Pages

Wednesday, May 23, 2012

Qurthuby dan Garnathy, Riwayatmu kini

Di salah satu bagian Madinatuz Zahra, Cordova
Qurthubi, nama yang biasa bagi seseorang di Indonesia. Saya juga punya guru bahasa Arab dengan nama itu. Bagi yang pernah belajar tafsir Alquran, nama itu pasti mengingatkannya pada seorang ahli tafsir bernama Imam Qurthuby, pengarang kitab Al-Jami' Li Ahkamil Quran. Tapi siapa yang pernah dengar nama Gharnathy?

Qurthuby dan Gharnuthy sebenarnya kata sifat yang menisbatkan seseorang pada kota Cordova (Qurthubah) dan Granada (Gharnathah) di Spanyol. Imam Qurthuby misalnya. Nama aslinya adalah Abu 'Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr al-Ansari, ulama terkenal abad 8. Dia lahir dan besar disana, meskipun meninggalnya di Mesir. Tapi karena dia berasal dari Cordova, orang-orang memanggilnya Al-Qurtubi. Atau Ibn Hazm alAndalusy, yang nama aslinya Abū Muḥammad ʿAlī ibn Aḥmad ibn Saʿīd ibn Ḥazm, ahli fiqih terkenal dari Mazhab Zahiry.  Ia  juga lahir di Cordova, tapi lebih terkenal dengan nama Andalus, nama lain dari Spanyol yang dikuasai Islam jaman baheula. Tokoh lainnya adalah sufi terkenal, Abul Abbas Al-Mursi yang aslinya bernama Shahab al-Din Abu'l-'Abbas Ahmad ibn 'Umar ibn Mohammad al-Ansari.  Dia lahir di Murcia, Spanyol selatan dan meninggal di Alexandria (Iskandaria), Mesir. Atau Said AlAndalusy, penulis Tabaqatul Umam yang juga sering disebut Al-Tulaytuli, istilah Arab untuk kota yang kini bernama Toledo (sebelah timur Madrid). Dan layak disebut juga, Abul Qasim Maslamah bin Ahmad Almajriti, ahli matematika dan astronomi dari Madrid, ibukota Spanyol sekarang. (lihat http://www.muslimheritage.com/)

Tulisan ini bukan untuk membahas soal etimologi  nama-nama. Entah kenapa saya jadi teringat terus kepada kedua kota itu. Padahal kunjungan kesana sudah berlalu 3 tahun yang lalu. Mungkin karena romantisme keagamaan yang menggebu (bayangin aja, Islam berkuasa disana hampir 800 tahun dan tiba-tiba lenyap begitu saja dengan pengusiran orang-orang Islam yang disebut Moriscos). Atau mungkin  juga karena rasa takjub melihat peninggalan arsitektur dan ilmu pengetahuan lainnya disana. Atau malah kangen dengan musim dingin disana yang tidak terlalu dingin dibanding Roosendaal (Belanda), kota singgah saya setelah dari sana sebelum pulang ke Jakarta.

***

Di bagian dalam Islamic Cultural Center, Madrid
Sekitar bulan Februari 2006 saya menerima email dari Islamic Research Training Institute (IRTI), sebuah divisi dari Islamic Developement Bank, Jeddah. Isinya merupakan panggilan menulis paper (Call for Paper) untuk sebuah seminar yang membahas peran dan kontribusi Ibn Khaldun dalam ilmu ekonomi. Ibn Khaldun, dikenal di Barat sebagai Father of Sociology, adalah ulama yang lahir dan besar di Andalusia. Ia terkenal dengan bukunya Muqaddimah. Dibalik analisanya yang panjang tentang sejarah para dinasti (umran) bukunya itu juga memiliki dasar-dasar teori ekonomi. Dan itu ditulisnya 400 tahun sebelum Adam Smith menuliskannya dalam buku The Wealth of Nations pada 1779. Dengan bukunya ini Smith kemudian dianggap sebagai pendiri ilmu ekonomi.


Seminar itu sendiri akan dilakukan pada bulan Nopember (kira-kira 2 minggu setelah Iedul Fitri), dan tempatnya di Madrid. (Madrid? Wah keren banget kalau bisa sampai kesana. Apalagi kalau sampai bisa nonton La Liga tempat para pemain bola taraf dunia berlaga.) Adalah kebiasaan dari IDB, jika mengundang orang untuk presentasi, mereka akan menyediakan tiket dan akomodasi. Maka dengan semangat berapi-api saya pun menulis paper tentang teori-teori ekonomi Ibn Khaldun yang dapat ditarik dari bukunya, Mukaddimah. Kapan lagi bisa lihat negara dengan peninggalan Islam begitu banyak secara gratis? Kebetulan saya pernah menyiapkan bahan kuliah tentang hal ini untuk IAIN, sehingga penulisan paper dalam bahasa Inggris tinggal menerjemahkannya saja. Selebihnya tinggal menambahkan bagian-bagian yang  saya anggap belum cukup. Seminggu sebelum puasa, pemberitahuan datang, bahwa paper saya diterima dengan syarat ada perbaikan disana-sini. Alhamdulillah.
 
Karena penunjukkan ini atas nama pribadi, maka saya harus mengajukan cuti ke kantor. Atasan saya bingung, karena permohonan cuti yang saya ajukan tidak lazim. "Ustaz," katanya "orang-orang mah cuti selama lebaran, ini koq malah sesudah lebaran?" katanya sambil cengar-cengir. Waduh....jangan-jangan rencana saya ini udah ketahuan. 
 
****

Ketika mengurus tiket dan visa, saya ketahui bahwa penerbangan ke Spanyol harus singgah di salah satu “gerbang Eropa” yaitu Frankfurt, Paris atau Amsterdam. Saya akhirnya memilih Amsterdam karena saya pernah transit di Frankfurt dulu waktu ke Itali pada tahun 2003, saat menjadi pembicara di Seminar Perbankan Islam yang disponsori Monash University Kuala Lumpur. Sedangkan di Paris saya tidak kenal siapa-siapa. Pilihan untuk transit di Amsterdam ternyata tidak sia-sia, karena oleh travel agent bisa diperpanjang sampai 4 hari. Saya akan menggunakannya untuk berkunjung ke rumah keponakan perempuan yang tinggal di Rosendaal, sebuah kota kecil di selatan Belanda. Keponakan perempuan ini menikah dengan pria Belanda 3 tahun sebelumnya. Pada waktu nikahnya saya menjadi saksi sekaligus penerjemah dan pembimbing hukum-hukum perkawinan. Ternyata mondok di pesantren semi-moderen seperti di Attaqwa, Ujungharapan (Bekasi Utara) punya banyak keuntungan juga. Bisa jadi penasehat perkawinan sekaligus jadi penerjemah dari English ke Bahasa. Padahal sehari-hari kerja saya di bank. (Gado-gado ni yee)

***

Terbang ke Madrid lewat Amsterdam dengan pesawat KLM punya risiko sendiri bagi kita yang muslim. Untung protokol kantor mengingatkan saya untuk memesan muslim food, melalui agen perjalanan seminggu sebelum take off. Saya tidak ingin pengalaman terbang ke Roma pada tahun 2003 terulang kembali. Saat itu kami menggunakan Lufthansa dan lupa memesan muslim food sehingga makanan yang disediakan semua ala Eropa. Dan yang namanya ala Eropa, kalau pesan daging mesti diberi daging babi. Kalau pesan susu, yang ada susu sapi. Dan yang namanya minum, pilihannya beer atau soft drink. Karuan saja setiap kali dihidangkan makanan kami kudu tanya dulu makanan apa yang disediakan. Capek deh.

Untungnya penerbangan KLM dari Jakarta transit di Kuala Lumpur. Karenanya soal makanan di penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur-Amsterdam aman. Ketika melakukan penerbangan dari Amsterdam ke Madrid, dan giliran snack-time tiba, nama saya yang dicari pramugari pertama kali. Mr. Cecep, did you order muslim food? katanya. Wah, alhamdulillah... selamat nih, pikir saya. Di belakang saya ada penumpang berkebangsaan India yang minta disediakan vegetarian food, alias makanan yang tidak ada dagingnya. Pramugari bilang anda tidak memesan sebelumnya, jadi penerbangan tidak menyediakannya.

Ini perjalanan saya ke luar negeri yang pertama kali atas beban sendiri. Biasanya, semuanya disediakan kantor. Bahkan sejak 2005 ada kebijakan baru, pegawai yang melakukan dinas luar negeri diberikan paspor dinas (biru) karena dianggap melakukan tugas negara. Terus terang kali ini agak ketar-ketir juga, khawatir uang yang pas-pasan tidak cukup untuk transpor. Padahal saya sudah niat mengunjungi beberapa kota di Spanyol yang umumnya menyimpan sisa peradaban Islam. Mungkin karena niat ikhlas ini atau karena kebetulan, di bandara Madrid saya bertemu dengan rombongan KBRI yang sedang menjemput salah seorang dipomat yang akan bertugas disana. Kebetulan pula hotel yang dipesankan IDB untuk para pembicara konferensi berdekatan dengan kantor kedutaan. Jadilah saya diajak nebeng mobil dinas, alias gratis.

Kalau seminar di Indonesia, pembicaranya dari luar negeri, biasanya dengan senang hati tuan rumah akan menjemput di Bandara. Tapi jangan harap itu akan terjadi jika kita jadi pembicara di luar negeri. Haqqul yakin kita akan ngongkos sendiri, datang sendiri. Begitu juga disini. Bahkan tokoh ekonomi Islam selevel Dr. Umer Chapra, naik taksi sendiri dari bandara.

Tiba di hotel sudah ada teman dari IDB namanya Syed Salman Syed Ali. Dia bertanya apakah saya datang bersama Irfan? Lha, seingat saya cuma saya yang diundang dari Jakarta. Rupanya ada orang Indonesia juga yang papernya diterima, yaitu Irfan Syauqi Bek, putera KH Didin Hafiduddin, yang juga kandidat doktor ilmu ekonomi dari International Islamic University Malaysia.

Sore hari saya ketemu Irfan Syauqi dan beberapa teman dari Malaysia yang juga diundang untuk jadi pembicara di seminar Ibn Khaldun ini. Mereka lalu saya ajak ke KBRI karena ada undangan untuk menyambut pegawai home staff yang baru. Ternyata yang diperkenalkan itu satu pesawat dengan saya dari Jakarta. Bedanya mereka di kelas utama, saya di kelas ekonomi.  Saya melihat teman dari Malaysia senang sekali datang ke KBRI. Maklumlah, katanya, lama negara kita berjiran , tapi tahu Indon dari television je. (Maksudnya udah lama negara kita bertetangga, tapi tahu tentang Indonesia dari televisi saja). Apalagi makanan yang dihidangkan itu jenis yang mereka nggak pernah nemu seperti baso, gado-gado, dan sate ayam.

Hari kedua di Madrid, masih belum ada kegiatan. Saya udah mulai bosen di hotel karena makanan halalnya terbatas. Sayapun mengajak Irfan untuk muterin daerah sekitar. Kami jalan kaki di tengah udara sejuk musim dingin Spanyol yang tidak terlalu dingin dibanding Inggris atau Belanda. Kami akhirnuya tiba di Islamic Cultural Center, tempat seminar akan dilaksanakan. Tempat ini sangat besar untuk ukuran di Madrid yang mayoritas penduduknya Katolik. Malamnya baru ada makan malam dengan Dubes Saudi Arabia. Makanannya ala maroko. Banyak populasi muslim di Spanyol ini, terutama dari Maroko. Acaranya di Islamic Cultural Center yang megah

***
(Bersambung)

No comments: