Dmuat di buletin Jumat Mimbar Attaqwa
27 Juli 2012 (7 Ramadhan 1433 H)
Wallahu A’lam
27 Juli 2012 (7 Ramadhan 1433 H)
Dari kelima hukum Islam, tidak ada yang paling banyak diperdebatkan kecuali Zakat. Hal ini disebabkan banyaknya perbedaan dalam menetapkan tingkat perhitungan yang harus disisihkan sebagai pembayaran. Tapi semua orang sepakat bahwa zakat hukumnya wajib dilaksanakan. Jika shalat haji dan puasa adalah ibadah tubuh, maka zakat adalah ibadah harta atau kepemilikan. Tidak ada artinya seorang muslim jika tidak membayar zakat, apabila dia sudah dianggap mampu membayarnya. Masalahnya, apa sebenarnya definisi harta yang wajib zakat? Apakah ia termasuk pendapatan yang diterima tiap bulan seperti karyawan? Juga pendapatan tak terduga seperti hadiah, waris dan lain-lain? Lalu apa definisi “mampu”sebenarnya?
Ketetapan hukum Islam tentang harta yang wajib dibayarkan sudah sangat jelas. Mulai dari emas, perak, hewan peliharaan, sawah, kebun dan lain-lain. Definisi “mampu”dalam fiqih Islam juga sudah rinci dijelaskan dalam kitab-kitab hukum yaitu nisab (jumlah minimum harta yang kena zakat). Akan tetapi sesuai dengan evolusi masyarakat dan perkembangan metode ekonomi, kedua definisi itupun berkembang. Diperlukan ijtihad baru atas masalah-masalah baru yang terkait dengan perkembangan ini.
Para ulama moderen sepakat bahwa zakat tidak saja dikenakan atas harta yang telah mengalami ”haul” atau menjadi kepemilikan selama setahun. Pendapatan reguler seperti gaji, keuntungan harian, fee kesehatan, pekerja pendidikan, konsultan keuangan dan sebagainya adalah termasuk yang kena zakat. Demikian juga non reguler (insidential) seperti bonus tahunan, gaji ke 13, hadiah quiz dan lain-lain juga termasuk kategori ini. Disamping itu, pendapatan deposito, obligasi, saham dan sebagainya, dan maka hukumnya wajib kena zakat. Hal ini didasarkan atas realita bahwa sifat pendapatan mereka sama dengan zakat pertanian dan perkebunan, yang, apabila panen, langsung dikenakan zakat. Yang kedua, kewajiban membayar zakat atas pendapatan reguler atas jasa yang diberikan juga merupakan aplikasi dari ayat Quran: “Dan tunaikanlah hakNya (hak Allah) pada hari memetik hasil” (QS. AlAn’am 141).
Hanya saja, karena pendapatan ini termasuk kategori mata uang (seperti emas dan perak di jaman dulu) maka tingkat zakat yang dikeluarkan pun menyerupai zakat emas dan perak yaitu 2,5%. Bukan seperti zakat pertanian yang 5% (khumus) apabila pengairannya harus dibayar dan 10% (usyur) apabila pengairannya gratis.
Demikian halnya dalam masalah nisab. Jika nisab pendapatan disamakan dengan emas (85 gram, setara + Rp 42.500.000,- dengan harga emas Rp.500 ribu/gram ) maka hanya orang yang bergaji 3,5 juta/bulan ke atas saja yang terkena zakat. Dalam soal ini, pajak lebih ketat dengan mengenakan PTKP (pendapatan tidak kena pajak) sebesar 15,8 juta setahun, atau 1,3 juta.
Dapat dibayangkan apabila dua hal ini, tingkat zakat atas pendapatan disamakan dengan pertanian (misalnya 10%), dan pendapatan yang tidak kena zakat sama ketatnya dengan PTKP, berapa potensi kekuatan ekonomi yang tercipta untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan di kalangan ummat
Persoalan terbesar masalah zakat dalam dunia moderen adalah penerapan dan distribusi. Dengan semangat keagamaan yang semakin memudar, zakat tidak lagi dapat dikoleksi secara optimal hanya dengan kesadaran masyarakat. Harus ada kekuasaan memaksa atau enforcement power (dalam Quran perintah ini ditujukan kepada penguasa) yang dapat mendorong orang untuk membayar zakat. Persoalan ini juga terkait erat dengan soal kepercayaan masyarakat terhadap penguasa itu sendiri. Seringkali masalah akuntabilitas para pelaksana berada pada titik rendah di mata publik sehingga orang lebih senang menyalurkan zakatnya kepada lembaga sosial atau mendistribusikan sendiri ala BLT seperti yang terjadi di beberapa daerah (dan menimbulkan persoalan lain).
Bagaimanapun, masalah zakat sekali lagi soal iman. Terlepas dari masalah hukum dan distribusi, kesadaran akan zakat sebagai bagian dari iman merupakan inti dari ditunaikannya rukun Islam yang satu ini. Jika ada orang dengan alasan susah ngitungnya dari pendapatan atau karena masih banyak kebutuhan lain sehingga timbul rasa malas untuk membayar zakat, sebaiknya ia mengingat kata-kata para cendekiawan Muslim. “Dalam urusan zakat, seringkali kita saksikan bahwa iman manusia moderen kalah kuat dibanding para petani. Para petani itu tidak pernah berfikir cukup atau tidaknya hasil yang diperoleh untuk kehidupannya. Begitu hasil panennya melebihi nisab, ia akan langsung membayarnya. Sebaliknya manusia moderen selalu menghitung cukup atau tidaknya gaji dan honor yang mereka peroleh, sehingga tidak pernah berfikir untuk bayar zakat. Seolah-olah Tuhan tidak akan pernah akan memberikannya lagi rizki setelah gaji yang diterima.”
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment