Pages

Tuesday, December 18, 2018

Masalah Fiqih dalam Uang Elektronik

Tulisan ini imerupakan bagian dari kajian yang dihakciptakan oleh pemiliknya, terhadap Uang Elektronik. Oleh karena itu dimohon untuk tidak dikutip sebagian maupun seluruh isinya tanpa izin

Dalam perspektif syariah uang memiliki dua 2 (dua) fungsi, yaitu sebagai (i) alat tukar (medium of exchange), dan (ii) satuan hitung (unit of account).Pertama sebagai alat tukar, uang harus beredar di tengah masyarakat dan tidak boleh ditumpuk sehingga terjadi kekurangan dalam suplainya. Keistimewaan alat tukar adalah tidak boleh diperjual belikan sesama jenis dengan nilai yang berbeda. Kedua sebagai satuan hitung, fungsi uang sangat penting terutama dalam menghitung kewajiban zakat. Oleh karena itu, nilai uang harus stabil dan mencerminkan nilai sektor riil.

Fungsi lain dari uang seperti penyimpanan nilai (store of value) dan standar pembayaran tangguh (standard of deferred payment) tidak dikenal dalam syariah karena penyimpanan uang sebagai bentuk menghimpun kekayaan secara berlebihan tidak disarankan, sedangkan fungsi standar pembayaran untuk masa depan sudah menjadi fungsi intrinsik uang karena kestabilan dalam nilai tukarnya.

Uang dapat berbentuk koin emas atau perak, atau juga dalam bentuk lain sesuai yang disepakati dan diterima masyarakat,atau yang ditetapkan pemerintah selaku otoritas yang menjaga kepentingan (maslahat) publik. Ketika salah satu barang/komoditas dipilih sebagai mata uang/instrumen pembayaran, maka kualitas barang itu tidak boleh berkurang dengan adanya percampuran dengan barang lain sehingga akan terjadi turunnya nilai uang (debasement of currency). Apabila terjadi penurunan nilai barang/komoditas yang menjadi alat tukar/mata uang, maka fungsi uang sebagai standar nilai menjadi hilang karena tidak ada lagi yang dapat dipercaya sebagai ukuran.

Selain itu barang/benda yang dijadikan sebagai alat tukar oleh masyarakat harus diawasi oleh otoritas/pemerintah agar diyakini dapat memenuhi fungsinya sebagai alat bayar terhadap barang yang ditukar dengan benda itu. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah/otoritas dapat mengontrol standar uang yang beredar dan memberikan sangsi kepada para pihak yang melakukan penurunan nilai uang (debasement) dan menyebabkan turunnya kestabilan mata uang terhadap barang. Uang Elektronik  yang berkembang seperti jaman sekarang dapat memenuhi kriteria ini karena menjadi alat bayar dalam transaksi yang dilakukan para pihak selama diterima oleh masyarakat dan diawasi pelaksanaannya oleh otoritas yang berwenang. Pihak otoritas selaku penjaga maslahat (kepentingan) publik memiliki hak untuk mengatur, mengawasi dan menindak para pihak yang yang melakukan penyimpangan terhadap peredaran uang ini.

Uang adalah barang ribawi, yaitu barang yang mudah terkena riba apabila transaksi yang dilakukan terhadapnya tidak sesuai dengan syariah. Hukum menukar uang dengan uang yang sama jenisnya tidak boleh berbeda secara nilai, sesuai prinsip syariah yang disebut dalam hadits terkenal riwayat Ubadah bin Shamit

“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, dan sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, haruslah sama ukuran dan takarannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, ukurannya juga boleh berbeda dengan syarat tunai.” (HR. Muslim).

Meskipun uang saat ini telah berubah bentuk menjadi hak kepemilikan atas barang dan jasa, akan tetapi fungsinya sebagai penentu harga (tsamaniyah) dan alat tukar (alat bayar) tetap berlaku dan universal. Oleh karena itu apabila terjadi pertukaran mata uang yang sejenis, berlaku hukum riba apabila nilainya berbeda. Namun apabila jenis yang dipertukarkan berbeda maka nilainya ditetapkan berdasarkan kemampuan masing-masing penjual/penukar dalam memperoleh mata uang yang berbeda. Artinya bisa jadi nilai tukar mata uang asing berbeda antara yang ditetapkan pemerintah maupun oleh pengelola swasta. Hal ini disebabkan mata uang asing bukanlah alat tukar yang berlaku di negara yang bersangkutan, melainkan di negeri lain Hukum asli tukar menukar uang, baik sejenis maupun berbeda jenis adalah harus tunai. Jika terjadi bahwa pengiriman hanya bisa melalui proses tidak tunai maka harus ada ‘illat (dasar) yang mengakibatkan transaksi itu secara tidak tunai. Bisa jadi karena kebiasaan, misalnya harus dilakukan kliring ke negara lain terlebih dahulu, atau terjadi kelangkaan sehingga memerlukan waktu untuk penyampaiannya.

Hal yang sama berlaku untuk uang elektronik karena pada dasarnya ia memiliki nilai mata uang yang diwakilinya. Apabila nilai yang diterima kurang dari yang ditukarkan akibat harus ada pembelian media/aplikasi maka nilai yang hilang/tidak diperoleh harus dianggap biaya pembelian merdia. Demikian juga apabila melakukan penambahan nilai yang ada dalam media (top up) dengan membayar nilai yang lebih tinggi dari yang diterima, maka uang yang hilang harus dianggap biaya atas jasa yang dilakukan, misalnya jasa teknologi atau jasa penggunaan mesin pengisian. Menganggap kelebihan penukaran sebagai keuntungan dikhawatirkan menjadi riba yang dilarang akibat pertukarang uang sejenis.

Dalam perspektif syariah, segala sesuatu yang halal dan diterima masyarakat sebagai alat tukar maka ia dapat dianggap uang. Hal ini sesuai dengan tradisi yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW dan generasi sesudahnya. Pada zaman beliau uang yang digunakan sebagai alat pembayaran adalah koin emas yang diproduksi oleh Kekaisaran Romawi, dan koin perak yang diproduksi Kekaisaran Persia. Para sahabat beliau pun pernah mengusulkan barang lain seperti kulit binatang sebagai media pertukaran.Para ulama membolehkan alat tukar terbuat dari apapun selama diterima oleh masyarakat dan tidak selalu harus emas dan perak. Oleh karena itu, syariah dapat menerima penggunaan uang-elektronik sebagai instrumen pembayaran dan dapat dikategorikan sebagai uang apabila disahkan oleh otoritas dan diterima masyarakat.

Karena bentuknya yang cair, dan berada dalam suatu media, kepemilikan uang-elektronik  dapat dianggap sebagai kepemilikan atas hak bayar atas barang atau jasa yang diperlukan. Dengan demikian, pemilik uang-elektronik dapat dianggap sebagai pemilik jasa dalam jumlah tertentu sesuai nilainya, jika kartu yang berisi uang-elektronik  itu hanya khusus untuk membayar jasa tertentu. Tapi apabila nominal itu dapat untuk membeli barang dan jasa sekaligus, maka fungsinya kembali sebagai media pembayaran atau uang. Dalam syariah, transaksi untuk membeli barang berbeda akadnya dengan membeli jasa, meskipun sebagian ulama menganggap membeli jasa sama dengan membeli barang, hanya obyeknya saja yang berbeda, sementara rukun lainnya sama.

Dengan prinsip ini, maka dapat ditarik analogi bahwa pemindahan (transfer) nilai antar uang-elektronik mengikuti prinsip pemilikan uang-elektronik sebagai uang/hak bayar/hak tagih atau jasa yang terkandung dalam medianya. Artinya pemindahan hak bayar/pemilikan jasa boleh dilakukan selama mengikuti prinsip syariah, yaitu bernilai sama, tidak mengandung riba, tidak merugikan kedua pihak, tidak gharar dan sebagainya. Transfer nilai antar media uang-elektronik tidak dikategorikan sebagai pembelian uang.

Sesuai karakternya sebagai uang/alat pembayaran maka pemindahan nilai kepada pihak lain harus sesuai dengan yang disetorkan. Prinsip ini dikenal dengan nama sharf. Karena pada hakikatnya pertukaran dari uang fisik kepada uang-elektronik hanya terjadi perubahan media. Prinsip akad sharf adalah menukar uang dengan uang yang sejenis dalam bentuk lain dengan nilai yang sama. Prinsip ini lahir dari ketentuan syariah mengenai pertukaran emas dengan emas, perak dengan perak dan barang konsumsi lainnya. Kemudian, biaya pertukaran atau penambahan nilai pada media (top up) dapat dikenakan kepada pemohon karena pertukaran itu menggunakan teknologi dengan biaya tertentu yang harus dibayar. Besaran biaya pertukaran dapat berdasarkan kesepakatan atau ditetapkan oleh otoritas, namun tidak diperkenankan diperhitungkan menggunakan presentase. Selain itu, terkait dengan saldo dalam uang-elektronik , sesuai dengan prinsip syariah terkait kepemilikan terhadap aset, maka Pemegang uang-elektronik berhak menggunakan seluruh nilainya sampai bersaldo nihil.

Bentuk Perjanjian Antar Pihak
Menurut Fatwa DSN No.116/DSN-MUI/IX/2017 tentang Uang Elektronik Syariah, akad-akad yang berlaku dalam uang-elektronik  adalah sebagai berikut:

1. Akad antara Penerbit dengan Pemegang Uang Elektronik :
Akad antara Penerbit dengan Pemegang uang-elektronik  adalah akad wadiah atau akad qardh. Dalam hal akad yang digunakan adalah akad wadiah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wadiah, misalnya:

a. Jumlah nominal uang-elektronik bersifat titipan yang dapat diambil/digunakan oleh Pemegang uang-elektronik  kapan saja;
b. Jumlah nominal uang-elektronik yang dititipkan tidak boleh digunakan oleh penerima titipan (Penerbit), kecuali atas izin pemegang kartu;
c. Dalam hal jumlah nominal uang-elektronik yang dititipkan digunakan oleh Penerbit uang-elektronik atas izin pemegang kartu, maka akad titipan (wadiah) berubah menjadi akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab penerima titipan sama dengan tanggung jawab dalam akad qardh.
d. Otoritas terkait wajib membatasi Penerbit uang-elektronik  dalam penggunaan dana titipan dari pemegang kartu (Dana Float).
e. Penggunaan dana oleh Penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal akad yang digunakan adalah akad qardh, maka berlaku ketentuan dan batasan akad qardh sebagai berikut:

a. Jumlah nominal uang-elektronik  bersifat utang yang dapat diambil/digunakan oleh Pemegang uang-elektronik  kapan saja.
b. Penerbit dapat menggunakan (menginvestasikan) uang utang dari Pemegang uang-elektronik .
c. Penerbit wajib mengembalikan jumlah pokok piutang Pemegang uang-elektronik  kapan saja sesuai kesepakatan.
d. Otoritas terkait wajib membatasi Penerbit uang-elektronik dalam penggunaan dana pinjaman (utang) dari pemegang kartu (Dana Float).
e. Penggunaan dana oleh Penerbit uang-elektronik  tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, pelaksanaan kedua akad tersebut di atas hanya tepat pada uang elektronik yang berbasis server (server-based) seperti Go-Pay, Ovo, Paytren, T-Cash dan lain-lain. Pada uang-elektronik chip-based seperti E-money, Tap Cash, Kartu Komuter kereta api, E-tol dan lain-lain, aplikasi kedua akad tersebut tidak tepat. Hal ini disebabkan karena dalam akad wadiah ataupun qardh mengharuskan pemegang uang-elektronik tetap dapat mengambil uangnya (redemption), meskipun bukti kepemilikannya (kartu atau media lainnya) hilang. Padahal pada uang-elektronik berbasis chip (chip based ) hal itu tidak dapat dilakukan. Jika kartunya hilang, maka saldo yang ada di dalamnya ikut hilang, dan tidak bisa ditarik dari penerbit. Dengan demikian uang elektronik berbasis chip (kartu) pada dasarnya seperti uang khartal, yang bisa hilang karena tercecer atau rusak. Oleh karena itu uang elektronik seperti ini hanya dapat menggunakan pertukaran (sarf) yaitu menukar uang tunai atau dana di tabungan dengan yang ada dalam kartu.

2. Akad para pihak penyelenggara

Di antara akad yang dapat digunakan Penerbit dengan para pihak dalam penyelenggaraan uang-elektronik; prinsipal, acquirer, pedagang (merchant), penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir adalah akad ijarah (sewa), akad ju'alah (kuis), dan akad wakalah bi al-ujrah (kuasa dengan imbalan).

a. Dalam hal akad yang digunakan akad ijarah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ijarah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor:112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad ijarah.
b. Dalam hal akad yang digunakan akad ju'alah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ju'alah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor:62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju'alah.
c. Dalam hal akad yang digunakan akad wakalah bi al-ujrah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wakalah bi al-ujrah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor:113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah bi al-Ujrah.
3. Akad antara Penerbit uang-elektronik dan agen Layanan Keuangan Digital
Di antara akad yang dapat digunakan antara Penerbit uang-elektronik  dengan agen Layanan Keuangan Digital adalah akad ijarah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.

a. Dalam hal akad yang digunakan akad ijarah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ijarah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah.
b. Dalam hal akad yang digunakan akad ju'alah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ju'alah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju'alah.
c. Dalam hal akad yang digunakan akad wakalah bi al-ujrah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wakalah bi al-ujrah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 113/DSNll4UUIX/ 2017 tentang Wakalah bi al -Ujrah.

Kemudian, terkait ketentuan biaya layanan fasilitas, dalam penyelenggaraan uang-elektronik , Penerbit uang-elektronik dapat mengenakan biaya layanan fasilitas uang-elektronik kepada Pemegang uang-elektronik dengan ketentuan bahwa biaya-biaya layanan fasilitas harus berupa biaya riil untuk mendukung proses kelancaran penyelenggaraan uang-elektronik . Selain itu, pengenaan biaya-biaya layanan fasilitas harus disampaikan kepada pemegang kartu secara benar, sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Secara umum, ketentuan dan batasan penyelenggaraan dan penggunaan uang-elektronik wajib terhindar dari transaksi yang ribawi, gharar (ketidakjelasan), maysir (untung-untungan), tadlis (iklan palsu), risywah, dan israf serta transaksi atas objek yang haram atau maksiat.

Salah satu contoh dari kemungkinan riba yang timbul dalam uang-elektronik adalah diskon yang diperoleh karena adanya keharusan melakukan setoran awal. Pemberian diskon/poin/reward atau manfaat lainnya oleh penerbit uang-elektronik kepada pemegang uang-elektronik pada umumnya 
terjadi setelah pemilik uang elektronik memiliki saldo tertentu. Akibatnya pemilik uang elektronik memperoleh manfaat berupa pengurangan harga yang seharusnya dibayar untuk barang/jasa tertentu. Manfaat pengurangan harga ini tidak diperoleh bagi orang yang membayar dengan cash. 
Praktek ini (memberikan manfaat kepada pemilik yang sudah melakukan setoran) tidak dibenarkan dalam syariah.  Hal ini disebabkan penerbitan uang-elektronik syariah yang berdasarkan wadiah maupun qardh memiliki prinsip yang sama, yaitu tidak boleh menjanjikan dimuka akan manfaat atau hadiah, baik berupa uang maupun diskon. Padahal diskon dalam uang-elektronik hanya didapat apabila pemegang uang-elektronik melakukan setoran atau top-up pada penerbitnya.

Namun demikian, apabila diskon diberikan oleh Penerbit uang-elektronik  tanpa memperjanjikan terlebih dahulu kepada Pemegang uang-elektronik, sehingga Pemegang uang-elektronik hanya dihadapkan pada 1 (satu) pilihan harga sebelum bertransaksi maka hukum diskon tersebut diperbolehkan.

Dalam penerbitan uang-elektronik  chip based, akad antara penerbit uang-elektronik dan pemegang uang-elektronik dipandang lebih tepat menggunakan akad sharf, yaitu perjanjian penukaran uang/transfer dana menjadi uang-elektronik , sehingga dapat menjustifikasi risiko uang-elektronik hilang yang menjadi risiko pemegang uang-elektronik. Untuk penerbitan uang-elektronik berdasarkan server (server based,) akad yang digunakan mengacu pada DSN-MUI di atas, yaitu wadiah atau qardh. Dalam hal uang-elektronik digunakan pada pembelian jasa, maka akad yang digunakan antara penerbit dan pemegang uang-elektronik dapat menggunakan akad ijarah.

Pengenaan biaya pada penyelenggaraan uang-elektronik dengan prinsip syariah yang diperbolehkan sesuai dengan Fatwa DSN-MUI, yaitu biaya pembelian kartu, top up, biaya tarik tunai dan transfer dana. Nilai biaya harus berupa nilai riil, bukan persentase, dan disampaikan secara transparan kepada Pemegang uang-elektronik. Sementara itu, biaya administrasi yang dikenakan pada akun tidak aktif (biaya dormant) yang sifatnya sanksi atau men-discourage kepada pemegang uang-elektronik untuk tidak pasif bertransaksi dan bukan terkait dengan biaya pemeliharaan sistem, pada dasarnya tidak sejalan dengan prinsip syariah.


No comments: