Sertifikasi DPS Angkatan ke VII dilaksanakan lagi oleh DSN pada 8-11 Juni 2011. Pesertanya ada 29 orang. Panitia sempat menolak beberapa nama karena terlalu mepet sehingga tidak sempat lagi untuk kordinasi. Biasa, di Indonesia kalau sudah mendekati hari H, umumnya orang baru daftar. Ada yang mau lihat-lihat dulu (maksudnya ada teman nggak. Kalau tidak ada, rasanya iseng sendirian karena tidak ada yang bisa diajak ngerumpi). Ada juga yang takut rugi, karena khawatir, kalau sudah membayar terus batal, biasanya uangnya hanya 50% yang dikembalikan (padahal tidak pernah terjadi dalam sejarah sertifikasi)/
Menurut survey di beberapa kantor Bank Indonesia di berbagai daerah, sertifikasi yang dilaksanakan oleh DSN ternyata cukup berhasil karena mengubah pola dan kinerja para DPS, yang tadinya tidak aktif menjadi rajin. Bahkan di sebagian daerah para DPS malah berubah menjadi "garang". Hal ini menunjukkan gejala positif mengingat pengawasan syariah selama ini dikenal sebagai aspek yang paling memprihatinkan. Padahal seperti banyak tulisan di berbagai buku dan jurnal perbankan syariah, masalah syariah bisa menimbulkan risiko reputasi, risiko yang tidak dapat dihitung dan tidak dapat diperkirakan. Tahu-tahu ia muncul dan membuat sebuah bank kolaps, alias bangkrut, dalam hitungan hari!
Walhasil, urusan peningkatan kompetensi para DPS kini, menurut para pengamat, sudah on the right track. Tinggal meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang produk baru, terutama yang agak njlimet dan lagi ngetrend di luar negeri, seperti commodity murabahah, tawarruq, tahawwuth dan lain-lain. Yang seperti itu biasanya memerlukan lokakarya dan seminar yang berkelanjutan, yang oleh DSN biasanya dialokasikan pada acara Ijtima Sanawi alias pertemuan tahunan.
Walhasil, urusan peningkatan kompetensi para DPS kini, menurut para pengamat, sudah on the right track. Tinggal meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang produk baru, terutama yang agak njlimet dan lagi ngetrend di luar negeri, seperti commodity murabahah, tawarruq, tahawwuth dan lain-lain. Yang seperti itu biasanya memerlukan lokakarya dan seminar yang berkelanjutan, yang oleh DSN biasanya dialokasikan pada acara Ijtima Sanawi alias pertemuan tahunan.
Antara Telur dan Ayam
Bagaimanapun, urusan ke-DPS-an dalam hubungannya dengan DSN ini tetap menyisakan beberapa pertanyaan. Diantaranya apa yang bisa disebut sebagai fenomena telur dan ayam. Fenomena ini terjadi pada proses penetapan dan pelatihan DPS. Hal ini belum bisa terpecahkan, terutama terkait dengan proses wawancara untuk menjadi DPS. Pertanyaan yang relevan denga hal ini adalah, seharusnya yang calon DPS ditraining dulu baru diangkat, atau sebaliknya direkomendasi untuk dijadikan DPS, baru setelah itu dilatih untuk memeriksa aspek kesyariahan?
Saat ini, sesuai tradisi, paling tidak ada dua proses yang harus dilalui calon DPS. Pertama, proses untuk memperoleh rekomendasi dari DSN. Sudah lama DSN menjadi bulan-bulanan para pengawas Bank Indonesia maupun dari industri perbankan karena dianggap memberikan rekomendasi para DPS yang tidak memiliki kompetensi yang cukup. Padahal rekomendasi DSN boleh dibilang "surat sakti" yang harus diperoleh untuk dapat maju dicalonkan sebagai DPS di bank yang bersangkutan, sebagai syarat untuk diajukan ke Bank Indonesia. Sejak 2008 DSN sudah tidak ingin lagi dianggap tukang stempel, yang kerjanya hanya memberikan rekomendasi buta terhadap calon DPS yang diajukan bank. Apalagi setelah muncul beberapa kasus dimana beberapa calon DPS yang telah direkomendasi DSN gagal dalam wawancara di Bank Indonesia. Maklumlah kebanyakan DPS yang dicalonkan bank berasal dari para akademisi dan MUI setempat. Umumnya mereka yang kita anggap ulama di Indonesia, mengetahui dan alim dalam bidang ibadah. Kalaupun ada yang lain, pasti masalah munakahat (soal-soal terkait perkawinan dan hukum-hukumnya). Untuk urusan fiqih muamalah maliyah, jarang ada yang menekuni. Yang menekuni bidang itupun belum tentu juga masih menguasai. Pernah ada profesor dalam muamalah dicalonkan menjadi DPS, yang sulit membedakan antara Murabahah dan Mudharabah pada waktu wawancara.
Kedua, proses memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Bank Indonesia menganggap DPS merupakan organ dari bank syariah yang mirip komisaris. Dengan demikian DPS menjadi pihak yang terafiliasi, yaitu berhak mendapatkan akses terhadap informasi dalaman bank sekaligus bertanggungjawab terhadap kerahasiaannya. Oleh karena itu, kompetensi dan integritas DPS diperlukan, sama halnya pengurus bank lainnya seperti direksi dan komisaris. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, calon DPS harus diwawancarai oleh Bank Indonesia yang memiliki jurisdiksi tempat bank syariah berada/berlokasi. Pada proses inilah biasanya calon DPS berguguran karena kompetensi yang dimiliki tidak nyambung dengan pertanyaan dari pewawancara. Padahal berdasarkan pengakuan yang diwawancara, pertanyaan yang diajukan seringkali terkait dengan apa yang seharusnya mereka sudah kuasai dari awal. Jadi, persoalannya dimana?
Kesulitan yang dialami DPS
Melakoni tugas sebagai DPS di bank syariah tidak mudah. Untuk menggali kesulitan ini, pada sertifikasi angkatan ke VII lalu diadakan survey kecil mengenai kesulitan yang dialami para DPS di bank masing-masing. Para peserta diminta memberikan 1 (satu) jawaban atas pertanyaan tentang kesulitan yang dihadapi dalam menjalankan tugas selaku DPS. Jawaban yang diperoleh cukup mengejutkan meskipun bervariasi tingkat kedalamannya. Jawaban itu dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori berikut (jawaban yang sama tidak ditulis ulang).
Kategori Pengetahuan dan Pengalaman, meliputi:
Tidak mengerti aplikasi fiqih muamalah di dunia perbankan
Kekurangan ilmu dan kemampuan dalam memeriksa bank sayriah
Tidak bisa sharing dengan DPS lainnya karena kurangnya ilmu
Pengetahuan kurang memadai tentang pemeriksaan tentang angka-angka karena pengetahuannya hanya terbatas pada hukum (Islam)
Belum tahu apa yang harus diteliti (secara spesifik)
Karena masih belum memahami penuh tentang perbankan syariah
Anggota DPS kurang mengerti tentang operasional perbankan secara ilmiah
Sulit melakukan pemeriksaan neraca dalam rangka mencari dana yang tidak syariah
Belum memiliki pengetahuan/instrumen yang praktis dalam pengawasan
Kadang masih belum faham tatacara pelaporan 6 bulanan pada Bank Indonesia
Kategori Kelengkapan yang meliputi
Ruang kerja tidak memadai (di sebagian bank malah tidak ada ruangan sama sekali)
Belum ada staf khusus untuk DPS.
Tidak ada staf khusus untuk DPS yang membantu melakukan uji petik.
Audit internal yang biasa membantu sudah pindah ke tempat lain, dan belum ada pengganti.
Kategori Fisik (hanya ada satu keluhan)
Jarak yang jauh dan sendirian pula. Ini dialami oleh seorang anggota DPS sebuah BPRS.
Kategori Manajemen, meliputi
Obyek pengawasan (jumlah akad, jumlah kantor cabang) banyak sekali
Pihak direksi kurang cooperatif
Menghadapi alasan-alasan pihak direktur
Data bank tidak terbuka untuk DPS
Direksi tidak mengikutkan DPS dalam rapat pengurus dan kurangnya konsultasi direksi dengan DPS
Karena masih berbentuk Unit Usaha Syariah, sulit untuk menyamakan persepsi dengan bagian lain yang tidak memahami sistem syariah seperti dengan legal, auditor dll
Ingin turun pemeriksaan ke lapangan, tapi belum terealisasi. Padahal program kerja sudah disampaikan kepada direksi
Banyak kesalahan syariah karena minimnya pengetahuan syariah pengelola bank syariah
Teguran yang tidak diperhatikan
Jarang mengadakan rapat direksi dengan DPS
Belum optimal untuk rapat rutin dengan anggota DPS dan Direksi Kategori Psikologis meliputi:
Komisarisnya semua keturunan Cina sehingga ada masalah ketidaknyamanan dalam komunikasi.
Tergantung kepada ketua DPS, sulit untuk menentukan pilihan.
Merasa diangkat oleh bank dan digaji oleh bank, sehingga risih rasanya apabila ingin berbeda.
Kategori Fisik (hanya ada satu keluhan)
Jarak yang jauh dan sendirian pula. Ini dialami oleh seorang anggota DPS sebuah BPRS.
Dari jawaban yang diberikan terbukti bahwa masalah pengetahuan menempati masalah kedua yang dikeluhkan oleh para DPS. Masalah teratas mereka adalah urusan yang melibatkan masalah manajerial yang tidak bisa diberikan solusinya oleh para DPS. Ini artinya jika masalahnya ada pada kompetensi, training sertifikasi selama tiga hari dapat dianggap cukup memadai, sekedar untuk memberikan kunci atas pintu ilmu pengawasan dan pemeriksaan yang lumayan complicated. Tapi jika masalahnya adalah pada manajerial, tentu urusannya bukan pada para DPS semata, tapi juga para pengurus (komisaris dan direksi). Bagaimana banknya mau maju dan dihormati oleh masyarakat jika pengurusnya ogah-ogahan menyertakan DPS dalam urusan bank, terutama pengawasan dan pengembangan produk? Hal ini juga menunjukkan bahwa Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI tentang Good Corporate Governance untuk Perbankan Syariah dan turunannya Surat Edaran 12/13/DPbS mengenai Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, belum dilaksanakan sepenuhnya oleh bank-bank syariah.
Kalau sudah begini, bagaimana bank syariah di tanah air bisa bersaing dengan para pemain asing yang mulai memasuki pasar Indonesia yang juga memasuki industri ini? Mereka adalah bank-bank yang di negerinya amat memperhatikan urusan sharia board ini agar terhindar dari risiko reputasi dan bisa merebut pasar karena DPS nya amat dihormati di negeri masing-masing. DPS-DPS itu dihormati karena memiliki kompetensi yang mumpuni dan integritasnya tidak diragukan. Nah bagaimana DPS kita akan bisa berperan di tingkat internasional kalau mau training sertifikasi saja masih harus wait and see?
Wallahu A'lam
3 comments:
Tulisan Sertifikasi DPS nya menarik bang, yang jadi pertanyaan saya, kalau sudah menguasai seluk-beluk fiqih muamalah maliyah, tapi belum menguasai kriteria lain seperti statistik atau yang sejenisnya, apakah bisa dicalonkan menjadi DPS .. Atau ada kriteria khusus seseorang bisa dicalonkan menjadi DPS .. Terima kasih banyak bang ..
bang cecep mau tanya kalo untuk sertifikasi dps di asuransi syariah seperti apa perkembangannya? terima kasih
Post a Comment