Pages

Thursday, February 17, 2011

Pembiayaan Multijasa, Bagaimana Seharusnya?

Seorang pensiunan terkena penyakit dan datang ke rumah sakit untuk berobat. Setelah diberi resep, ia mengambil obat kemudian membayarnya, beserta semua biaya jasa lain dari rumah sakit itu. Karena biayanya besar, ia membayarnya dengan pinjaman dari tetangga. Lalu kuitansi pembayaran itu ia simpan. Esoknya ia datang ke bank syariah dan meminta pembiayaan untuk mengganti pinjaman tetangganya, sedangkan ia sendiri akan membayar kepada bank secara cicilan sampai lunas. Karena pembiayaan itu dari bank, tentu saja bank tidak bisa memberikannya secara gratis, alias minta tambahan. Maka fee pun dihitung dan ditambahkan kepada nilai nominal pembayaran jasa itu.

Bank memasukkan jasa pengambilalihan hutang ini ke dalam produk Ijarah Multijasa. Artinya Ijarah (akad sewa/jasa) yang diterapkan untuk keperluan apa saja, sepanjang termasuk kategori jasa. Dalam kasus pensiunan di atas, jasa yang dibeli adalah pelayanan kesehatan di rumah sakit. Masalahnya, perjanjian ijarah dilakukan setelah adanya pembayaran oleh nasabah sehingga pembayaran oleh bank lebih menyerupai dana talangan ketimbang pembiayaan sewa. Yang namanya dana talangan, tentu akad yang digunakan adalah Qadh (pinjaman) dan perjanjian pinjaman atau qardh secara syariah tidak boleh mensyaratkan tambahan dalam pengembalian.

Bagaimana sebenarnya melaksanakan produk Ijarah Multijasa itu? Secara historis, produk Ijarah Multijasa muncul karena adanya permintaan dari bank untuk mengembangkan produk pembiayaan pada tiga macam keperluan: pembiayaan untuk upacara perkawinan, pembiayaan untuk wisata ibadah (umrah) dan pembiayaan untuk tudi tingkat lanjut. Dalam perkembangannya, ia bermutasi menjadi produk yang meliputi berbagai produk pembiayaan yang melayani  semua  jasa. Bahkan di daerah, produk ini juga digunakan untuk pembiayaan pengurusan TKI yang akan berangkat keluar negeri. Produk yang lahir dari Fatwa DSN-MUI No. 44/DSN-MUI/ VIII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa itu kini berkembang biak menjadi produk pembiayaan multiguna untuk jenis jasa.

Idealnya sebuah produk multijasa dilaksanakan seperti pembiayaan Ijarah, dimana bank membeli/menyewa aset dan menyewakannya kepada nasabah, lalu nasabah menyewanya secara cicilan. Itulah fungsi sebenarnya dari intermediary institution seperti bank. Tapi lagi-lagi hantu pajak membayangi praktek ini sehingga bank takut untuk membayar langsung kepada penyedia aset/ obyek sewa. Lalu Ijarah Multijasa ini dilaksanakan seperti Murabahah, dimana bank mewakilkan kepada nasabah untuk menyewa aset yang diinginkannya atas nama bank, kemudian bank menyewakannya pada nasabah dengan harga yang lebih tinggi. Sampai disini, para pengawas dan DPS masih mentolelir, sepanjang ada tanda bukti pembayaran nasabah kepada pihak ketiga/penyedia aset. Lha kalau tidak ada bukti pembayaran, disbursement atau pencairan pembiayaan ijarah itu untuk apa?

Atau, tiba-tiba ada bukti pembayaran sebelum ada perjanjian pembiayaan Ijarah, lalu ditagihkan kepada bank, pembayaran itu atas perintah siapa? Kalau mau dilaksanakan juga, maka akad yang paling dekat dengan prakter terakhir ini mungkin adalah hiwalah alias pemindahan hutang. Masalahnya, perjanjian hiwalah termasuk dalam kategori perjanjian sosial alias uqud tabarru' dimana pihak pelaksananya, yang dalam kitab fiqih, tidak bicara soal keuntungan. Karenanya sampai saat ini para ulama di Indonesia lebih banyak diam soal hiwalah bil ujrah karena tidak ada preseden fiqihnya. Bahkan ada yang ngotot, ujrah atas hutang yang dipindahkan sama dengan riba. Nah lho...

Produk bank syariah memang banyak, beragam, dan mudah dilaksanakan, karena seirama dan sejalan dengan transaksi di sektor riil. Tapi ia memiliki karakter, prosedur dan  teknik yang harus diikuti dengan disiplin. Jika tidak, maka ia tidak lebih sekedar produk di perbankan konvensional dengan nama Arab. Ia akan kosong dari falsafah keuangan Islam yang saling menguntungkan, aman dan tidak cenderung inflatoir alias berpotensi menciptakan gelembung uang seperti yang terjadi di dunia keuangan konvensional. Kalau nama akadnya saja yang dipakai sementara substansinya mengikuti tradisi keuangan konvensional, ia akan kehilangan ruh  alias elanvital yang dapat menjaga sistem ketahanan ekonomi di habitatnya.  

Mungkin satu-satunya kiat menjalankan Ijarah Multijasa dengan benar dan aman dari sisi syariah, maupun risk management, adalah mendorong bank untuk menciptakan kerjasama sebanyak-banyaknya dengan penyedia jasa, seperti sekolah, rumah sakit, agen perjalanan (untuk umroh) dan lain-lain, meskipun sebagian ulama masih berkeberatan dengan pembelian jasa pendidikan  seperti sekolah. Bagaimanapun, jika mengikuti pendapat yang lebih bebas dari Imam Abu Hanifah, tentu semua jasa dibolehkan selama halal dan thayyib. Jika program-program kerjasama ini dilaksanakan, tentu jaringan keuangan perbankan syariah dengan sekolah, rumah sakit, klinik, agen perjalanan dan sebagainya akan kuat. Dengan demikian stabilitas sistem keuangan dalam skala mikro akan terbangun.

Sebagian bank syariah merasa emoh melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga ini dengan alasan kesulitan prosedur dan banyaknya jumlah penyedia jasa. Tapi anehnya mereka oke-oke aja apabila bekerjasama dengan restoran, mall, toko garmen, retailer dan lembaga-lembaga konsumtif lainnya. Misi bank syariah sebagai lembaga komersial memang sangat terasa disini, lebih kuat ketimbang misi pembangunan masyarakat. Padahal dunia Islam sepakat bahwa fungsi komersial bank syariah harus seimbang dengan misi pengembangan masyarakatnya. Itulah salah satu hal yang membuatnya berbeda dengan bank biasa.
Bagaimana menurut anda?

Wallahu A'lam

4 comments:

Deni Amin Sujana said...

Seharusnya sesuai dengan fatwa nya kali ya... :)

Pertama : Ketentuan Umum

1. Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah.

2. Dalam hal LKS menggunakan akad ijarah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.

3. Dalam hal LKS menggunakan akad Kafalah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Kafalah.

4. Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee.

5. Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.


Misal kan Bank Syariah X menyediakan jasa renovasi dan pembangunan rumah bekerjasama dengan PT.Y, Pa.Ali ingin merenovasi rumahnya melalui Bank Syariah X, kemudian jasa/fee, spesifikasi bangunan, dan waktu pengerjaan sudah disepakati termasuk metode pembayaran jasa nya. Kemudian PT.Y mengerjakan renovasinya dan Nasabah membayar fee/jasa nya sesuai dengan perjanjian di awal ke Bank Syariah X.

Bank Syariah X kemudian membayar PT.Y sesuai dengan nisbah bagi hasil di akad mudharabah sebelumnya. PT.Y terbantu karena tidak perlu mengeluarkan modal dan mendapatkan bagi hasil dari jasa renovasi, Nasabah terbantu karena bisa merenovasi rumahnya dengan pembayaran fee ditangguhkan atau di cicil, dan Bank Syariah X mendapatkan bagi hasil dari jasa PT.Y setelah dikurangi porsi PT.Y.

Lalu bagaimana dengan kasus pensiunan diatas, dimana sudah terhadi hutang. maka akad yang bisa dilakukan seperti dijelaskan, yang memungkinkan adalah akad Qardhul Hasan (Dana talangan) atau Hiwalah (Anjak Piutang). sebetulnya ini bisa saja dilakukan oleh Bank dengan akad Qardhul Hasan dan yang di pinjamkan bukan berupa uang tetapi emas. sehingga pensiunan tadi harus mengembalikan emas pula ke Bank. misalkan biaya rumah sakitnya senilai 4.000.000. Pensiunan tadi datang ke Bank Syariah X untuk meminjam emas seberat 10 gram. Jika dicairkan akan senilai @400.000 X 10 = 4.000.000. Pensiunan ini akan mencicil 1 gram tiap bulannya. sehingga total mencapai 10 gram. kenaikan atau penurunan terhadap nilai emas menjadi tanggungan pensiunan tadi. jadi jika dalam periode pengembalian harga emas naik misalkan menjadi 450.000 maka pengembalian yang harus dikeluarkan oleh pensiunan tadi menjadi sebesar 4.500.000 = 10 gram emas. Kalau tidak ada penurunan berarti nilai yang harus dikembalikan sebesar 4.000.000 = 10 gram emas. Dengan demikian Bank tidak akan mengalami kerugian dari sisi inflasi nilai Rupiahnya.

Tetapi kalau mau masuk ke area Tijarah, mengambil keuntungan dari kasus Pensiunan diatas, berarti Bank Syariah harus kerjasama (syirkah) dalam menyediakan jasa Rumah Sakitnya. Bisa dengan akad Mudharabah atau Musyarakah. Sehingga sebelum hutang terjadi pensiunan dijelaskan terlebih dahulu mengenai kerjasama Rumah sakit dengan Bank Syariah X dimana jasa dokter dan layanan rumah sakitnya yang menanggung adalah Bank Syariah X. Akad pun terjadi, dan kemudian muncullah hutang pensiunan kepada Bank Syariah X atas jasa dokter dan layanan Rumah Sakit kerjasama antara Rumah Sakit dan Bank Syariah X. Rumah Sakit tidak perlu mengeluarkan biaya untuk dokter dan beban lainnya, Pensiunan terbantu dengan membayar jasa rumah sakit dengan ditangguhkan atau dicicil, Bank Syariah X mendapatkan keuntungan dari bagi hasil jasa rumah sakit setelah dikurangi porsi bagi hasil rumah sakait.

Demikian...

Wallahu'alam

Cecep eM-Ha said...

Terima kasih atas komentar Kang Deni.

Untuk kasus pertama (renovasi) DSN sepakat tidak memasukkannya dalam kategori multijasa karena melibatkan barang seperti pasir, batu, paku dan lain-lain. Best practice di perbankan memasukkannya ke dalam istishna.

Untuk kasus kedua (pelayanan rumah sakit) best practice nya menggunakan ijarah jenis ijaratul a'mal atau ijarah atas jasa/kerja professional, bukan manfaat barang. Diantara prosedur utamanya adalah LKS harus membayar kepada penyedia jasa (service provider) dan nasabah membayar kepada LKS. Jika nasabahnya sudah membayar kepada penyedia jasa dan meminta reimbursement dari LKS padahal belum ada perjanjian apa-apa antara LKS dengan penyedia jasa, maka yang terjadi adalah hiwalah alias pengalihan piutang. Sampai saat ini hiwalah masih menjadi perdebatan apakah boleh mengenakan ujrah karena pemindahan piutang atau hutang yang mengakibatkan adanya tambahan bisa menyebabkan riba.
Wallahu A'lam

RSFM said...

ass. sebelumnya perkenalkan saya rina dari salah satu bank swasta di jkt. saya ingin bertanya p cecep, apakah untuk saya dapat gunakan akad murabahah dalam konteks jual beli jasa. mengingat spt jasa perkawinan yang manfaatnya sebenarnya sdh habis pada saat pesta perkawinan usai. atau jasa kesehatan yg manfaatnya habis ketika biaya rumah sakit dibayar. ketika manfaat sdh habis, jika mengunakanakad ijarah, manfaat apalagi yg disewakan?
dengan akad murabaha bank membeli jasa perkawinan dan menjualnua kembali kpd nasabah dengan margin dan pembayaran angsuran. dgn akad murabahah ini tdk mengaitkan langsung periode manfaat dengan periode pembiayaan. mohon pencerahannya p cecep. salam.

jawa papua said...

bagaimana kalau seorang yang selesai berobat dan datang kepada bank meminta pembiayaan atas berobatnya, di awali dengan memberikan wadiah yad al-amanah. artinya uang diberikan oleh bank kepada nasabah hanya titipan untuk membayar tanggungan bank kepada rumah sakit termasuk menggembalikan sebagian uang yang ditalangi sementara dari tentangga nasabah. selanjutnya masuk pada akad ijarah. ini dilakukan untuk menghidari pinjaman murni (qard)