Buka puasa bersama di kantor pada bulan Ramadhan tahun ini dilakukan pada suasana yang kurang enak. Pertama karena waktunya mepet, hanya 2 hari menjelang libur bersama seluruh kantor. Libur ini bakalan panjang karena dimulai tanggal 3-11 Agustus 2013 berkaitan dengan Hari Raya Iedul Fitri 1435 H. Faktor kedua adalah merangkaknya tingkat inflasi pada akhir paruh pertama tahun berjalan.
Meskipun banyak yang menuding kenaikan harga BBM sebagai biang keladi naiknya tingkat inflasi ( terasa pada harga sembako, terutama daging dan bumbu masak seperti cabe dan bawang) tapi seasonal inflation tidak kurang kuatnya berpengaruh terhadap situasi ini. Maka topik tausiah menjelang bukber adalah topik favorit sejak lama yaitu Puasa dan inflasi.
Di Indonesia, puasa pada bulan Ramadhan selalu dipesankan agar penuh makna. Para ulama dan ustaz senantiasa berpesan mengenai pentingnya Ramadhan bagi ummat Islam yang merupakan penduduk terbanyak negara ini. Pesan itu amat luhur, bahwa Ramadhan adalah bulan penuh rahmat dan maghfirah. Orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan berarti menjiwai kehidupan orang lain yang sehari-hari susah memperoleh makanan. Dengan berpuasa orang berlatih untuk menahan sabar dari godaan makanan dan berlatih untuk jujur pada diri sendiri karena yang tahu apakah seseorang itu berpuasa atau tidak hanya dirinya sendiri dan Tuhannya.
Tapi apa yang terjadi? Seharusnya, diantara hikmah puasa bagi ummat Islam adalah hemat. Karena dengan berpuasa, paling tidak ada pengurangan makan 1x sehari dari yang biasanya 3 kali menjadi 2 kali. Bayangkan hasil penghematan alami ini (jika puasanya dijiwai) dilakukan oleh, katakan setengah dari ummat Islam yang jumlahnya 200 juta di negeri ini. Tapi justru yang terjadi malah kebalikannya. Catatan para ekonom menunjukkan, proporsi makanan pada bulan puasa justru lebih tinggi dibanding bulan-bulan biasa. Makanya jangan heran meskipun pemerintah berusaha mengimpor daging sapi untuk menurunkan harganya, tapi daging masih sulit dibeli karena tingginya harga.
Hal yang sama terjadi pada sektor lain, seperti garmen/pakaian. Memang menurut hadits yang dikutip Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad disebutkan bahwa "Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri". Tapi mengapa terjemahannya menjadi pakaian baru? Beda antara pakaian bagus dan baru memang tipis, tapi tidak kecil bagi ekonomi sebuah negara dengan penduduk massif seperti Indonesia tercinta. Jika satu orang memerlukan 1 set pakaian untuk lebaran, tinggal dikalikan saja keperluan untuk 200 juta orang menjelang lebaran. (bukan setengah yang lebaran tapi seluruhnya, karena yang tidak puasa juga seringnya ikut-ikutan). Bayangkan permintaan yang timbul dalam satu bulan (bahkan sebelumnya) untuk bahan pakaian, kancing, benang, tenaga penjahit dan sebagainya. Jika sebagian permintaan itu tidak terpenuhi, maka ia menjadi pendongkrak harga yang berujung kepada naiknya tingkat inflasi
Sektor transportasi malah lebih parah. Berita yang dilansir berbagai media menunjukkan tiket kereta sudah habis terjual sebelum puasa dimulai. Lebaran memang waktu yang paling tepat untuk bersilaturrahim dengan famili dan sahabat. Tapi karena terjemahannya adalah silaturrahim dengan keluarga di kampung, maka semua moda transportasi pun diburu. Berapa juta liter bensin harus habis untuk keperluan ini, tidak perduli harganya naik. Tidak ada premium, premix pun disikat juga.
Kata KH. Ali Mustafa Ya'qub, puasa yang seharusnya bermakna ekonomis, empati dan hudu (tenang) di Indonesia sudah tidak ada lagi. Tayangan TV pengantar berbuka maupun sahur sudah menjelma menjadi BBD (Badut, Bencong dan Dukun). Hanya sebagian kecil program yang berisi ceramah keagamaan yang mendorong akal dan hati untuk lebih memaknai ibadah Ramadhan.
Makanya bagaimana puasa mau jadi instrumen pengurang inflasi jika Ramadhan tidak lebih dari puasa lapar-dahaga, sahurnya danda dan tawa, serta lebarannya pesta pora?
Habil Kantor, 12 Juli 2013
No comments:
Post a Comment