Pages

Saturday, August 20, 2011

Guru Nawawi Gabus; Loyalitas Tak Berbatas

Namanya Nawawi. Asalnya dari kampung Gabus. Karena ada dua Nawawi di pondok kami, kami memanggilnya Nawawi Gabus. Nawawi yang satunya adalah guru Nawawi, putera Ujungharapan tamatan Gontor dan jago menulis khat. Jarak antara kedua Nawawi itu sebenarnya agak jauh, Tapi karena keduanya kemudian menjadi guru di pondok kami, maka harus ada panggilan yang membedakan keduanya. 


Ia memang anak Gabus asli. Sebuah kampung di daerah Bekasi Utara yang terkenal dengan para jawaranya. Kesan bahwa dia berasal dari "kampung para jawara" memang tidak berlebihan. Orangnya berani, tidak takut pada siapapun. Apalagi kalau ada yang menantang berkelahi. Jangan harap dia mundur sebelum yang menantang minta maaf atau kalah. Pendek kata, Nawawi memang andalan (baca becking) teman-teman apabila kalau ada potensi gangguan dari pihak lain terhadap pondok pesantren tercinta. Tidak mengherankan ia diserahi tugas sebagai keamanan di organisasi santri.

Namun, meskipun dikenal berasal dari kampung jagoan, hormat Nawawi kepada guru sangat tinggi.  Loyalitasnya kepada Pak Kiai seperti tiada duanya. Barang siapa yang pernah membaca buku/kitab Ta'lim Muta'allim, kitab masyhur tentang adab murid dalam belajar, mungkin bisa melihat contohnya pada Nawawi, Hormat pada gurunya, Pak Kiai, diiringi juga hormat pada keluarganya.

Bisa jadi karena sebab itu pula kesetiaan Nawawi terhadap pondok kami tidak pernah luntur. Ia tetap aktif di berbagai organisasi dan kepanitiaan di bawah naungan pondok kami, Attaqwa Ujungharapan. Namanya selalu muncul sebagai kepala sekolah di berbagai cabang yayasan Attaqwa, di kepengurusan alumni, dalam panitia maulid masjid pusat. Pernah Nawawi berada dalam satu kepengurusan IKAA bersama istrinya tercinta. Dan bahkan sebelum wafatnya awal tahun 2011 ia masih aktif bekerja sebagai seksi pencari dana untuk kepanitiaan renovasi masjid Attaqwa.

Sepak terjang Nawawi sebagai guru di Attaqwa barangkali hanya bisa disaingi oleh gurunya sendiri, Guru Natsir. Sampai akhir hidupnya ia tercatat sebagai guru di Madrasah Tsanawiyah Attaqwa Pusat. Sebelumnya, ibarat pesilat, ia telah malang melintang  di dunia persekolahan di lingkungan yayasan Attaqwa, yayasan yang menjadi pelindung sekolah dan pondok kami. ia tidak pernah putus ada dan mengeluh. ia selalu mencari pcara agar sekolahnya maju dan tidak kalah bersaing dengan sekolah milik pemerintah. Karena kreatifitasnya, Ia pernah dimarahi Pak Kiai karena mau mengubah waktu belajar madrasah ibidaiyyah yang dipimpinnya menjadi sore hari. Keluarlah perkataan Pak Kiai yang masih diingatnya sampai saat ini: "Murid yang belajar pagi, meskipun cuma 3 orang itu murid elu asli. Sedangkan murid yang belajar sore, meskipun jumlahnya banyak, adalah murid pinjaman". Sontak Nawawi mengurungkan niatnya dan akhirnya menetapkan waktu belajar untuk madrasah Ibtidaiyyah Attaqwa Babelan tetap pagi meskipun muridnya sedikit. Dengan kerja kerasnya mempertahankan kualitas belajar dan kedisiplinan, akhirnya madrasah itu jadi ramai dan jumlah siswanya sama ramainya dengan SD negeri.

Pendidikan Nawawi  tidak pernah keluar dari Attaqwa. Walaupun akhirnya ia memperoleh Sarjana Agama, (S.Ag) itupun ia peroleh dari Unisma (Universitas Islam 45) Bekasi karena tuntutan adanya sertifikasi guru yang harus strata 1. Tapi ia tidak malu untuk belajar lagi walaupun ia harus duduk di bangku kuliah bersama mahasiswa yang dulu menjadi siswanya di sekolah. Ia tidak bermimpi untuk bisa belajar di luar negeri seperti di Kairo atau Madinah, karena keterbatasan biaya. Tapi ia memiliki tekad yang kuat, agar salah satu anaknya bisa belajar di negeri orang. Dan ternyata impiannya menjadi kenyataan walaupun dengan susah payah.

Setelah melanglangbuana dari sekolah ke sekolah (Nawawi pernah di tempatkan di madrasah di Ujungharapan, Babelan, Gabus dan lain-lain) Nawawi akhirnya harus istirahat. Penyakit  typhus yang selalu menemaninya sejak pertengahan umur 40an (karena sering bekerja terlalu keras) sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Nawawi harus istirahat untuk selamanya dalam usia 53 tahun. Ketika berita wafat itu tiba, ucapan yang muncul secara spontan dari mulut saya adalah "telah pergi seorang sohib pekerja keras yang loyalitasnya pada pondok kami, nyaris tak berbatas." 

Ia memang selalu memanggil saya dengan panggilan akrab, shohib kita dari Cikarang. Wallahu A'lam

Ramadhan 1433 H
Taman Rafflesia

Kosakata:

Pak Kiai: Almaghfurlah, KH, Noer Alie, Pendiri dan Pimpinan Umum Yayasan Attaqwa Ujungharapan, Bekasi
Ta'lim Muta'allim: Kitab karangan Aljurjani, ulama asal Georgia di abad 17

1 comment:

Anonymous said...

Have a nice day, teman saya!