Di tengah kesibukan kerja yang serba marathon dan dadakan, saya mencoba memenuhi janji kepada Bung Sire dan Darso untuk menuliskan sesuatu tentang governance yang dimiliki pondok tercinta. Semoga bermanfaat
CORPORATE GOVERNANCE ALA PPA
Terik siang jam 13.00, 1 Muharram 1401 Hijriyah. Seorang santri di atas podium membacakan laporan pertanggungjawaban pengurus periode sebelumnya di hadapan para santri lain. Laporan pertanggungajawaban berisi pelaksanaan program kerja selama setahun kepengurusan. Setelah itu dilakukan tanya jawab antara pengurus dan anggota, yang dalam jadwal acara lazim disebut pandangan umum. Terkadang situasi memanas karena pengurus menjawab kritik dengan sedikit emosi. Yang mengeritik tidak kalah emosi, bahkan pernah terjadi peserta meminta agar pimpinan sidang turun dari podium apabila memang tidak becus memimpin sidang.
Ritual sidang tahunan yang dikenal dengan Sidang Pleno –Persatuan Pelajar Attaqwa, organisasi santri pondok Attaqwa- merupakan sarana pendidikan non formal para santri untuk mengenal adanya asas pertanggungjawaban para pemimpinnya. Para pengurus organisasi santri itu dituntut untuk melaksanakan program yang telah digariskan setahun sebelumnya. Tidak jarang para pengurus merasa ”ditelanjangi” di forum itu karena program-program yang dilasakanakannya tidak sesuai harapan para santri. Tapi seringkali juga para santri yang ”menyimpan dendam” karena pernah terjaring operasi disiplin oleh pengurus, menjadikan ajang demokrasi itu sebagai sarana meluahkan uneg-uneg dalam bentuk kritik yang bikin merah telinga.
Bagaimanapun, dinamika yang terjadi dalam Sidang Pleno merupakan kondisi yang sehat, karena aksi dan reaksi muncul dalam situasi keterbukaan. Artinya baik kepentingan pengurus -untuk membuktikan bahwa mereka berhasil menjalankan program- maupun upaya peserta -untuk mengunderestimate pengurus- dapat dinilai sendiri oleh peserta secara terbuka. Jika persoalan tidak selesai, maka disepakati untuk membentuk tim verifikasi committee yang bertugas untuk menilai dan menyelesaikan masalah. Tidak jarang jika tim ini sudah terbentuk, para guru diminta untuk turun gunung.
Entah mengapa situasi sidang sedemikian terbuka dan bebas, sehingga dapt dikatakan cenderung liberal. Para guru pun seolah mafhum dan tidak ingin membatasi kebebasan para santri untuk belajar berani bicara dan berekspresi. Karenanya mereka cukup memantau dari jauh. Para santri yang baru pertama kali ikut biasanya hanya mampu menyaksikan para senior mereka tampil silih berganti memamerkan kepiawaian dalam retorika dan berdebat dengan lainnya.
Para peserta biasanya tertarik pada alasan mengapa pengurus tidak mampu melaksanakan suatu program tertentu. Lampiran-lampiran berupa daftar inventaris dan laporan keuangan jarang dilirik, kecuali jika ada santri yang memang senang pada angka, dan mampu melihat adanya kejanggalan, baik dalam masalah jumlah yang tidak singkron maupun selisih yang muncul akibat alokasi anggaran yang tidak perlu. Dengan jumlah santri yang ratusan dan sebagiannya merupakan santri kalong -alias pulang setelah zuhur dan datang malam- bahkan hanya santri sekolah, pendapatan organisasi dari iuran santri merupakan pendapatan yang mesti diatur sebaik-baiknya. Jika terjadi pemborosan atau salah anggaran, bisa dipastikan pengurus tidak akan meninggalkan saldo apapun, bahkan yang tersisa malah hutang untuk pengurus periode berikutnya.
Sidang pleno berakhir dengan pemilihan calon ketua umum. Sebelum itu para santri juga harus melewati agenda lain, yaitu sidang-sidang komisi (keorganisasian, program kerja, dan usulan) serta pleno komisi. Agenda-agenda itu sering membosankan dan bikin ngantuk. Tapi dengan adanya pemilihan ketua, suasana kembali menjadi segar dan bersemangat.
Selesai? Belum. Laporan pertanggungjawaban dan nama para calon ketua –hasil pemilihan pertama- dibawa kepada pimpinan perguruan untuk diverifikasi. Biasanya nama-nama yang “bermasalah” akan segera tersingkir, entah karena terkena peraturan pondok, keuangan maupun masalah adab. Nama yang lolos dari verifikasi pimpinan kemudian dimajukan kembali untuk dipilih yang kedua kali. Sedangkan laporan pertanggungjawaban beserta hasil-hasil sidang pleno (terutama yang menyangkut usulan kepada perguruan dan yayasan) akan diberikan penilaian dan jawaban pada pelantikan pengurus pada tanggal 10 Muharram (seminggu setelah pleno).
Fairness, transparency and accountibility. Tidak pernah terbayangkan kata-kata ini muncul ketika menjadi pengurus sebuah organisasi santri. Yang terbayang adalah bagaimana mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan oleh anggota untuk mengurus sebaik-baiknya semua kehidupan pondok, terutama yang terkait dengan pendidikan dan keamanan. Di awal kepengurusan memang diadakan upgrading alias peningkatan kemampuan manajerial para pengurus. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat, terutama bagi yang baru memasuki dunia kepengurusan. Semua teori manajemen diberikan; planning, organizing, actuating dan controlling serta WH management: What, why, when, where, who and how; termasuk how many, how much, how long, how far and how to do it. Masalahnya, seseorang bisa bertanya, sejauh mana siswa tingkatan ‘Aliyah bisa menyerap dan mengaplikasikan teori-teori organisasi yang canggih itu?
Dalam kenyataannya semua mengalir seperti air. Beberapa dari siswa punya inisiatif untuk ikut training organisasi luar sekolah seperti Pelajar Islam Indonesia (PII). Para alumni yang sering berkunjung ke pondok dan pernah training kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga ikut menyumbangkan pengetahuan. Apalagi diantara para guru ada yang pernah menjadi ketua organisasi pelajar/mahasiswa di luar negeri seperti Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Kesemuanya merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menjalankan organisasi santri dalam pondok tercinta.
Sejarah mencatat bahwa proses yang berjalan dalam organisasi santri ini nyaris tidak pernah berhenti, meskipun dalam situasi krisis terberat sekalipun. Para siswa sepertinya mafhum bahwa lembaga ini menganut prinsip going concern seperti yang diasumsikan dalam teori akuntansi. Pernah terjadi, setelah libur panjang bulan puasa, program perguruan -yang jadi pelindungnya- belum berjalan karena sekretarisnya belum ditunjuk, tapi para santri sudah aktif dengan kegiatan-kegiatan seperti muhadloroh dan muzakaroh.
Dalam kesederhanaannya, organisasi santri memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang menjadi panduan pengurus dalam menjalankan program. Yang unik, dan jarang disadari, adalah keberadaan pengawasan yang dimiliki lembaga ini terhadap pengurusnya, meskipun secara realitas jarang difungsikan. Dia adalah Dewan Perwakilan Kelas yang dapat dianalogikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam konteks negara. Dalam teori corporate governance, DPK dapat disamakan sebagai lembaga yang berperan sebagai internal control untuk memastikan para pengurus berjalan sesuai aturan alias compliance (yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi kepatuhan.) Bedanya, dalam sebuah perusahaan, internal control (SOP dan audit unit) lebih memfokuskan diri pada strategi dan kebijakan yang mengakibatkan munculnya risiko keuangan (financial risk). Mungkin ketika pertama kali diciptakan, lembaga ini juga dimaksudkan memiliki fungsi keuangan juga. Hanya saja dalam kehidupan pondok, masalah keuangan menjadi masalah sampingan (secondary) selain banyak orang yang alergi terhadap angka. Untunglah accountability pengurus masih dapat dipertanggungjawabkan lewat seleksi Pleno.
Terkadang organisasi sosial seperti organisasi santri memiliki fungsi internal kontrol lebih kuat ketimbang organisasi bisnis seperti perusahaan. Dalam decision making process PPA mengadakan rapat pengurus yang kadang dilakukan sampai larut malam untuk memastikan sebuah keputusan didukung oleh paling tidak 2/3 pengurus yang hadir. Jika tidak, maka keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan sendiri di hadapan stakeholder (para anggota, dewan guru dan perguruan). Dalam sebuah perusahaan masih sering ditemukan pimpinan tertinggi memutuskan sendiri semua kebijakan. Maklumlah, kebanyakan perusahaan di Asia masih milik perorangan atau keluarga. Dengan demikian pembuatan keputusan dilakukan dengan asumsi kalaupun terjadi kerugian akibat sebuah keputusan, maka yang terjadi adalah rugi dewek alias rugi sendirian. Beda dengan di Barat yang hampir semua company milik publik. Nampaknya, meskipun masih taraf bocah kemaren sore, para pengurus PPA sudah belajar menganut prinsip-prinsip pengaturan kelembagaan universal yang beken sekarang ini dengan istilah corporate governance. Secara jujur, penghormatan harus diberikan kepada founding fathers yang pertama kali menciptakan sistem ini.
Masalahnya, jika para santri bisa menjalankan roda lembaga dengan baik (dengan segala keterbatasannya), semestinya demikian pula yayasan pengelola pondoknya. Wallahu A’lam.
CORPORATE GOVERNANCE ALA PPA
Terik siang jam 13.00, 1 Muharram 1401 Hijriyah. Seorang santri di atas podium membacakan laporan pertanggungjawaban pengurus periode sebelumnya di hadapan para santri lain. Laporan pertanggungajawaban berisi pelaksanaan program kerja selama setahun kepengurusan. Setelah itu dilakukan tanya jawab antara pengurus dan anggota, yang dalam jadwal acara lazim disebut pandangan umum. Terkadang situasi memanas karena pengurus menjawab kritik dengan sedikit emosi. Yang mengeritik tidak kalah emosi, bahkan pernah terjadi peserta meminta agar pimpinan sidang turun dari podium apabila memang tidak becus memimpin sidang.
Ritual sidang tahunan yang dikenal dengan Sidang Pleno –Persatuan Pelajar Attaqwa, organisasi santri pondok Attaqwa- merupakan sarana pendidikan non formal para santri untuk mengenal adanya asas pertanggungjawaban para pemimpinnya. Para pengurus organisasi santri itu dituntut untuk melaksanakan program yang telah digariskan setahun sebelumnya. Tidak jarang para pengurus merasa ”ditelanjangi” di forum itu karena program-program yang dilasakanakannya tidak sesuai harapan para santri. Tapi seringkali juga para santri yang ”menyimpan dendam” karena pernah terjaring operasi disiplin oleh pengurus, menjadikan ajang demokrasi itu sebagai sarana meluahkan uneg-uneg dalam bentuk kritik yang bikin merah telinga.
Bagaimanapun, dinamika yang terjadi dalam Sidang Pleno merupakan kondisi yang sehat, karena aksi dan reaksi muncul dalam situasi keterbukaan. Artinya baik kepentingan pengurus -untuk membuktikan bahwa mereka berhasil menjalankan program- maupun upaya peserta -untuk mengunderestimate pengurus- dapat dinilai sendiri oleh peserta secara terbuka. Jika persoalan tidak selesai, maka disepakati untuk membentuk tim verifikasi committee yang bertugas untuk menilai dan menyelesaikan masalah. Tidak jarang jika tim ini sudah terbentuk, para guru diminta untuk turun gunung.
Entah mengapa situasi sidang sedemikian terbuka dan bebas, sehingga dapt dikatakan cenderung liberal. Para guru pun seolah mafhum dan tidak ingin membatasi kebebasan para santri untuk belajar berani bicara dan berekspresi. Karenanya mereka cukup memantau dari jauh. Para santri yang baru pertama kali ikut biasanya hanya mampu menyaksikan para senior mereka tampil silih berganti memamerkan kepiawaian dalam retorika dan berdebat dengan lainnya.
Para peserta biasanya tertarik pada alasan mengapa pengurus tidak mampu melaksanakan suatu program tertentu. Lampiran-lampiran berupa daftar inventaris dan laporan keuangan jarang dilirik, kecuali jika ada santri yang memang senang pada angka, dan mampu melihat adanya kejanggalan, baik dalam masalah jumlah yang tidak singkron maupun selisih yang muncul akibat alokasi anggaran yang tidak perlu. Dengan jumlah santri yang ratusan dan sebagiannya merupakan santri kalong -alias pulang setelah zuhur dan datang malam- bahkan hanya santri sekolah, pendapatan organisasi dari iuran santri merupakan pendapatan yang mesti diatur sebaik-baiknya. Jika terjadi pemborosan atau salah anggaran, bisa dipastikan pengurus tidak akan meninggalkan saldo apapun, bahkan yang tersisa malah hutang untuk pengurus periode berikutnya.
Sidang pleno berakhir dengan pemilihan calon ketua umum. Sebelum itu para santri juga harus melewati agenda lain, yaitu sidang-sidang komisi (keorganisasian, program kerja, dan usulan) serta pleno komisi. Agenda-agenda itu sering membosankan dan bikin ngantuk. Tapi dengan adanya pemilihan ketua, suasana kembali menjadi segar dan bersemangat.
Selesai? Belum. Laporan pertanggungjawaban dan nama para calon ketua –hasil pemilihan pertama- dibawa kepada pimpinan perguruan untuk diverifikasi. Biasanya nama-nama yang “bermasalah” akan segera tersingkir, entah karena terkena peraturan pondok, keuangan maupun masalah adab. Nama yang lolos dari verifikasi pimpinan kemudian dimajukan kembali untuk dipilih yang kedua kali. Sedangkan laporan pertanggungjawaban beserta hasil-hasil sidang pleno (terutama yang menyangkut usulan kepada perguruan dan yayasan) akan diberikan penilaian dan jawaban pada pelantikan pengurus pada tanggal 10 Muharram (seminggu setelah pleno).
Fairness, transparency and accountibility. Tidak pernah terbayangkan kata-kata ini muncul ketika menjadi pengurus sebuah organisasi santri. Yang terbayang adalah bagaimana mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan oleh anggota untuk mengurus sebaik-baiknya semua kehidupan pondok, terutama yang terkait dengan pendidikan dan keamanan. Di awal kepengurusan memang diadakan upgrading alias peningkatan kemampuan manajerial para pengurus. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat, terutama bagi yang baru memasuki dunia kepengurusan. Semua teori manajemen diberikan; planning, organizing, actuating dan controlling serta WH management: What, why, when, where, who and how; termasuk how many, how much, how long, how far and how to do it. Masalahnya, seseorang bisa bertanya, sejauh mana siswa tingkatan ‘Aliyah bisa menyerap dan mengaplikasikan teori-teori organisasi yang canggih itu?
Dalam kenyataannya semua mengalir seperti air. Beberapa dari siswa punya inisiatif untuk ikut training organisasi luar sekolah seperti Pelajar Islam Indonesia (PII). Para alumni yang sering berkunjung ke pondok dan pernah training kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga ikut menyumbangkan pengetahuan. Apalagi diantara para guru ada yang pernah menjadi ketua organisasi pelajar/mahasiswa di luar negeri seperti Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Kesemuanya merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menjalankan organisasi santri dalam pondok tercinta.
Sejarah mencatat bahwa proses yang berjalan dalam organisasi santri ini nyaris tidak pernah berhenti, meskipun dalam situasi krisis terberat sekalipun. Para siswa sepertinya mafhum bahwa lembaga ini menganut prinsip going concern seperti yang diasumsikan dalam teori akuntansi. Pernah terjadi, setelah libur panjang bulan puasa, program perguruan -yang jadi pelindungnya- belum berjalan karena sekretarisnya belum ditunjuk, tapi para santri sudah aktif dengan kegiatan-kegiatan seperti muhadloroh dan muzakaroh.
Dalam kesederhanaannya, organisasi santri memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang menjadi panduan pengurus dalam menjalankan program. Yang unik, dan jarang disadari, adalah keberadaan pengawasan yang dimiliki lembaga ini terhadap pengurusnya, meskipun secara realitas jarang difungsikan. Dia adalah Dewan Perwakilan Kelas yang dapat dianalogikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam konteks negara. Dalam teori corporate governance, DPK dapat disamakan sebagai lembaga yang berperan sebagai internal control untuk memastikan para pengurus berjalan sesuai aturan alias compliance (yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi kepatuhan.) Bedanya, dalam sebuah perusahaan, internal control (SOP dan audit unit) lebih memfokuskan diri pada strategi dan kebijakan yang mengakibatkan munculnya risiko keuangan (financial risk). Mungkin ketika pertama kali diciptakan, lembaga ini juga dimaksudkan memiliki fungsi keuangan juga. Hanya saja dalam kehidupan pondok, masalah keuangan menjadi masalah sampingan (secondary) selain banyak orang yang alergi terhadap angka. Untunglah accountability pengurus masih dapat dipertanggungjawabkan lewat seleksi Pleno.
Terkadang organisasi sosial seperti organisasi santri memiliki fungsi internal kontrol lebih kuat ketimbang organisasi bisnis seperti perusahaan. Dalam decision making process PPA mengadakan rapat pengurus yang kadang dilakukan sampai larut malam untuk memastikan sebuah keputusan didukung oleh paling tidak 2/3 pengurus yang hadir. Jika tidak, maka keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan sendiri di hadapan stakeholder (para anggota, dewan guru dan perguruan). Dalam sebuah perusahaan masih sering ditemukan pimpinan tertinggi memutuskan sendiri semua kebijakan. Maklumlah, kebanyakan perusahaan di Asia masih milik perorangan atau keluarga. Dengan demikian pembuatan keputusan dilakukan dengan asumsi kalaupun terjadi kerugian akibat sebuah keputusan, maka yang terjadi adalah rugi dewek alias rugi sendirian. Beda dengan di Barat yang hampir semua company milik publik. Nampaknya, meskipun masih taraf bocah kemaren sore, para pengurus PPA sudah belajar menganut prinsip-prinsip pengaturan kelembagaan universal yang beken sekarang ini dengan istilah corporate governance. Secara jujur, penghormatan harus diberikan kepada founding fathers yang pertama kali menciptakan sistem ini.
Masalahnya, jika para santri bisa menjalankan roda lembaga dengan baik (dengan segala keterbatasannya), semestinya demikian pula yayasan pengelola pondoknya. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment