Dua hari sepulang tugas dari Jordan (menghadiri IFSB Council Meeting 30-31 Maret 2011 di Amman) saya dihubungi klinik kantor untuk jadwal pertemuan dengan dokter THT. Janji ini memang sudah saya minta sekitar 3 minggu sebelumnya. Begitu saya datang (ini pertama kali kami ketemu) dokternya langsung bilang: "Pak, apapun yang kita diskusikan sekarang ini, ujung-ujungnya adalah bapak saya sarankan untuk dioperasi. (Hah...koq gitu?) Cara bapak bernafas sudah menunjukkan bahwa bapak mengalami apa yang disebut "sleep apnea", gangguan pernafasan ketika tidur. Indikatornya adalah dengkuran yang keras dan berhenti tiba-tiba sesaat karena saluran pernafasan tertutup. Sekarang ini sleep apnea sudah pada tahap bisa mengakhiri hidup seseorang. Satu-satunya solusi adalah dengan operasi. Apalagi amandel bapak sudah radang dan infeksi akut." Wuih serem juga
Singkat cerita, 5 hari kemudian, dengan ditemani istri saya sudah berada di sebuah rumah sakit bedah di sekitar Salemba, yang keberadaannya jarang orang ngeh alias sadar. Mereka mungkin sering lewati RS itu tapi tidak sadar bahwa itu rumah sakit. Gedungnya memang kecil dan mirip rumah biasa. Yang membedakannya hanyalah ada lambang di kaca depan.
Janjinya, Jumat, 8 April 2011 jam 10.00 saya harus masuk ruang operasi. Tapi ternyata saya harus menunggu satu jam lagi, padahal saya sudah puasa sejak jam 04.00 pagi. Lalu saya diminta duduk di kursi operasi dan sejemput cairan dimasukkan dalam tempat infusan saya. Tak lama kemudian semua yang saya lihat berputar.......
Jam 14.00 saya tersadar dan merasa haus. Karenanya saya minta air..... Ternyata saya sudah selesai dioperasi. Hidung saya ditutup oleh perban supaya darah tidak turun menetes ke mulut dan dagu. Rupanya saya tidak hanya menjalani operasi amandel, tapi juga pembetulan rongga hidung yang bengkok. Maka tidak heran jika operasi saya bisa lebih dari 3 jam, padahal pada operasi amandel lainnya hanya perlu kurang lebih 1 jam saja.
Ahad, 10 April 2011. Meskipun baru dua hari dirawat saya sudah diperbolehkan pulang. Ini membuktikan bahwa proses operasi amandel maupun sinus tidak memerlukan waktu lama.
Selasa, 12 April 2011. Tiga jam menjelang subuh saya merasakan panas tinggi menggarang tubuh saya di dalam. Saya akhirnya tidur berselimut tebal seperti ketika saya tinggal di daerah yang punya 4 musim dulu. Jam 07.00 pagi saya sudah di rumah sakit tempat operasi kemarin, untuk periksa kembali. Padahal janjian dengan dokter sekitar pukul 09.00. Saya memilih datang lebih awal, karena takut terkena macet. Maklum jalur Bekasi-Halim-Rawamangun merupakan jalur padat, baik tol maupun bukan. Telat 10 menit saja dari 05.30 pagi, bedanya sampai di kantor bisa 1 jam.
Menunggu dokter selama 2 jam dalam keadaan demam seperti itu membuat saya seperti dalam neraka dunia. Dan waktu berjalan seperti sangat lambat. Saya akhirnya diperiksa jam 09.00 dan karena ada demam, darah saya diambil untuk sampel pemeriksaan lab. Saya harus dirawat lagi sampai ada kepastian bahwa tidak ada masalah yang mengganggu perawatan pasca operasi. Ternyata saya harus dirawat untuk tiga hari berikutnya dan baru bisa pulang pada hari Jumat. Selama 2 malam sesudah masuk kembali, saya mengalami "the most diring situation", situasi badan yang sangat mengerikan. Kadang demam tinggi, kadang kedinginan.
Para suster seringkali menyalahkan saya karena "kurang minum" kata mereka. Padahal di RS itu mereka menyaksikan saya menghabiskan air putih dua jar penuh selama satu malam. Akhirnya darah saya diambil lagi hari Kamis untuk cek terakhir, untuk memastikan tidak ada DB, typhus ataupun lainnya. Hasilnya mengherankan, karena hanya disebabkan kenaikan lekosit di ambang batas normal. Mau tidak mau dokter harus mengakui adanya infeksi "ringan" akibat operasi. "Ringan" yang membuat saya seperti berada dalam neraka dunia.
Jumat, 15 April 2011 jam 11 saya keluar dari rumah sakit untuk yang kedua kalinya. Kali ini dengan keyakinan penuh bahwa tidak ada lagi hal yang mengganggu proses penyembuhan pasca operasi. Tapi akibat perawatan kedua ini, selama seminggu terakhir ini saya harus mulai dari nol lagi. Mulai dari makanan yang serba diblender seperti makanan bayi, sampai harus tidur miring untuk menghindari lendir yang ada di hidung jatuh ke kerongkongan dan menghalangi proses pernafasan. Makan dan minum terasa seperti makan kawat berduri. Semua serba nggak enak. Tapi beginilah risiko yang namanya ingin sehat.
Selama dirawat hanya beberapa teman sejawat sempat menjenguk. Saya memang tidak ingin merepotkan semua orang. Tapi kondisi psikologis seseorang yang sedang sakit memang memerlukan dorongan dan dukungan dalam bentuk kehadiran secara fisik. Bukan cuma lewat facebook, blackberry messenger apalagi cuma sms. Bisa jadi Imam Syafii menjadikan i'adatil maridh sebagai salah satu sunnah muakkadah seperti disebutkan dalam sebuah hadits, Kewajiban seorang muslim kepada yang lainnya ada 6 hal, menjawab salam, membesuk orang yang sakit, menasehati jika diminta, mengantar jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan ketika bersin, (HR. al Bukhari dan Muslim, hadits no. 900 pada Tarjamah Riyadush Shalihin)
Kesehatan itu memang mahal. Untungnya semua perawatan saya ditanggung kantor. Saya hanya membayangkan betapa susahnya jika hal ini dialami orang yang kurang mampu dan tidak punya asuransi. Doa saya, mudah-mudahan kejadian ini jadi ibrah (pelajaran) buat kita semua. Jangan menganggap enteng suatu penyakiit sehingga akhirnya penyakit itu malah jadi sesuatu yang mematikan.
Terima kasih ya Allah.
Terima kasih dokter dan suster,
Terima kasih ummi,
Terima kasih buat semua teman yang mendoakan dan membesuk, baik langsung maupun lewat jejaring sosial.
Wallahu Alam
2 comments:
Maaf saya mau tanya... butuh berapa lama agar pulih kembali setelah operasi ?
Maaf saya mau tanya... butuh berapa lama agar pulih kembali setelah operasi ?
Post a Comment