakannya kembali dengan Papua. Konon nama itu berubah atas usulan penduduk setempat. Bisa jadi karena rasa sentimentil yang amat dalam. Nama “Irian” buat mereka mengingatkan kepada kesewenangan Soekarno dan orang-orang Jawa. Padahal penjajah Belanda saja tidak berani mengubahnya. Buktinya negara yang berbatasan di sebelahnyapun masih memakai nama asli dari penduduknya, Papua New Gunea.
Konon nama “Irian” juga berasal dari orang-orang Arab yang sempat mampir disana, sebelum Belanda datang. Merekalah yang pertama kali menamakan “Irian”, dari kata “’iryan” yang bahasa Arab artinya telanjang. Ini karena mereka melihat penduduknya, yang kebanyakan tidak memakai pakaian. Orang-orang Arab itu kemudian kembali ke daerah kepulauan yang mereka namakan Maluku. Nama itu plesetan dari kata “muluk” yang dalam bahasa Arab berarti raja-raja (jama dari malik). Wallahu A’lam.
Tapi yang jelas, tidak ada kemajuan berarti dengan perubahan nama dari Irian ke Papua. Bahkan setelah propinsi itu memperoleh status Otonomi Khusus sekalipun. Status itu diperoleh Papua sejak 4 tahun yang lalu. Jalan dan bangunan di Jayapura (ibukota propinsi Papua) misalnya, tetap seperti ketika pada tahun 1970an, saat Orde Baru mem “vermak” kota yang dibangun di jaman kolonial itu. Satu-satunya bangunan baru hanyalah gedung Pusat Otonomi Daerah di daerah Abepura. Paling tidak ada dua sumber keuangan yang diperoleh propinsi Papua, Dana Alokasi Umum dan Dana Otsus. Menurut informasi, jumlahnya melebihi perolehan Nanggrue Aceh Darussalam dan Riau. Jumlah ini diluar dari bantuan yang diberikan oleh gereja-gereja internasional untuk pembinaan jamaat dan pendirian infrastruktur pendukung.
Tapi kenapa Papua tetap tidak berubah? Orang aslinya masih benci menabung. Pendapatan yang didapat hari ini dihabiskan dengan pesta. Dan yang namanya pesta, itu berarti minum dan mabuk. Seringkali pagi-pagi polisi harus menyingkirkan orang-orang mabuk (dan tertidur) itu dari jalan raya. Selain itu masih sedikit orang asli Papua yang sekolah. Buat mereka, sekolah hanya buang waktu dan membiarkan diri dinilai-nilai orang lain. Lagian, seringkali orang Papua sekolah tinggi-tinggi tapi ujung-ujungnya “tak tahu adat”, katanya. Maksudnya para intelektual itu sudah berubah menjadi orang lain, yang tidak lagi ikutan pesta, begadang dan ngumpul-ngumpul.
Mayoritas orang asli masih menggunakan cara lama untuk cari uang, yaitu mengklaim tanah yang didiami pendatang sebagai tanah warisan nenek moyang. Meskipun tanah yang didiami pendatang itu sudah sah miliknya. Ketika para pendatang itu menunjukkan sertifikat hak milik, mereka dengan enteng berucap, “Bapak punya sertifikat, tapi beta punya tanahnya”. Atau, kalau pendatang itu sudah membangun rumah di atasnya, “Bapak boleh pindah itu rumah, sebab itu tanah kitorang mau pakai.” (Kebayang nggak sih mindahin rumah yang sudah dibangun permanen?)
Pengalaman lainnya adalah ketika para pendatang yang disantroni orang asli yang bilang, bahwa tanah itu memang dijual pamannya. Tapi, selaku kemenakannya, dia punya hak atas tanah itu dan belum dibayarkan. Atau ia mengaku cucu dari pemilik tanah, yang kudu dapat bagian. Kakeknya menjual tanah dengan harga di jamannya, bukan harga pada jaman sekarang. Kalau sudah begini, menurut pengalaman pendatang, siapkan saja uang sepuluh ribu atau dua puluh ribu. Mereka akan pergi dengan sendirinya. Meskipun itu tidak menjamin bahwa mereka tidak datang lagi. Jika tidak mereka yang datang, mungkin teman atau keponakan yang diberitahu soal “pendatang yang baik hati”.
Negeri Ulayat. Itu kesimpulan yang dapat ditarik dari pembicaraan orang-orang di propinsi paling timur Indonesia ini. Ketidakpastian hak penguasaan tanah membuat investasi disini jadi sepi. Mengapa kemudian Freeport dan Newmont bisa kuat, menurut orang-orang, karena sepenuhnya didukung oleh suprastruktur domestic (baca pemerintah) dan internasional (baca Amerika Serikat) dan uang yang cukup untuk para preman, baik yang berseragam maupun yang tidak resmi. Siapapun penduduk lokal yang berani mengganggu eksitensi perusahaan asing itu, ia harus siap dengan tuduhan sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), atau siap menghadapi serangan para preman lokal yang disewa perusahaan. Masalahnya kemudian jadi serius ketika para preman resmi dan tidak resmi ini bikin ulah. Mereka berusaha merekayasa kejadian/insiden keamanan yang berbuntut keputusan perlu adanya penambahan personil atau peningkatan biaya pengamanan. Hal yang biasa terjadi di Indonesia, mengaca kepada peristiwa-peristiwa di berbagai daerah, seperti Aceh, Ambon, Palu dll yang berbuntut operasi keamanan, dan tentunya, keperluan akan biaya pengamanan, atau kenaikan pangkat beberapa komandan.
***
Bagi sebagian orang, perjalanan ke Papua bukan hal yang menyenangkan. Dari Jakarta, apabila menggunakan Garuda, penerbangan harus melakukan transit di dua kota, kadang lewat Makassar dan Biak, kadang lewat Bali dan Timika. Anehnya penerbangan di kedua route itu selalu penuh. Bandara transitnya, baik Biak maupun Timika hanya bandara kecil. Beruntunglah Timika karena dirawat dengan baik dan bersih. Bisa jadi karena banyaknya orang asing yang datang kesini atau daya tarik Freeport yang maha hebat. Jika, tidak, maka nasibnya seperti Biak; kurang terawat dan sempit. Padahal Biak kini jadi ibukota propinsi Papua Barat, hasil pemekaran yang katanya ditentang oleh orang Papua sendiri.
Serba salah memang. Mau dimekarkan, ogah. Ngurus sendiri, juga tidak mampu. Diperlukan perangkat yang cukup untuk mengurus luas teritori Papua yang melebihi Kalimantan. Padahal Kalimantan sendiri sudah punya 4 propinsi. Bagaimana mau mengurus teritori itu kalau infrastrukturnya tidak cukup. Misalnya, rentang jalan di Jayapura sejak tahun 1960 sampai saat ini hanya sejauh 100 km (kalau di Jawa, itu artinya sama dengan bentangan jarak antara Cawang dengan Cikampek). Selebihnya adalah hutan belukar yang masih perawan. Maka tidak heran jarak antar kota di Papua masih harus ditempuh dengan pesawat.
Tapi tidak ada yang membantah bahwa negeri ini penuh dengan pemandangan indah. Keluar dari airport Sentani terus menuju Jayapura saja, orang harus melalui jalan di tepi gunung atau di sisi danau Sentani yang luas dan enak dipandang. Kantor pemda Papua sendiri berada tepat di tepi laut. Kalau siang, banyak orang berfoto di pantai landai itu. Ketika malam tiba, banyak anak muda berkumpul di depannya, membawa laptop sambil minum kopi dan makan snack. Hotspot dari EDC (electronic data center) pemda rupanya bisa dijangkau dari tepi jalan menggunakan wireless tool dari laptop. Tapi entah kenapa pariwisata di Papua belum dikembangkan. Mungkin karena hasil tambangnya masih dianggap cukup membiayai belanja daerah.
Soal inisiatif pengembangan, bukan cuma pariwisata yang jadi korban. Propinsi ini bertingkah seperti Kalimantan Timur yang punya kekayaan alam nyaris tak terbatas. Hal seperti ini membuat pemda dan rakyatnya malas mengembangkan daerahnya. Coba saja mampir di warung atau toko setempat. Nyaris tidak ada barang yang diproduksi oleh pengusaha setempat. Apalagi oleh orang Papua sendiri. Semuanya diimpor dari Jawa melalui Makassar. Kue tradisional Papua, Bagea (terbuat dari sagu yang dibakar dan dicampur gula) ternyata dibuat oleh orang-orang asal Maluku dan bahkan Jawa. Ada kopi yang diolah dari kebun kopi setempat, tapi ternyata warung kopi yang mengolahnya milik Cina. Seorang teman bercerita, batik khas dengan motif Papua malah diproduksi di Solo, mulai awal 1980an. Di Jayapura, jika anda mencari souvenir berupa ukiran buatan suku Asmat atau koteka yang sudah dihias, anda akan menemukan penjualnya orang Makassar atau Maluku.
***
Propinsi ini juga seperti Maluku. Penduduk muslimnya kira-kira setengah dari total populasi. Tapi entah kenapa masih diklaim sebagai hegemoni non muslim. Bisa jadi karena banyaknya gereja yang bertebaran di tepi jalan. Padahal gereja itu bisa banyak karena tidak dari aliran yang sama. Sebut saja mazhab yang ada dalam Kristen, pasti punya gerejanya disini. Mulai dari Katolik, Protestan, Pantekosta dan sebagainya. Anehnya dakwah Kristiani disana seperti tidak ada hubungannya dengan pengembangan dan pembangunan masyarakat asli Papua. Orang Papua masih dengan adat istiadat dan karakter yang sama sejak jaman Belanda. Mereka yang di kota, lebih senang pesta-pesta dan menghamburkan uang, sedangkan yang di pedalaman tetap menggunakan koteka dan wanitanya bertelanjang dada. Ada apa?
Upaya prioritasi pembangunan daerah tertinggal, terutama di kawasan timur Indonesia, telah dimulai pemerintah pada penggalan akhir era Soeharto. Sekarang ini bahkan sudah ada Kementrian Negara Urusan Daerah Tertinggal. Tapi semua indikator pembangunan disana tidak pernah muncul secara signifikan. Jumlah sekolah, pusat kesehatan, pertumbuhan ekonomi, jumlah jalan yang dibangun, investasi dari luar dan sebagainya tidak pernah bergerak. Kalaupun ada, sangat sedikit. Belum pernah muncul prestasi di bidang akademis dan ekonomis dari sini. Bahkan di bidang olahraga dan musikpun sekarang seperti menghilang. Dulu orang pernah mengenal Persipura atau Perseman Manokwari. Atau group musik seperti Black Brothers yang terkenal dengan lagunya Jerit si Miskin. Kabar terakhir tentang para pemusik ini mengatakan bahwa mereka hijrah ke negeri Belanda dan meminta suaka. Padahal tidak pernah ada yang tahu tekanan politik apa yang diterimanya.
Menurut para mbah teori pembangunan, SDM sangat menentukan dalam proses pembangunan suatu negeri. Bahkan Sofyan Djalil (mantan Meneg BUMN) sering bilang, mengutip Drucker, bahwa tidak ada daerah yang miskin dan kaya. Yang ada adalah daerah itu poor-managed atau well-managed. Masalahnya kan untuk memanage sebuah daerah perlu SDM yang mumpuni alias kompeten. SDM hanya bisa sampai pada level mumpuni apabila punya kemauan atau dorongan untuk mencapai hal itu. Ini yang nampaknya langka ditemui di kalangan penduduk asli. Mudah2an saja saya salah.
***
Pergaulan antar ras dan suku akan melahirkan interaksi yang unik dalam bidang bahasa. Demikian juga dalam masalah singkatan. Yang beginian, Papua tidak terkecuali. Kalau di Sumatera ada Puja Kesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera) dan Jadel alias Jawa-Deli, di Papua juga ada panggilan seperti itu. Diantaranya Mujair alias Muka Jawa Kelakuan Irian. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan para pendatang yang tinggal disana, tapi tingkah lakunya seperti orang asli Papua, misalnya mabuk-mabukan, pemalas dan suka minta-minta. Ada juga Jamer, alias Jawa-Merauke. Ini sebutan untuk keturunan Jawa yang berasal dari Merauke. Mereka lahir dan besar disana karena orang tua mereka pindah ke sana pada tahun 1960an. Para orang tua itu ada yang menetap disana karena penugasan (Komando Trikora), ada juga karena transmigrasi. Ada lagi Irma. Artinya bisa dua, yaitu Irian Makassar atau Irian Maluku. Kalau dilihat KTPnya, ia orang Papua. Tapi begitu bicara ketahuan logat aslinya, ketahuan Makassar atau Maluku-nya. Yang parah adalah orang asli Papua seperti Yoris Raweyai yang disebut-sebut orang Perancis. Ternyata Perancis yang dimaksud adalah singkatan, yaitu Peranakan Cina Serui. ***
Jarang ada yang mendengar bahwa dakwah Islam juga kuat di Papua. Padahal disini Islam sudah ada sejak jaman kemerdekaan. Penduduk lokal yang sudah menjadi muslim banyak tinggal di Jayapura dan Fak-fak. Beberapa suku telah beralih masuk Islam, meskipun kondisinya tidak sama. Ada yang sudah penuh dan memiliki perkampungan sendiri seperti Asmat. Ada juga yang masih memelihara kebiasaan lamanya, yaitu memakai koteka dan memelihara babi. Salah satu indikator kuatnya dakwah di Jayapura adalah adanya Yayasan Pendidikan Islam, yang disingkat Yapis. Yayasan ini bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Ia memiliki tingkat pendidikan mulai dari TK sampai Universitas, termasuk di dalamnya program S2. Training of Trainers Perbankan Syariah yang dilakukan Bank Indonesia baru-baru ini (akhir Oktober 2009) bekerjasama dengan Yayasan ini.
Training of Trainers Perbankan Syariah saat ini memiliki nilai strategis. Pelaksanaannya mengundang bank Indonesia selaku pengawas dari bank syariah dan perbankan lainnya. Hal ini diperlukan mengingat disini semua yang berbau Islam sering dijadikan phobia. Beberapa waktu lalu segelintir orang berdemo ke Pemda Papua dan meminta cabang Bank Syariah yang sudah dibuka, seperti Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri ditutup saja, karena dianggap menyebarkan Islam melalui perbankan. Tidak terlalu jelas asal muasal demo tersebut. Bisa jadi karena ketakutan dari para aktivis gereja tentang adanya bank syariah yang identik dengan bank Islam. Sehingga ada anggapan jika orang menabung atau dapat kredit dari bank syariah dipaksa atau dibujuk masuk Islam. Tapi bisa jadi juga strategi bank syariah yang kurang tepat sehingga menimbulkan anggapan seperti itu.
Memang perlu diakui, tidak banyak yang mengikuti perkembangan perbankan syariah baik dari sisi pengaturan maupun layanan. Produk pembiayaan (kredit), misalnya, kini tidak lagi banyak menggunakan bahasa Arab seperti Murabahah, Mudharabah dan Musyarakah. Ada aturan yang membolehkan bank cukup dengan menyebutkan “pembiayaan perumahan iB” atau “pembiayaan modal kerja iB”. Demikian pula pada layanan simpanan, misalnya “Tabungan iB” atau “Deposito iB” dan tidak lagi menggunakan Tabungan Wadiah atau Deposito Mudharabah. Aturan inni berfungsi ganda. Pertama untuk mengurangi “alergi” sebagian masyarakat Indonesia terhadap “istilah-istilah berbau Arab”. Akan tetapi tentu tidak untuk mengurangi kualitas layanannya. Yang kedua adalah untuk melakukan standarisasi terhadap produk perbankan syariah.
Untuk tujuan tersebut maka lambang “iB” diperkenalkan. Lambang ini terdiri dari huruf “I” kecil dan “B” besar dengan bintang segi delapan berwarna merah, jingga dan hijau dan lingkaran putih di dalamnya, diapit warna biru sebagai dasar. Lambang ini juga digunakan sebagai sebuah icon yang menandakan adanya layanan syariah di gedung yang memasang lambang ini. Karena biaya iklan yang besar, perbankan syariah tidak memilih untuk melakukan promosi melalui media massa dan elektronik. Sosialisasi perbankan syariah lebih kepada door-to-door promotion dan pelatihan, mengingat sistemnya yang unik dan produknya yang sedikit lebih canggih. Kedua hal ini menghajatkan lebih banyak dialog ketimbang “gebyar-gebyar” ataupun iklan yang memerlukan biaya milyaran, tapi dengan durasi hanya sekitar 30 detik. Karena itu bisa dimaklumi bila TOT menempati posisi strategis mengingat perannya yang menciptakan “marketing agent” secara tidak langsung. Para trainee yang kemudian jadi trainer inilah yang akan menyebarkan ide tentang perbankan syariah kepada para “pengikut” seperti mahasiswa, siswa-siswi, jamaah pengajian dan jamaah jumatan.
TOT di Jayapura juga memiliki nilai strategis lain. Hal ini disebabkan para pesertanya tidak semua muslim. Oleh karena itu diharapkan universalitas perbankan syariah dapat dirasakan oleh setiap orang. Seperti kata pepatah, bicara bank berarti bicara uang. Dan yang namanya uang tidak mengenal agama. Yang dikenalnya adalah soal aturan kehati-hatian yang beken dengan istilah prudentiality. Dan sekarang ini kalau bicara kehati-hatian, ada harus ikut trend risk management dan corporate governance. Masalahnya, sejauhmana perbankan syariah memiliki perangkat yang lebih baik dalam kedua soal tersebut.
Wallahu A’lam
Jayapura, akhir Oktober 2009
*****
No comments:
Post a Comment