Tulisan 2 April 2007
Darso mau disomasi?
Waktu muludan kemarin saya ingin kopi darat sebenarnya, dengan anda dan Darso. Tapi tuntutan (ritual) ngumpul alumni seangkatan begitu kuat sehingga saya harus nyangkut di rumah alm Ustaz Tajuddin AM, dimana ada 2 angkatan lain juga janjian disitu, yaitu angkatannya Amad-Batok (abang antum) dan angkatan Nabil (adiknya Ncam). Istri saya juga nyangkut di tempat lain, tepatnya di rumah Rojanah (istrinya Adi, ponakannya guru Rosyidi), sehingga apa yang terjadi di masjid dan sekitarnya saya tidak sempat monitor.
Kebetulan ketua panitianya Hamidi, teman saya sekelas. Dia bilang dampak Pilkada terasa banget, terutama buat panitia. Budget pas-pasan, para pentolan partai yang ogah duduk di depan, wartawan yang nanya sana-sini (termasuk minta disalamin-salam tempel) dll. Padahal maulid ini punya orientasi luhur, ingin mendinginkan (cool-down) dampak panas pilkada kemarin, dengan cara mengumpulkan para petinggi partai level kabupaten. Tapi apa mau dikata. Sebuah pihak yang terlibat dalam perlombaan jangan harap bisa disetujui jadi juru runding. Salah-salah bisa dianggap punya kepentingan tersembunyi. Dan itu yang dialami oleh almamater tercinta sekarang. Perlu waktu lama untuk bisa kembali ke jalur netral... alias dapat kepercayaan masyarakat..
Diskusi kami tentang situasi masjid segera berubah menjadi diskusi pilkada. Tentang tuduhan suara yang tidak sah. Tentang beberapa pihak yang kalah mulai ke PTUN. Tentang sikap para tim sukses sebelum dan sesudah pilkada. Kebetulan di angkatan saya tidak semua yang ke kuning (golkar). Dustur (Beran) beda sendiri, dia mengusung Munawar Fuad, tentu dengan alasan tersendiri.
Di tengah diskusi, anak saya minta dibelikan mainan yang dijual di depan warung Jimut. Sambil milih mainan saya mencoba curi dengar obrolan para tukang ojek dan penarik becak. Terdengar sayup-sayup mereka sedang membicarakan Sa’duddin dan PKS, serta masalah pilkada lainnya....
Maulid kali ini memang sarat politik lokal yang bikin pusing kepala seorang pegawai bank seperti saya. Tapi kemudian saya jadi sadar sendiri, sepanjang sejarahnya, Attaqwa memang tidak pernah tidak terlibat politik, baik lokal ataupun nasional. Dia selalu dan akan selalu sadar politik. Bahkan kalau perlu ia menjadi salah seorang pemainnya. Masalahnya mungkin soal kedewasaan berpolitik yang kian hari kian berkurang. Dulu, Pak Kiai berpartai dengan semangat berjuang, kemandirian yang tinggi dan siap kalah. Sekarang, kata Beran, kita berjuang tanpa orientasi jelas, hanya siap untuk menang dan pakai dana orang lain....apa itu bukannya (maaf) broker?
Ketika saya ditanya, saya hanya bisa jawab, saya udah ninggalin soal ginian sejak masuk Bank Muamalat tahun 1995. Saya juga mimpin Almamur di Cikarang yang penuh dengan orang2 dengan orientasi politiknya beda2. Jadi saya minta mereka main di luar, jangan di dalam. Saya ngomong dari awal, Almamur harus menjadi lembaga untuk dan di atas semua golongan, sebuah jargon yang diajarkan Pak Kiai almaghfurlah kepada saya. Dulu memang berat bersikap netral, karena di antara pengurus sering perang dingin karena orientasi politik yang berbeda. Tapi sekarang, alhamdulillah... santai aja.
Darso mau disomasi? Hanya karena menulis di bulletin Atttaqwa puteri? Atau karena memiliki orientasi politik yang berbeda?
Ah.... Sire, sire..... udah kalah mah, kalah aja. Pake maen somasi segala ....
He...he... mohon maaf bila tidak berkenan
Darso mau disomasi?
Waktu muludan kemarin saya ingin kopi darat sebenarnya, dengan anda dan Darso. Tapi tuntutan (ritual) ngumpul alumni seangkatan begitu kuat sehingga saya harus nyangkut di rumah alm Ustaz Tajuddin AM, dimana ada 2 angkatan lain juga janjian disitu, yaitu angkatannya Amad-Batok (abang antum) dan angkatan Nabil (adiknya Ncam). Istri saya juga nyangkut di tempat lain, tepatnya di rumah Rojanah (istrinya Adi, ponakannya guru Rosyidi), sehingga apa yang terjadi di masjid dan sekitarnya saya tidak sempat monitor.
Kebetulan ketua panitianya Hamidi, teman saya sekelas. Dia bilang dampak Pilkada terasa banget, terutama buat panitia. Budget pas-pasan, para pentolan partai yang ogah duduk di depan, wartawan yang nanya sana-sini (termasuk minta disalamin-salam tempel) dll. Padahal maulid ini punya orientasi luhur, ingin mendinginkan (cool-down) dampak panas pilkada kemarin, dengan cara mengumpulkan para petinggi partai level kabupaten. Tapi apa mau dikata. Sebuah pihak yang terlibat dalam perlombaan jangan harap bisa disetujui jadi juru runding. Salah-salah bisa dianggap punya kepentingan tersembunyi. Dan itu yang dialami oleh almamater tercinta sekarang. Perlu waktu lama untuk bisa kembali ke jalur netral... alias dapat kepercayaan masyarakat..
Diskusi kami tentang situasi masjid segera berubah menjadi diskusi pilkada. Tentang tuduhan suara yang tidak sah. Tentang beberapa pihak yang kalah mulai ke PTUN. Tentang sikap para tim sukses sebelum dan sesudah pilkada. Kebetulan di angkatan saya tidak semua yang ke kuning (golkar). Dustur (Beran) beda sendiri, dia mengusung Munawar Fuad, tentu dengan alasan tersendiri.
Di tengah diskusi, anak saya minta dibelikan mainan yang dijual di depan warung Jimut. Sambil milih mainan saya mencoba curi dengar obrolan para tukang ojek dan penarik becak. Terdengar sayup-sayup mereka sedang membicarakan Sa’duddin dan PKS, serta masalah pilkada lainnya....
Maulid kali ini memang sarat politik lokal yang bikin pusing kepala seorang pegawai bank seperti saya. Tapi kemudian saya jadi sadar sendiri, sepanjang sejarahnya, Attaqwa memang tidak pernah tidak terlibat politik, baik lokal ataupun nasional. Dia selalu dan akan selalu sadar politik. Bahkan kalau perlu ia menjadi salah seorang pemainnya. Masalahnya mungkin soal kedewasaan berpolitik yang kian hari kian berkurang. Dulu, Pak Kiai berpartai dengan semangat berjuang, kemandirian yang tinggi dan siap kalah. Sekarang, kata Beran, kita berjuang tanpa orientasi jelas, hanya siap untuk menang dan pakai dana orang lain....apa itu bukannya (maaf) broker?
Ketika saya ditanya, saya hanya bisa jawab, saya udah ninggalin soal ginian sejak masuk Bank Muamalat tahun 1995. Saya juga mimpin Almamur di Cikarang yang penuh dengan orang2 dengan orientasi politiknya beda2. Jadi saya minta mereka main di luar, jangan di dalam. Saya ngomong dari awal, Almamur harus menjadi lembaga untuk dan di atas semua golongan, sebuah jargon yang diajarkan Pak Kiai almaghfurlah kepada saya. Dulu memang berat bersikap netral, karena di antara pengurus sering perang dingin karena orientasi politik yang berbeda. Tapi sekarang, alhamdulillah... santai aja.
Darso mau disomasi? Hanya karena menulis di bulletin Atttaqwa puteri? Atau karena memiliki orientasi politik yang berbeda?
Ah.... Sire, sire..... udah kalah mah, kalah aja. Pake maen somasi segala ....
He...he... mohon maaf bila tidak berkenan
No comments:
Post a Comment