Pada acara halal bihalal IKAA tahun lalu (2017), saya ditemui guru Mukhtar Murikh dan bang Syamsul Falah, yang saat itu hampir "pensiun" dari jabatannya sebagai Ketua IKAA. Keduanya minta agar saya membantu IKAA mendirikan koperasi, sebagai implementasi arahan pimpinan Yayasan dan Raisul Ma'had dalam sambutan-sambutan mereka. Rupanya kesadaran membangun ekonomi ummat terus menguat, merembes dan menembus dinding pondok pesantren.
Sebagai orang yang sering terlibat pada pendirian lembaga ekonomi mikro, buat saya permintaan seperti ini biasa-biasa saja. Usaha mendirikan badan usaha di IKAA pun sudah saya mulai sejak jadi Ketua IKAA pada tahun 1997.
Yang membuat saya galau adalah hampir semua usaha pembangunan ekonomi berjamaah di Attaqwa merupakan cerita yang tidak sukses. Sebabnya macam-macam. Yang utama, yang paling klasik, adalah tidak adanya modal. Yang kedua tidak ada SDM yang mumpuni. Meskipun di jaman saya menjabat ketua, IKAA berhasil bekerjasama dengan Bank Muamalat melakukan pelatihan BMT (Baitul Mal Wattamwil). Faktor berikutnya, susahnya sosialisasi kepada anggota sehingga banyak yang tidak tahu. Kita maklum, komunikasi paling efektif biasanya dilakukan menjelang maulid dan Halal Bihalal IKAA. Terakhir penyebab yang paling kuat adalah governance yang amburadul. Semua prinsipnya -transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab, independen dan keadilan (fairness), seperti tidak diterapkan sama sekali. Ini memperkuat thesis Almarhum Bang Imaduddin waktu ceramah di Attaqwa dulu, "kelemahan pesantren yang membuatnya tidak maju adalah manajemennya yang kurang bagus, terutama pengawasan."
Apakah benar teori yang mengatakan bahwa pesantren dan alumninya tidak akan pernah sukses dalam usaha berjamaah. Entahlah. Semestinya teori ini hanya kasuistik belaka. Buktinya jaringan bisnis lulusan Gontor dengan La Tansa-nya sukses. Bisnisnya bervariasi mulai dari rumah makan sampai jasa pengiriman. Demikian pula Nurul Iman (Parung) dan AlIttifaq (Soreang, Bandung Barat).
Ketika para alumni angkatan Iltizam mengajukan usul agar "ikatan sesama angkatan" mereka berlanjut ke ranah ekonomi -bukan hanya sekedar untuk acara halal bihalal- saya mendukung dan merasa ada gayung bersambut. Ternyata ide pengembangan ekonomi di kalangan alumni masih kuat. Saya menganggap hal ini sebagai petunjuk bahwa ajakan para senior itu ada jalannya tersendiri.
Saya berfikir mengapa tidak memanfaatkan mereka sebagai tim kerja untuk melaksanakan program IKAA dalam bidang ekonomi, dalam hal ini, pembentukan koperasi. Sebab, jarang-jarang inisiatif itu datang dari anggota. Diketahui kemudian, dengan bantuan teknologi informasi paling merakyat (WA) ide ini sudah merambah ke berbagai angkatan dan banyak yang mendaftar. Nampaknya Koperasi Alumni Attaqwa yang bekerjasama dengan Alumni 212 ini siap tinggal landas.
Pertanyaan pertama saya kepada para penggagas ini adalah, sanggupkah kalian berhadapan dengan tantangan dari "dalam" sendiri. Sebab menghadapi rintangan dari dalam lebih sulit ketimbang cobaan dari pihak luar. Meskipun mereka lulusan Attaqwa, tidak bisa sebuah program memperoleh bantuan begitu saja alias "taken for granted", dari berbagai pihak yang mengatasnamakan Attaqwa. Ibarat kata, kalau dulu waktu belajar di pondok sering diganggu makhluk halus di kamar Usman atau kamar Ali, sekarang pun, dalam melaksanakan program memajukan ummat, tidak sedikit makhluk yang berkeliaran, yang membisiki berbagai pihak, dan menganggap anak-anak muda ini sebagai ancaman.
Ternyata ramalan saya tidak meleset. Dalam raker pengurus baru IKAA memang dicanangkan program kerja pembentukan koperasi. Tapi bagaimana bentuknya dan kapan dilaksanakan nampaknya masih taraf "Wallahu A'lam". Padahal panitia pendirian koperasi itu hadir. Permintaan untuk presentasi rencana pendirian juga tidak digubris. Walhasil panitia kembali berada pada persimpangan jalan. Kalau saja tidak ada komitmen kuat dari Ust. Abdul Jabbar Madjid dan guru-guru lainnya, mungkin mereka sudah balik kanan.
Nama koperasi juga jadi pembicaraan panjang. Karena tidak ada restu formal dari IKAA dan Yayasan, nama "Attaqwa" akhirnya tidak jadi disandingkan. Padahal sebagian besar anggotanya (lebih dari 200 orang) adalah alumni. Risiko dari tidak digunakannya nama Attaqwa ini adalah kemungkinan besar anggotanya lebih banyak orang luar daripada alumni sendiri. Secara aturan koperasi dan perusahaan, siapa yang paling banyak anggotanya (koperasi) dan paling besar sahamnya (toko, perusahaan) maka mereka berhak memiliki suara yang lebih besar menentukan pengurusnya dan menentukan arah bisnisnya. Dengan demikian ada risiko besar bahwa lembaga ekonomi yang digagas alumni Iltizam ini dipegang pihak luar. Kalau sudah begini siap-siap bagi kita untuk gigit jari (lagi).
Tuntas sudah proses kelembagaan yang menjadikan lembaga punya alumni sendiri seperti "orang lain". Karena sikap "orang lain" ini pula, maka perlakuan ekonomi pun berbeda. Misalnya untuk sebuah pertemuan investor saja, pengurus diminta membayar sewa aula di pondok sendiri dengan harga lebih tinggi dari biasanya. Belum lagi sewa tanah yang tinggi dan kesepakatan pembangunan yang menggunakan BOT (Build-Operate-Transfer). Tapi, selama pengurus bersikap profesional dan teguh pada tekad semula -membangun ekonomi alumni demi membantu rekan-rekan lain yang kurang beruntung-, insya Allah selalu ada jalan keluar dari kesulitan.
Minggu lalu saya mengundang pengurus koperasi untuk evaluasi. Sudah enam bulan proses ini berjalan dan para investor menganggap pengurus terlalu lambat bergerak. Mohon dimaklum para investor sering membandingkan dengan waralaba lain, yang geraknya serba cepat di sekitar Ciplak. Hasil evaluasi: Pengurus sudah punya akta pendirian lengkap dan sudah memulai pembangunan toko kecil di tikungan depan Pondok Putra.
Saya mengundang juga teman-teman lain untuk ikut dengar langsung laporan pelaksanaan pengurus, sekaligus "mempelonco" mereka supaya mentalnya jadi lebih kuat. Pengurus yang rata-rata masih muda dan bersemangat ini harus terbiasa menghadapi budaya sebagian masyarakat kita yang, kalau orang lain sukses "itu kan karena saya" dan kalau gagal "nah gua bilang juga apa". Sikap "risk aversion" alias menghindari risiko -tapi ngorek untung- seperti ini biasanya muncul dibalik ucapan bisik "lihat-lihat dulu lah".
Pada Isra Mi'raj besok katanya pengurus koperasi sudah dibolehkan buka tenda untuk promosi. Mudah-mudahan saja semakin banyak alumni yang daftar, baik jadi pengurus maupun investor. Sehingga koperasi itu tetap dalam genggaman alumni sebagai anggota dan pemegang saham mayoritas. Demikian pula rencana buka warung menjelang puasa, bisa terrealisasi. Dan untuk Halal Bihalal IKAA abis lebaran mereka bisa nyumbang karena sudah mulai ada untungnya walaupun sedikit. Dengan demikian ajakan Guru Mukhtar Murikh dan ustaz Syamsul Falah sudah terpenuhi. Alhamdulillah
Wallahu a'lam
Ditulis untuk Milis Alumni Attaqwa di Facebook
Sebagai orang yang sering terlibat pada pendirian lembaga ekonomi mikro, buat saya permintaan seperti ini biasa-biasa saja. Usaha mendirikan badan usaha di IKAA pun sudah saya mulai sejak jadi Ketua IKAA pada tahun 1997.
Yang membuat saya galau adalah hampir semua usaha pembangunan ekonomi berjamaah di Attaqwa merupakan cerita yang tidak sukses. Sebabnya macam-macam. Yang utama, yang paling klasik, adalah tidak adanya modal. Yang kedua tidak ada SDM yang mumpuni. Meskipun di jaman saya menjabat ketua, IKAA berhasil bekerjasama dengan Bank Muamalat melakukan pelatihan BMT (Baitul Mal Wattamwil). Faktor berikutnya, susahnya sosialisasi kepada anggota sehingga banyak yang tidak tahu. Kita maklum, komunikasi paling efektif biasanya dilakukan menjelang maulid dan Halal Bihalal IKAA. Terakhir penyebab yang paling kuat adalah governance yang amburadul. Semua prinsipnya -transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab, independen dan keadilan (fairness), seperti tidak diterapkan sama sekali. Ini memperkuat thesis Almarhum Bang Imaduddin waktu ceramah di Attaqwa dulu, "kelemahan pesantren yang membuatnya tidak maju adalah manajemennya yang kurang bagus, terutama pengawasan."
Apakah benar teori yang mengatakan bahwa pesantren dan alumninya tidak akan pernah sukses dalam usaha berjamaah. Entahlah. Semestinya teori ini hanya kasuistik belaka. Buktinya jaringan bisnis lulusan Gontor dengan La Tansa-nya sukses. Bisnisnya bervariasi mulai dari rumah makan sampai jasa pengiriman. Demikian pula Nurul Iman (Parung) dan AlIttifaq (Soreang, Bandung Barat).
Ketika para alumni angkatan Iltizam mengajukan usul agar "ikatan sesama angkatan" mereka berlanjut ke ranah ekonomi -bukan hanya sekedar untuk acara halal bihalal- saya mendukung dan merasa ada gayung bersambut. Ternyata ide pengembangan ekonomi di kalangan alumni masih kuat. Saya menganggap hal ini sebagai petunjuk bahwa ajakan para senior itu ada jalannya tersendiri.
Saya berfikir mengapa tidak memanfaatkan mereka sebagai tim kerja untuk melaksanakan program IKAA dalam bidang ekonomi, dalam hal ini, pembentukan koperasi. Sebab, jarang-jarang inisiatif itu datang dari anggota. Diketahui kemudian, dengan bantuan teknologi informasi paling merakyat (WA) ide ini sudah merambah ke berbagai angkatan dan banyak yang mendaftar. Nampaknya Koperasi Alumni Attaqwa yang bekerjasama dengan Alumni 212 ini siap tinggal landas.
Pertanyaan pertama saya kepada para penggagas ini adalah, sanggupkah kalian berhadapan dengan tantangan dari "dalam" sendiri. Sebab menghadapi rintangan dari dalam lebih sulit ketimbang cobaan dari pihak luar. Meskipun mereka lulusan Attaqwa, tidak bisa sebuah program memperoleh bantuan begitu saja alias "taken for granted", dari berbagai pihak yang mengatasnamakan Attaqwa. Ibarat kata, kalau dulu waktu belajar di pondok sering diganggu makhluk halus di kamar Usman atau kamar Ali, sekarang pun, dalam melaksanakan program memajukan ummat, tidak sedikit makhluk yang berkeliaran, yang membisiki berbagai pihak, dan menganggap anak-anak muda ini sebagai ancaman.
Ternyata ramalan saya tidak meleset. Dalam raker pengurus baru IKAA memang dicanangkan program kerja pembentukan koperasi. Tapi bagaimana bentuknya dan kapan dilaksanakan nampaknya masih taraf "Wallahu A'lam". Padahal panitia pendirian koperasi itu hadir. Permintaan untuk presentasi rencana pendirian juga tidak digubris. Walhasil panitia kembali berada pada persimpangan jalan. Kalau saja tidak ada komitmen kuat dari Ust. Abdul Jabbar Madjid dan guru-guru lainnya, mungkin mereka sudah balik kanan.
Nama koperasi juga jadi pembicaraan panjang. Karena tidak ada restu formal dari IKAA dan Yayasan, nama "Attaqwa" akhirnya tidak jadi disandingkan. Padahal sebagian besar anggotanya (lebih dari 200 orang) adalah alumni. Risiko dari tidak digunakannya nama Attaqwa ini adalah kemungkinan besar anggotanya lebih banyak orang luar daripada alumni sendiri. Secara aturan koperasi dan perusahaan, siapa yang paling banyak anggotanya (koperasi) dan paling besar sahamnya (toko, perusahaan) maka mereka berhak memiliki suara yang lebih besar menentukan pengurusnya dan menentukan arah bisnisnya. Dengan demikian ada risiko besar bahwa lembaga ekonomi yang digagas alumni Iltizam ini dipegang pihak luar. Kalau sudah begini siap-siap bagi kita untuk gigit jari (lagi).
Tuntas sudah proses kelembagaan yang menjadikan lembaga punya alumni sendiri seperti "orang lain". Karena sikap "orang lain" ini pula, maka perlakuan ekonomi pun berbeda. Misalnya untuk sebuah pertemuan investor saja, pengurus diminta membayar sewa aula di pondok sendiri dengan harga lebih tinggi dari biasanya. Belum lagi sewa tanah yang tinggi dan kesepakatan pembangunan yang menggunakan BOT (Build-Operate-Transfer). Tapi, selama pengurus bersikap profesional dan teguh pada tekad semula -membangun ekonomi alumni demi membantu rekan-rekan lain yang kurang beruntung-, insya Allah selalu ada jalan keluar dari kesulitan.
Minggu lalu saya mengundang pengurus koperasi untuk evaluasi. Sudah enam bulan proses ini berjalan dan para investor menganggap pengurus terlalu lambat bergerak. Mohon dimaklum para investor sering membandingkan dengan waralaba lain, yang geraknya serba cepat di sekitar Ciplak. Hasil evaluasi: Pengurus sudah punya akta pendirian lengkap dan sudah memulai pembangunan toko kecil di tikungan depan Pondok Putra.
Saya mengundang juga teman-teman lain untuk ikut dengar langsung laporan pelaksanaan pengurus, sekaligus "mempelonco" mereka supaya mentalnya jadi lebih kuat. Pengurus yang rata-rata masih muda dan bersemangat ini harus terbiasa menghadapi budaya sebagian masyarakat kita yang, kalau orang lain sukses "itu kan karena saya" dan kalau gagal "nah gua bilang juga apa". Sikap "risk aversion" alias menghindari risiko -tapi ngorek untung- seperti ini biasanya muncul dibalik ucapan bisik "lihat-lihat dulu lah".
Pada Isra Mi'raj besok katanya pengurus koperasi sudah dibolehkan buka tenda untuk promosi. Mudah-mudahan saja semakin banyak alumni yang daftar, baik jadi pengurus maupun investor. Sehingga koperasi itu tetap dalam genggaman alumni sebagai anggota dan pemegang saham mayoritas. Demikian pula rencana buka warung menjelang puasa, bisa terrealisasi. Dan untuk Halal Bihalal IKAA abis lebaran mereka bisa nyumbang karena sudah mulai ada untungnya walaupun sedikit. Dengan demikian ajakan Guru Mukhtar Murikh dan ustaz Syamsul Falah sudah terpenuhi. Alhamdulillah
Wallahu a'lam
Ditulis untuk Milis Alumni Attaqwa di Facebook
No comments:
Post a Comment